RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 20 Juli 2012

Sastra dan Dakwah

Sebagai akademisi yang dicetak ilmiah dan sistematis, barangkali ada segelintir orang yang antipati dengan sastra. Sastra dianggap hanya memainkan peran nomor dua dalam dunia intelektualitas. Terlebih, ada yang memandang sastra tidak memiliki pengaruh dalam membangun kondusifitas untuk dunia keilmuan.

Sastra, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari dunia keilmuan. Meskipun secara prinsipil terdapat perbedaan metode yang cenderung kontras (jika iptek banyak berbasis pada fakta ilmiah yang obyektif, sastra lebih mengandalkan nalar subyektif sebagai bahasa pengantar), sastra tidak bisa dipisahkan begitu saja dari komunitas ilmu-ilmu ilmiah. Hal ini dikarenakan peran sastra yang tidak sedikit dalam membangun peradaban manusia, sesuatu yang juga menjadi tujuan utama pelbagai disiplin keilmuan. Dapat kita saksikan di masa ini, sastra menjadi fokus besar dalam dunia intelektualitas, dunia mengolah kata ini mendapatkan porsi perhatian yang amat besar. Terbukti dengan adanya fakultas sastra yang bermunculan di banyak univesitas.

Pentingnya sastra tidak bisa dinafikan oleh mereka yang benar-benar insan akademisi. Diskursus tentang hal ini sudah berjubel dengan konklusi yang menjadi kesepakatan bersama, sastra sangat penting. Sastra bukanlah “bonus” atas sebuah tujuan utama sistem pendidikan. Tetapi sastra adalah bagian dari tujuan itu sendiri, karena bersinergi mengerjakan sebuah misi bersama.

Urgensi sastra menjadi lebih signifikan ketika merambah konteks keindonesiaan. Masyarakat Indonesia masih belum menjadi masyarakat pintar yang dengan cerdas memilah-milah input. Masyarakat kita adalah masyarakat alay yang akan selalu hanyut dalam arus dominan.

Contoh nyata bisa kita lihat dalam dunia perbukuan. Indonesia adalah negara payah dalam membaca. Taufik Ismail, sastrawan kondang, bahkan menamainya komunitas nol buku. Bayangkan saja, barometer best seller di Negara berpenduduk 250 juta jiwa ini adalah (hanya) 3000 ekslemplar buku, tidak sampai 0,001 persennya.

Yang lebih miris, komunitas pencinta buku yang minim itupun bukan merupakan masyarakat pintar. Bagi mereka, buku bukanlah rujukan ilmiah. Buku lebih berupa bahasa kecenderungan kontemporer bagi konsumennya, sekaligus ladang bisnis bagi kalangan produsen. Karena itu, kualitas bagus dan absolut benar saja tidak menjamin ke”laku”annya di Indonesia.

Di sinilah peran sastra menjadi determinan. Sastra bisa merasuk ke masyarakat luas untuk menjalankan misinya, (maaf, saya mengutip manifesto Gatra) kritis tanpa mengiris, tajam tanpa menikam, hangat tanpa membakar, mengungkap tanpa fanatisme.

Sastra bisa menjadi pemecah kebuntuan di saat keilmiahan masih dianggap momok. Terbukti, Laskar Pelangi mampu mendobrak daya baca masyarakat Indonesia. Sebelum Laskar Pelangi terbit pada 2006, sulit dibayangkan di Indonesia jutaan orang akan membaca buku. Ada sebuah penelitian yang memperkirakan kurang lebih 12 juta copy dari novel itu telah beredar, baik resmi ataupun tidak.

Ada lagi cerita sukses sastra, novel AAC (Ayat-Ayat Cinta) sampai saat ini masih membuat kritikus sastra bingung karena sambutan masyarakat yang begitu heboh. Meski secara kualitas mendapat banyak kritikan, AAC memperoleh banyak pujian karena fungsi efektif yang diperankan. Berapa banyak orang setelah membaca AAC menjadi paham ajaran-ajaran islam yang tersebar dalam kehidupan kemudian mempraktekkannya.

Dari catatan diatas, menjadikan sastra sebagai sebuah jalan dakwah bukan lagi sebuah cara alternatif. Untuk saat ini, sastra sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari metode dakwah. Di tengah masyarakat Indonesia yang awam baca, sastra boleh jadi sudah menjadi fardhu kifayah untuk menyampaikan dakwah.  Ma la yatimmu al wajib illa bihi fahuwa wajib.