RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 25 Maret 2013

Pemberani


Al-Ghazali adalah pemberani. Maka, julukannya kurang lebih bermakna tameng, atau perisai. Terjun ia ke kubangan filsafat dengan berani. Keluar dengan gagah, meski bajunya kotor. Al-Ghazali tahu, kotor tak sama dengan najis. Analogi ini saya pinjam dari Soe Ho Gie. Bedanya, lumpur Gie adalah politik.

Padahal, bagi Ibnu Taymiyyah, filsafat itu dari Yunani, harus ditolak. Masalahnya, paket ini adalah pengejewantahan dari kungkungan sosio-teologis negara ujung selatan semenanjung Balkan sana, yang tuhannya berarak-arak, beranak-pinak. Syaikh al-Islam paham, keadaan sosial ikut berperan dalam menelurkan produk intelektual suatu kaum. Lagipula, ia berdalih, semua orang lahir dengan nalar. Tanpa filsafat Yunani pun, manusia bisa berpikir. Maka, dengan sinis, Ibnu Taimyyah menyindir filsafat Yunani dengan segala perangkatnya sebagai produk gagal. Termasuk di dalamnya, ilmu Logika. Katanya, Logika Aristoteles ini tak bermanfaat bagi orang cerdik, tak pula memberi faedah orang tolol.

Tapi, al-Ghazzali tak sependapat. Baginya, filsafat ada maslahatnya. Dengan cerdik dan detail, ia pilah bagian-bagian filsafat, dibaginya jadi tiga: perkara yang mengafirkan; perkara bid’ah; perkara yang tak mengandung masalah. Menurut al-Ghazzali, pendapat yang mengeneralisir filsafat sebagai produk setan juga tak bijak. Dari Yunani, orang-orang jadi tahu bahwa gerhana adalah fenomena geografis. Dari negrinya Socrates pula, umat manusia mengenal matematika.

Menurut saya, Al-Ghazzali juga bukannya tak paham kalau manusia punya naluri berpikir alamiah, tapi ia menghargai jasa Aristoteles dalam membangun pondasi kerangka berpikir. Sang Pembangkit ilmu-ilmu Agama maklum bahwa hubungan pengaruh-mempengaruhi antar peradaban adalah sunnatullah. Tak bisa dinafikan.

Barangkali sistem Aristoteles memang tak sempurna. Namun jasanya meretas penyusunan pakem penalaran Tidak bisa tidak diapresiasi. Barangkali, akan selalu ada orang-orang skeptis terhadap logika Aristoteles, terutama setelah dua Bacon, Roger dan Francis, serta John Stuart Mill datang dengan pendekatan logika yang justru berlawanan. Secara teoritis, logika lama –silogisme- terlihat tidak membawa sesuatu yang baru. Tapi, realitanya, hubungan antara benda-benda tak selalu jelas, di sinilah peran silogisme.

Tikus bisa jadi contoh. Boleh jadi, semua mafhum kalau mamalia menyusui. Namun, tahukah Anda bahwa tikus adalah hewan menyusui? Karena kita tak pernah menyaksikan bayi tikus menyusu layaknya sapi atau domba. Nah, dengan pengetahuan bahwa tikus adalah mamalia, kita bisa membuat kesimpulan.

Karena fungsi didaktisnya, al-Ghazzali membela logika Aristoteles. Ilmu ini sangat penting, katanya. Bahkan di buku Ushul Fiqh-nya, al-Mustashfa, al-Ghazzali menyimpulkan terlalu berani, “Barangsiapa yang tidak mendasari ilmunya dengan ilmu logika –Aristoteles-, ilmunya tidak bisa dipertanggungjawabkan.”

Al-Ghazzali agaknya telah berlumuran filsafat. Seorang muridnya, Qadhi Ibnu al-Arabi, melukis sang guru dengan sebuah metafora: al-Ghazzali telah menelan filsafat, dan tak kuasa memuntahkannya. Tapi karena filsafat pula, al-Ghazzali mampu menyelamatkan umat muslim pada masanya. Kala itu, muslimin tengah chaos. Masalah-masalah teoritis, terutama filsafat sendiri, dialektika mutakalim, dan doktrin Syiah Bathiniyyah, bukan cuma mengacaukan pikiran umat, tapi juga mengobrak-abrik dimensi sosial politik.

Tentang ini, al-Ghazzali mengatakan dalam otobiografinya, al-Munqidz min al-Dhalal: “Aku mendalami setiap misteri, menelisik setiap permasalahan, menyisip ke dalam semua problematika, meneliti akidah setiap kelompok, memperhatikan inti ajaran masing-masing golongan, untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang seseuai dengan sunah dan mana yang merupakan bidah.”

Dari sini, teranglah keberaniannya. Ia tak seperti kebanyakan cendekiawan masa kini, yang selalu parno dengan produk impor, tapi menutup mata terhadap kebenaran yang datang. Pun, tak tahu cara membantahnya. Ilmuwan-ilmuwan macam itu, akhirnya cuma ditertawakan fakta dan perkembangan zaman. Dalam buku yang sama, al-Ghazzali sendiri menjelaskan pentingnya keberanian.

“Sungguh, perselisihan manusia dalam agama dan aliran, perbedaan madzhab-madzhab, dalam keragaman kelompok, dan cara-cara yang bertentangan, adalah samudra berpalung dalam, tenggelam di dalamnya banyak orang, dan hanya selamat segelintir saja…Maka, aku terjun dalam tantangan samudra ini, dan berlayar di atasnya bukan dengan sikap pengecut…”

Penulisan al-Munqidz min al-Dhalal sendiri adalah perbuatan berani. Ia singkap semua misteri tentang kehidupan intelektualnya. Agar semua orang tahu, beginilah al-Ghazzali. Apa adaya. Ia tanggalkan wibawa intelegensinya. Ilmu pengetahuan benar-benar membawa al-Ghazzali menjadi arif.

Tindakan demikian, menulis otobiografi dengan jujur, sangat jarang ditemukan dalam dunia intelektual. Lebih jarang lagi di kebudayaan Timur. Menurut Dr. Abdul Halim Mahmud, hanya al-Harits al-Muhasibi - sufi - yang dengan bukunya al-Washaya mendahului al-Ghazzali.

Seorang Imam Abu Hamid Al-Ghazzali bukannya bersih dari persengketaan. Tapi, darinya kita dapat belajar tentang keberanian. Keberanian adalah keniscayaan bagi seorang bestari.

Rabu, 13 Maret 2013

Cendekiawati



Manusia hidup di alam materi. Karena itu, mereka butuh simbol. Simbol mewakili sesuatu yang lebih luas, lebar, dalam, dan rumit. Lambang penyederhanaan. Ia sekaligus solusi atas keterbatasan nalar manusia.

Tapi simbol tidak mandiri. Ia hanya wujud kristal dari yang abstrak. Untuk itu, bentuk-bentuk penyederhanaan seperti ikon, lambang, slogan, dan lain-lain, harus punya ihwal yang diwakili.
Membaca jargon kampanye –simbol visi- kandidat ketua WIHDAH tahun ini, saya mencoba menalar apa yang dimaksud.

Let’s be excellent muslimah scholar.

Pada hakikatnya, slogan itu menarik. Bukan cuma karena ditulis dalam bahasa Inggris, tapi juga karena sesuai dengan ekspektasi saya pribadi. Selama ini, saya mengharapkan orientasi organisasi yang lebih kondusif bagi kemahasiswaan, bukan yang justru menyesatkan fokus dengan memfasilitasi perkara sekunder.

Munculnya slogan ini, setidaknya memuaskan dari satu sisi. Bahwa kesadaran tentang pentingnya harmoni kegiatan akademis-ekstrakulikuler ternyata cukup populer. Setidaknya para penggagas semboyan ini melihat demikian. Semoga ide ini terhablur dari sebuah penalaran, juga dari semangat menuju perbaikan, bukan sekadar buah pikiran yang mendadak muncul karena persyaratan protokoler.

Kata scholar, dalam kamus bahasa Inggris Oxford Dictionary, salah satunya bermakna a specialist in a particular branch of study, especially the humanities. Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti seperti ini, seorang pakar dalam satu bidang studi, terutama bidang humaniora. Sampai di sini, maksudnya jelas. Tapi masalah datang ketika harus menerjemahkan kata scholar dalam bahasa Indonesia. Khususnya, demi memberikan rangkaian semantis yang ideal dari jargon di atas. Saya bimbang antara kata cendekiawan atau sarjana.

Jika terjemahannya adalah cendekiawan –cendekiawati berdasarkan konteks-, maka saya harus memberikan acungan jempol. Artinya, calon ketua WIHDAH tahun ini visioner. Dia –atau tim suksesnya- mampu menalar gejolak sosial “rakyatnya”, lalu menjawab tantangan masyarakat itu dalam sebuah visi yang segar.

Tapi membentuk cendekiawati bukan pekerjaan mudah. Kecedekiawanan adalah ihwal elite. Kata cendekiawan dalam KBBI salah satunya bermakna orang cerdik atau orang intelek. Sedangkan intelek berarti daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan. Sementara pengetahuan adalah perkara kompleks.

Dalam tulisannya tentang kecendekiawanan, Al-Fakhri Zakirman (Ketua Orsat ICMI Kairo) mengutip pendapat Syarif Shaary: seorang cendekia adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Karena itu, kecendekiawanan butuh penguasaan wawasan luas dan kecakapan integral. 

Untuk mencapai derajat itu, mahasiswi berada satu arena dengan mahasiswa. Mereka saling bersaing. Tak ada hak istimewa wanita dalam kompetisi ini. Untuk mencapai taraf yang sepadan, tak ada pengecualian. Terutama sekali perihal kewajiban.

Namun, usaha itu terbentur dengan tabiat wanita sendiri. Pria dan wanita punya karakter yang jauh berbeda. John Grey, penulis yang juga konsultan hubungan antar gender, bahkan menulis buku berjudul Men Are from Mars, Women Are from Venus. Dalam buku yang terjual lebih dari 50 juta kopi ini, Grey mengungkapkan perbedaan-perbedaan fundamental antara pria dan wanita.

Isu tentang perempuan juga telah menyita perhatian para filosof sejak lama. Dalam novel filsafatnya, Dunia Sophie, Jostein Gaarder mengutip kata-kata Hegel, “Perbedaan antara pria dan wanita adalah seperti perbedaan antara binatang dan tanaman. Pria menyerupai binatang, sementara wanita menyerupai tanaman, sebab perkembangannya lebih tenang dan prinsip yang mendasarinya lebih merupakan kesatuan perasaan yang agak kabur. Kaum wanita dididik dengan menghirup gagasan-gagasan, bukan dengan mencari pengetahuan. Status pria sebaliknya, dicapai semata-mata melalui pemikiran keras dan pengerahan usaha yang besar.”

Berbeda dengan Hegel, Plato lebih detail menjelaskan tatanan menuju penyetaraan pria-wanita. Tapi pendapatnya utopis. Sepaket dengan idenya tentang negara ideal. Plato mengatakan, wanita bisa mencapai prestasi yang dicapai oleh pria dengan syarat mereka dibebaskan dari tugas mengurus rumah tangga. 

Ide Plato di atas sama sekali tak masuk akal. Terlepas dari ide-ide filosofis yang rumit, kita dapat menangkap bahwa pendidikan wanita adalah pekerjaan besar. Visi mulia tersebut, selain membutuhkan bukti nyata, juga memerlukan kerja keras mewujudkannya. Visi itu harus terkristal dalam program-program kerja yang sinergis. Nantinya, laporan pertanggungjawaban tentang visi ini haruslah dapat diraba berdasarkan fakta obyektif dan rasional. 

Mengenai laporan, di Masisir sering terjadi salah kaprah. Acapkali laporan pertanggungjawaban organisasi mendapat nilai mumtâz, sementara fakta dilapangan menunjukkan sebaliknya. Biasanya, strategi pengurus untuk melaporkan visinya telah tercapai adalah terlaksananya kegiatan yang melibatkan massa besar. Padahal, tidak ada penelusuran lebih lanjut tentang hubungan sebab akibat antara kegiatan dan efek terhadap pesertanya.

Agaknya, untuk tidak utopis, jargon di atas dimaknai pencetusnya dengan lebih diplomatis. Kata cendekiawan diartikan sebagai semangat. Sesuai dengan makna lain kata cendekiawan di KBBI: orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat menegtahui atau memahami sesuatu.

Jika demikian, visi itu dilahirkan dari orang-orang cerdas. Pelopornya adalah orang-orang yang dengan jenius menemukan titik damai antara utopia dan realita. 

Yang saya takutkan hanya satu, yaitu apabila kata scholar diartikan dengan makna lain: sarjana. Kalau sudah begitu, hilang sudah semua nilai plus pada jargon di atas. Visi itu tinggal onggokan kata hambar, karena maknanya sangat pragmatis: mari menjadi sarjana muslimah yang unggul. Aih, apalagi bila kata excellent sekadar diartikan mumtâz. Lebih lagi, bila tolak ukurnya hanya nilai akademis.

Barangkali menjadi mumtâz, bagi para mahasiswi, adalah orientasi mulia. Tapi, menurut saya, Indonesia lebih membutuhkan cendekiawan daripada sarjana. Sarjana sudah banyak. Mungkin sama banyak dengan masalah yang muncul dari kesarjanaan mereka, atau dengan angka pengangguran. Maka, kembali mengutip kata Shaary, belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Juga, nilai mumtaz tak menjamin kadar seseorang.

Mahasiswi mumtaz sudah banyak. Tapi saya rasa para mahasiswi pun sepakat, Indonesia dan dunia lebih membutuhkan srikandi-srikandi yang punya integritas.

Jumat, 01 Maret 2013

Teknologi

Gene Sharp, Angelina Jolie, dan saya.

Bila kalian tak menemukan benang merah antara frase-frase lambang tiga eksistensi berbeda itu, saya mafhum.

Tak ada yang bisa menyimpulkan. Kecuali para pegiat demokrasi. Kalangan yang tahu bahwa Gene Sharp, di samping usaha konstannya menyebarkan ide revolusi non kekerasan, adalah orang kuno. Begitu kunonya hingga membuka email pun pria yang mendapatkan nominasi nobel perdamaian tahun 2009, 2011, dan 2012 ini harus dibimbing.

Eksepsi selanjutnya adalah penyuka entertainment. Kelas masyarakat “gaul” yang paham seluk beluk para sosialita. Mereka ini tak hanya mengerti bahwa Jolie, selain mashyur sebagai artis unggulan untuk peran wanita tangguh, juga merupakan aktifis kemanusiaan. Lebih jauh, mereka maklum bahwa pasangan aktor tampan Brad Pitt ini juga seorang yang gagap teknologi.

Kecuali juga teman-teman saya. Orang-orang yang hidup di sekeliling saya. Mereka yang barangkali –lagi-lagi menurut saya- lebih melihat saya sebagai pribadi inkoheren, daripada seorang dengan integritas pikir-laku. Pada hakikatnya, selain kementahan saya, perbedaan “kacamata” juga vital dalam memberi nilai.

Saya tidak dalam rangka berapologi. Saya tak pernah berminat. Saya hanya antusias untuk mempromosikan program saling lihat isi tempurung. Agar masing-masing dapat memandang semesta dengan cakupan lebih luas. Bagi saya, setiap orang hidup dalam tempurung, dan masing-masing menganggap itulah alam semesta.

Kembali ke kawan-kawan saya. Manusia sekeliling saya pasti paham bahwa saya sering menyerahkan kerumitan teknologis pada penyerahan-penyerahan, dan bukannya pertanyaan-pertanyaan ingin tahu. Saya apatis terhadap teknologi. Bahasa sederhananya saya ini bukan cuma katrok, tapi benar-benar tak mau tahu.

Sikap demikian tentunya tak wajar bagi akademisi. Apalagi alam kontemporer membutuhkan kecakapan integral. Kini, teknologi bukan sekedar ajang wah-wahan, ia sudah merupakan sarana untuk hidup. Seperti kapak di zaman batu, serta mesin uap di awal renaisans. It’s not just style, it’s way of life, kalau tidak salah begitu iklan salah satu produk digital.

Teknologi lalu bertransformasi lebih dari itu. Ia menjelma menjadi sebuah determinasi definitif. Ia berubah secara frontal menjadi semacam kata yang menjalankan fungsi term penengah.

Ia adalah pembeda. Karena itu, ia jadi sewenang-wenang. Orang-orang yang tak punya pengetahuan cukup dengan perkembangan mesin-mesin ia vonis kuno. Sayangnya, teknologi sudah ikut-ikutan menentukan kasta. Secara halus, ia sudah menyingkirkan kalangan tak mampu dari pergaulan.

Padahal, teknologi hanya perkakas. Tak lebih baik dari cangkul untuk membajak. Tidak pula lebih mulia dari sendok pengaduk gula. Barangkali, cuma lebih efektif saja. Namun, efektifitasnya masih bisa diperdebatkan. Berapa banyak ahli teknologi yang tak menghasilkan apa-apa untuk dunia. Fokus  mereka termarjinalkan menjadi sebatas penelusuran perangkat-perangkat keras. Ide-ide mereka terpenjara dalam perangkap aplikasi. Dunia mereka sangat sempit. Teknologi tidak menjamin produktifitas, apalagi orisinalitas dan kreatifitas.

Untuk alasan di atas, saya tak terlalu antusias dengan perkembangan terbaru teknologi. Saya tak pernah iri melihat kamera-kamera DSLR bermoncong panjang. Tak pula terlalu bernafsu memburu handphone-handphone touchscreen. Apalagi, teknologi kini berafiliasi dengan penjahat ekonomi, kapitalis. Yang paling parah, ternyata ekspansi inovatif teknologi juga dibarengi dengan ancaman kesehatan yang makin serius. Ada radiasi-radiasi tak sehat dalam suara telepon. Ada warna-warna membutakan dalam gambar komputer. Lainnya masih banyak.

Lagipula, ide-ide tak pernah tereduksi oleh penemuan alat. Sharp masih bisa menginspirasi revolusi-revolusi di penjuru dunia. Ia tak tahu Facebook dan Twitter, tapi bukunya berjudul from Dictatorship to Democracy telah diterjemahkan ke dalam kurang lebih 30 bahasa. Lagi, menurut New York Times, buku tipis itu menginspirasi gerakan rakyat di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan terbaru, Mesir.

Jolie masih bisa jadi artis. Akting di banyak film, mendapatkan penghargaan-penghargaan. Meski juga menjual visualisasi, ia tak terpenjara teknologi. Justru dari situ dia tampak lebih pintar dari teknologi.

Sejarah juga mencatat, ide-ide paling orisinil selalu dirujuk jauh ke belakang. Ke masa lalu. Masa ketika perkakas belum menjadi gaya hidup seperti sekarang.

Saya? Gaptek.