RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 29 Mei 2012

Pesimis, No Way !

Ujian kali ini, seperti yang sudah-sudah, masalah lama kembali datang. Selain rasa bosan yang harus disiasati, bagiku pribadi ada masalah yang tak kalah berat, pesimisme. Ketika kebosanan bisa diminimalisir dengan mengatur jadwal belajar dan berusaha keras menepatinya, pesimisme tak bisa hilang begitu saja. Pesimisme butuh solusi yang lebih dari sekedar patuh pada jadwal.

Ia datang berkali-kali. Kita sudah berhasil mengusirnya di awal masa belajar, saat kita lebih memilih untuk mencoba menaklukkan pelajaran walaupun opini yang beredar mengenai pelajaran itu menakutkan, “ini pelajaran sulit”. Yang lebih menyebalkan adalah ketika ia datang lagi di masa-masa akhir belajar, saat mata kita sudah perih membaca setiap baris paragraf, kala kepala kita terasa mau pecah karena dipaksa memahami teori-teori sulit, waktu kita merasa telah mencurahkan seluruh kemampuan terbaik kita. Di saat demikian adalah memuakkan bila pesimisme tiba-tiba datang, dan dengan seenak hatinya membisikkan suara-suara tak mengenakkan.

 “Kamu ngapain dari tadi, ko pelajarannya nggak ada yang nyantol. Kalau saya tanya halaman sekian, kamu pasti sudah lupa.”

“Sudahlah, ujian tinggal sebentar lagi. Materinya masih banyak, nggak mungkin kamu bisa selesaikan.”

Dan yang paling aku benci adalah suara ini,

“Mustahil kamu bisa menjawab ujian, kamu bahkan tidak memahami apa yang kamu baca.”

Huft, ketika itu semuanya seperti sia-sia. Usaha kita melawan rasa kantuk dan lapar, susah payah kita mengatur jadwal harian demi memberi belajar porsi lebih, jerih payah kita mengorbankan tenaga, pikiran dan bahkan melawan kegalauan demi belajar. Adakah semua itu hanya akan terbang percuma seperti abu?

Kita selayaknya bersyukur karena jawaban untuk pertanyaan diatas adalah “tidak”. Terlepas dari bagaimanapun hasil ujian nanti, semua usaha kita akan terbayar. Di kanan kita ada malaikat yang akan mencatat setiap tetes peluh yang terjatuh dalam menuntut ilmu, setiap detik yang kita habiskan dengan melawan rasa bosan, dan bahkan setiap nafas yang kita hembuskan saat berusaha berpikir. Seluruhnya diganjar dengan catatan positif yang barangkali nanti menjadi sangat fundamental. Bisa saja ganjaran-ganjaran atas pekerjaan kecil itulah yang membuat kebaikan kita lebih berat dari lautan dosa-dosa kita. Kita tidak pernah tahu. Untuk itu, selayaknya kita selalu menanamkan dalam diri kita bahwa semua usaha ini bertujuan utama menggapai ridha Allah semata, agar tak ada yang sia-sia dari usaha kita.

Lagipula, sudah sepatutnya pula kita menutup telinga terhadap suara-suara pesimistis itu. Karena faktanya, dari sejarah perjalanan hidup kita, kita selalu berhasil melewati semua rintangan jika sudah berusaha mempersiapkan diri. Meski seringkali kita tidak pernah terlalu yakin dengan semua persiapan itu. Pada akhirnya, Tuhan selalu memberikan pertolongan, tak tahu darimana jalannya. Dia –Yang Maha Besar- selalu menyelamatkan kita dengan cara yang tak terduga-duga. Dia - Yang Maha Kuasa- selalu menunjukkan bahwa kuasa-Nya lebih dari semua spekulasi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan otak kita.

Atas semua itu, kita harus terus berusaha walau berat, terus berjalan meski lambat, terus melangkah meski tertatih.  Karena berhenti sama sekali tidak membuat semuanya lebih baik. Kita harus terus berusaha meskipun keraguan mengerumuni kita, meskipun satu-satunya keyakinan yang tersisa di hati kita hanyalah, bahwa Tuhan akan membalas semuanya.


مَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِه

Kamis, 24 Mei 2012

Keberanian Presiden Republik Goblok

Belum lama ini aku bertemu kembali dengan salah satu teman seangkatan, walaupun hanya dalam dunia maya. Lagi-lagi perkembangan teman-teman marhalah membuatku takjub, sehingga mau tidak mau aku harus terus memperbaiki diri demi berada dalam level mereka. Teman yang satu ini termasuk salah satunya, dia semakin menghebat karena menemukan dunianya untuk bebas berkreasi. Ibarat benih unggul yang bertemu dengan tanah subur, hanya tanaman super yang akan tumbuh.
Bagaimana tidak kagum, saat ini dia sudah berhasil mendirikan sebuah “Negara”. Bukan negara betulan tentu saja, hanya sebuah kedaulatan imajiner yang ia beri nama republik goblok. Bentuk riilnyapun hanya terakomodir dalam blog pribadi miliknya, www.republikgoblok.com. Dalam blog tersebut dia mengekspresikan ide-ide kreatif dan orisinil, serta yang paling penting, solutif dan mandiri.
Panggil saja namanya Onar. Sebenarnya dia punya nama depan yang lebih cakep, tapi nampaknya dia lebih merasa nyaman dengan panggilan nama belakang tersebut, meski konotasinya liar. Seperti biasa, seniman selalu punya perspektif yang tidak umum.
Mungkin itu hanya hal remeh, sebuah blog. Di masa digital seperti sekarang, tak perlu mejadi seorang ekpert dalam bidang IT untuk menyusunnya, anak-anak SDpun banyak yang mampu. Saat ini, karena informasi yang berseliweran, orang bodoh dengan mudahnya bisa terlihat pintar dan orang pintar dapat terlihat kolot karena masalah informasi. Tapi, justru di era globalisasi informasi ini, sulit untuk bisa konstan bertahan dengan orisinalitas. Kita harus menjadi bebal untuk tidak mudah mengakomodir unsur-unsur eksternal yang merusak, serta harus pintar-pintar memilah ide-ide dunia luar sesuai dengan milik kita.
Maka, aku anggap, konsistensi seseorang untuk terus mengutarakan ide-ide orisinilnya adalah luar biasa. Karena bukan hanya menunjukkan kreatifitas intelegensi, tetapi juga kekuatan karakter pemiliknya. Salah satunya, teman yang sedang aku bicarakan ini.
“Stand on the own shoes”, begitu filosofi hidupnya. Satu makna dengan swadeshinya Mahatma Gandhi, selaras dengan salah satu poin panca jiwanya almameter kami, berdikari. Dan, slogan itu bukan cuma kata-kata pemanis, dia menyelaraskan semua itu dengan perbuatannya.
Usai tamat sekolah, dia tak melanjutkan kuliah, aku tak tahu alasan jelasnya. Dari temanku yang lain, aku mendapat informasi bahwa dia sempat mendirikan stand sepatu lukis di salah satu mall di kotanya. Hei, itu adalah gerakan yang luar biasa. Bagi cara berpikirku, membukan stand lukis di mall bersewa mahal dengan mengorbankan kuliah adalah hal goblok.
Tapi teman yang satu ini berani memulai, sekaligus berani menganggung semua konsekuensi dari pilihannya itu.
Sekarang, dia tidak lagi berjualan sepatu lukis, sudah pindah ke kota lain di pulau jawa yang mungkin lebih memfasilitasi dia mewujudkan mimpi. Tapi dia masih tetap sama, semakin hebat bahkan. Dia semakin menikmati dunianya berkreasi.
Mengingat cerita hidupnya memberiku kekuatan baru bagi keyakinan lamaku akan mimpi-mimpi. Kalian semua perlu tahu, bahwa satu-satunya hal yang membuat dia dan orang-orang hebat lain bisa melewati segala kesulitan adalah kepercayaannya pada mimpi. Dan aku pribadi selalu percaya bahwa level keimanan kita kepada kebesaran Tuhan salah satunya diukur dari keberanian kita mempercayai mimpi, dan keberanian kita memperjuangkannya.

Bahagia dengan Sederhana

Hari ini ada hal baru yang membuatku bahagia. Ada rasa damai bersemayam di sanubari, ibaratnya seperti tubuh gerah yang dimanja hembusan sepoi angin di sore hari. Penyebabnya bukan perkara besar memang, hanya karena sepasang burung perkutut membangun sarang di jendela kamarku. Siulan mereka menentramkan hati. Mungkin di benak kalian langsung tergambar senyum sinis, serta seketika muncul sebuah pertanyaan sarkastis, apa lucunya? Haha, aku tak mempermasalahkan itu karena yang terpenting saat ini aku sedang bahagia, dan tak ingin merusak suasana. 

Burung-burung itu, Kawan, mengingatkanku kepada masa kecilku. Ketika aku mencuri-curi jadwal tidur siang dengan kabur sesegera mungkin usai pulang sekolah. Lalu, setelah bergabung dengan teman-teman yang lain kami bersama-sama menelusuri kebun-kebun tetangga. Dan, ini salah satu yang paling dinanti, memanjat pinang demi mendapatkan sebuah sangkar burung. Terkadang kami beruntung mendapatkan sangkar berisi burung-burung kecil yang siap terbang, atau paling tidak telur-telur burung yang bisa dipanggang. Jika peruntungan sedang buruk, ada kalanya kami hanya mendapatkan sarang kosong. Eh, tidak kosong, tapi berisi semut ganas yang langsung menyerang ke sekujur tubuh. Parahnya, kalau sampai semut-semut itu menggigit atau masuk ke mata, itu akan membuat keseimbangan tubuh hilang, lalu berdebum terjatuh. Nasib naas bisa saja mengantarkan kepala kami pada sebongkah batu yang menjamin kebenjolan sebesar buah pinang. 

Haha, begitulah masa kecil anak desa sepertiku. Tapi aku selalu bangga dengan semua itu. Kesombongan di masa muda yang indah, begitu bahasa kerennya Sheila On 7. Aku yakin teman-teman punya masa kecil yang juga menarik dan lucu. Semua itu membuat kita sesekali menyesal, mengapa dulu kita ingin sekali lekas besar. Mengapa pulai pertumbuhan tubuh kita begitu kilat, atau malah perputaran waktu yang salah karena bergulir sangat cepat. Tak tahulah, yang jelas kita merindukan masa-masa kecil itu. Sekarang, insting kreatif kita mulai pudar untuk tertawa atas perkara-perkara sederhana. Kelopak mata kita sudah tak terlalu antusias dengan bergulirnya bola warna-warni. Saat ini, standar kebahagiaan kita sudah berubah. Ah, mungkin aku salah jika mengeneralisir, subyek ‘kita’ disini lebih tepat jika diganti ‘aku’. Ternyata, semakin peliknya kehidupan sukses memudarkan sedikit demi sedikit keluguan dan insting kreatifku. 


Atas semua itu, aku ingin kembali menjadi anak kecil. Bukan dalam segi polah dan tindak-tanduk, tapi aku ingin kembali memiliki sudut pandang sederhana anak-anak untuk merasa bahagia. Faktanya, perasaan adalah masalah subyektif, tak terkecuali kebahagiaan. Diri kita sendiri yang membuat pakem standar kebahagiaan. Kita boleh memasang tarif mahal untuk kebahagiaan kita. Bagi sebagian orang, merasa bahagia adalah bermakna berpergian ke tempat-tempat rekreasi, berpetualang ke wahana eksotis, makan di restoran mahal, atau apalah. Disisi lain, tak ada yang menghalangi kita untuk menjadi bahagia dengan lebih sederhana. Kita bisa tersenyum atas humor-humor kecil yang Tuhan sebarkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti menertawakan kebodohan diri kita sendiri, atau terbahak atas guyonan maksa yang kita lempar. Kitalah yang menentukan bahagia tidaknya kita. Kalau bahasanya temanku, “we are the master of our heart”.

 

Rabu, 09 Mei 2012

Boring

Entah kenapa hari-hari ini rasa bosan mengepungku, membuat kelabu cakrawalaku. Meski begitu, dengan keadaan jiwa yang seadanya aku harus tetap menjalankan rutinitas, belajar untuk persiapan ujian. Life has no pause, begitu pepatah bilang. Seharusnya aku senang karena beberapa hari yang lalu kabar gembira datang. Ujian termin kedua yang jadwalnya tanggal 12 Mei diundur dua minggu berselang. Dengan begitu setidaknya aku punya waktu lebih mempersiapkan segalanya lebih maksimal. Tapi, kabar itu malah mengusir momentum belajarku.

Rasa bosan ini mestinya bukan tanpa alasan. Disamping faktor utama yang membuatku limbung, tentunya hal remeh temeh juga mempengaruhi suasana. Ternyata, melakukan pekerjaan “rumah tangga” yang sebenarnya remeh membutuhkan kesabaran yang tak sedikit. Apalagi bila kita hidup dengan orang dengan karakter yang bermacam-macam. Kalau sudah begini, aku selalu ingat ibu.

Dengan mengerjakannya sendiri aku belajar mengerti apa yang dirasakan ibu ketika melakukan tugasnya. Dan mulai paham bahwa ternyata ibu memiliki kelapangan dada yang luar biasa dalam melakukan semua itu. Ingin aku menangis di pangkuannya menyesali kenakalanku selama ini. Huft, mungkin tahun-tahun ini memang saatku untuk belajar. Bukan hanya belajar melatih otak, tetapi juga belajar melatih hati demi menghadapi permasalahan di masa depan nanti. Dalam hidup bersosialiasi konflik adalah sebuah keniscayaan.

Dulu aku pernah berpikir, barangkali hidup dengan teman senasib dan seperjuangan akan selalu lancar. Karena masing-masing punya visi dan tujuan yang sama. Apalagi jika bersama sahabat karib yang karakternya mirip, sepertinya tak akan ada cekcok. Kini, aku mengerti bahwa manusia hidup dengan keberagamannya. Perbedaan adalah sarana saling belajar di satu sisi sekaligus ladang konflik di sisi lain. Manusia bukanlah produk pabrik yang dicetak seragam. Yah, hakadza annâsu tafâwut, demikian manusia diciptakan beragam, begitu pelajaran di pondok dulu.

Dari situ aku menyimpulkan satu hal, bahwa dalam hidup berumahtangga kelak pasti akan kita temukan perbedaan dengan pasangan yang notabenenya orang yang kita cintai. Kadang-kadang berupa perbedaan kecil, namun tak sedikit terdapat perbedaan prinsipil. Dan solusi untuk membuat hubungan rumah tangga tetap langgeng adalah kebersediaan masing-masing pihak untuk mengerti dan berkomunikasi sebaik mungkin. Haha, ko jadi ngelantur begini. Hmm, tidak juga. Bagiku, kehidupan masa lajang ini adalah sarana yang tepat untuk melatih diri. Jika di kuliah kita belajar untuk pintar, maka di rumah kita belajar untuk dewasa.

Sebagai orang yang temperamental, berusaha untuk sabar tentu sulit. Tapi di sini, di negeri yang terpisahkan ribuan kilometer dari orang tua, mau tak mau aku harus belajar. Di sini tak ada advokasi absolut untuk kasus-kasus kita. Tak ada pengacara pribadi yang akan membela kita mati-matian. Di sini, kita bukan lagi terdakwa kebal hukum, tapi harus belajar memposisikan diri menjadi seorang hakim. Masalah-masalah kecil berulangkali menyulut amarahku, tapi aku harus terus katakan pada diriku bahwa marah tidak akan memberikan solusi, malah akan mempersulit posisi. Aku harus selalu menanamkan dalam diriku bahwa “kekuatanmu untuk melewati kesulitan-kesulitan kecil ini dengan hati lapang akan memberimu kekuatan dalam meraih kesuksesan besarmu kelak”. Ah, meracau apalagi aku ini. Hehe, setidaknya dengan menulis rasa bosanku sedikit berkurang.