RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 12 Agustus 2012

Let's Do This Again!

Ada kalanya, orang-orang membuat kita bangga. Mereka memuji kita dan menyatakan bahwa kita bertalenta. Terlepas dari pernyataan subjektif mereka, faktanya memang demikian, Tuhan sudah menganugerahkan bakat hebat dalam diri masing-masing pribadi. Bakat yang dengan itu semua orang bisa melakukan sesuatu yang merubah dunia.

Namun, ada pula saat di mana bakat yang kita miliki berubah menjadi ujian dan tantangan, saat ketika bakat justru membawa kita dalam posisi sulit.

Periode sulit itu datang ketika hasil pekerjaan yang kita lakukan ternyata tidak memenuhi ekspektasi. Ketika kita merasa sudah mengerahkan seratus persen kemampuan diri kita namun hasilnya tetap saja mengecewakan. Masa-masa ketika kita belum bisa memantaskan pribadi kita dengan kualitas kita sebenarnya.

Tidak jarang dalam hidup kita temui orang-orang berkomentar negatif untuk apa yang sudah kita kerjakan dengan sepenuh hati.

“Come on guys, you can do so much better than this!”

“Apa-apaan ini? buruk sekali. Anak TK saja bisa melakukan ini.”

“Kamu hanya mengerahkan sepuluh persen kemampuanmu untuk melakukan ini, saya ingin melihat hasil yang lebih baik lagi.”

Tentu saja, keadaan menjadi lebih sulit dan menyebalkan dalam posisi begini.

But, semua itu adalah keniscayaan. Tuhan tidak memberikan kita sesuatu kecuali kita diberi pula tanggung jawab atasnya. Sedangkan tanggung jawab kita atas bakat yang telah diberikan adalah menggunakannya sesuai dengan taraf kehebatannya. Tugas kita adalah memantaskan diri kita dengan bakat itu. Kelak, di hadapan Tuhan kita akan mempertanggungjawabkan bakat itu. Kita akan termasuk dalam golongan orang-orang dzalim apabila tidak berhasil melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat besar dalam diri kita, karena kita tidak menempatkan sesuatu dalam tempat seharusnya.

Sedangkan masa-masa sulit ini, tekanan ini, tuntutan untuk berbuat lebih baik, adalah ujian bagi kita semua. Dan kita punya pilihan, apakah akan menyerah dan berhenti dalam kesulitan ini atau memilih menguatkan hati untuk mencoba berkali-kali lagi. Semuanya tergantung kekuatan hati kita untuk bertahan.Anda perlu tahu, kemampuan seseorang untuk bertahan melewati ini menjadi salah faktor determinan yang membedakan orang-orang sukses dengan orang-orang gagal.

Jadi, jangan kita biarkan hasil yang mengecewakan saat ini menghentikan visi misi besar kita. Visi kita lebih besar dari kegagalan kecil ini. Kebijaksanaan kita lebih dalam dari kekecewaan dangkal saat ini. Lagipula kita sudah bisa berbangga dengan error trial  itu karena faktanya tidak semua orang bisa berbuat seperti yagn sudah kita lakukan. Senior saya pernah bilang:

“Kamu boleh kecewa dengan kegagalanmu, tapi setidaknya kamu sudah menandai sang waktu.”

Ya, kita sudah menandai sang waktu, Teman, dengan hasil pekerjaan yang meski tak sempurna. Lagi pula kita tak perlu sempurna untuk mengerjakan sesuatu, proses akan membantu kita menjadi lebih baik.

Karena itu, marilah kita buang jauh-jauh kekecewaan itu, menegakkan kepala kita sekali lagi dan berkata:

“Let’s do this again!”

Sabtu, 04 Agustus 2012

Giving Our All


Belum lama ini seorang kawan bercerita padaku, dia sedang kebingungan dengan pekerjaannya. Well, dari awal mendengar ceritanya akupun jadi ikut bingung. Bagaimana pula dia bisa bingung dengan pekerjaan sementara banyak orang yang tidak seberuntung dia mendapatkan pekerjaan “enak”.

Setelah menjelaskan masalahnya, rupanya dia merasa tidak nyaman bekerja di tempat “nyaman” seperti saat ini. Sekarang, tugas dia hanya ngendon di depan computer dan menerjemahkan surat-surat ke dalam bahasa inggris. Membosankan sekali katanya. Jiwanya yang sangat mobile dan empati sosialnya yang tinggi membuatnya menginginkan pekerjaan yang memuat interaksi lebih banyak dengan orang-orang.

“Lebih enak dulu waktu jadi cleaning service, walaupun gajinya kecil tapi suasananya rame. Nggak seperti sekarang kerjaanya cuma depan computer. Nggak ada tantangannya, extremely boring, huft.” Keluhnya.

Lalu dia meminta pendapatku untuk masalahnya ini. Sontak aku bingung. Hingga saat ini aku belum pernah terjun di dunia pekerjaan yang benar-benar nyata seperti dunianya. Bagaimana aku bisa memberikan pendapat, hehe.

Setelah aku pikir-pikir (pura-pura mikir, hehe) ternyata apa yang dihadapinya saat ini adalah masalah klasik. Problematika lama yang selalu ditemui semua orang dalam hidupnya. Dan jujur, aku juga terlalu sering mengalaminya. Penyebabnya adalah karena sifat tamak manusia, sifat tidak pernah puas.

Kita (manusia) selalu memiliki kriteria rumit untuk segala sesuatu. Kita anggap kriteria itu adalah yang paling sempurna. Lalu, ketika semuanya tidak berjalan seperti apa yang kita angan-angankan, kita segera mencari pelampiasan. Alih-alih berbesar hati belajar untuk bijaksana menerima kenyataan, kita lebih sering menyalahkan apa saja. Sistemnya lah yang salah, orang-orang lain lah yang tidak bisa mengerti kita, atau apa saja yang bisa dilempari  sumpah serapah. Kita merasa paling benar dengan ego kita.

Padahal sebenarnya, dunia yang kita hadapi sekarang, kenyataan di depan mata kita, adalah jauh lebih sempurna. Karena itulah skenario Tuhan. Dan itulah yang harus kita hadapi. Kitalah yang harus mengadaptasikan kriteria-kriteria kita dengan kenyataan yang ada. Kita yang harus mereduksi ego kita.

Dan sungguh, dalam hidup ini kita tidak akan pernah menemukan apa yang benar-benar sesuai dengan keinginan kita. Tidak ada satupun di dunia ini yang seratus persen sama dengan spekulasi otak kita. Semua itu karena kreatifitas kita sebenarnya sangat terbatas.

Lantas, bagaimana kita harus bersikap menghadapi kenyataan yang tak pernah seindah surga?

There’s nothing so satisfying to ourselves, so defining of our character, but giving our all to a difficult task.


Kata-kata di atas benar-benar menyadarkanku. Karena itu aku selalu ingat dengan kata-kata itu, petikan pidato Barrack Husein Obama di hari pelantikannya menjadi presiden hampir 4 tahun lalu.

Ya, tidak ada sesuatu yang benar-benar memuaskan diri kita, tidak ada pula yang benar-benar sesuai dengan karakter kita. Apa yang bisa kita lakukan hanyalah melakukan yang terbaik di setiap kesempatan.

Keep doing, fellas! Keep moving!

The Super Machine


Aku selalu terkagum-kagum dengan etos kerja manusia-manusia super. Mereka, seolah punya energi ekstra untuk melakukan hal-hal yang lebih baik daripada manusia kebanyakan. Mereka bekerja seperti tak punya rasa lelah, seperti mesin.

Salah satu contohnya adalah, e…maaf! Aku tak suka menyebutkan nama, kuberikan clue nya saja. Dia adalah sekretaris jenderal I4, mahasiswa program doctoral di salah satu perguruan tinggi Eropa.

Jika melihat sosoknya tak terlalu memberikan kesan mendalam, maka mengetahui sepak terjangnya akan membuat anda geleng-geleng kepala. Di tengah kegiatan formal akademisnya yang tak bisa dibilang ringan, dia sangat aktif melakukan kegiatan non-akademis yang determinan untuk kemajuan bangsa. Dia mengusahakan gerakan nyata dari putra-putri terbaik Indonesia di seluruh dunia, mewadahi mereka dalam forum aktif, mendiskusikan konsep bagaimana seharusnya Indonesia ke depannya, dan mengerjakan kerja-kerja lapangan di penjuru nusantara jika ada kesempatan.

Di sela-sela jadwal padat itu, dia masih bisa menjejali dengan membaca buku. Pernah suatu ketika dalam suatu perjalanan tujuh jam dua buku berhasil dilahapnya. Dan lagi, dia sangat produktif menulis. Tak muluk-muluk memang, hanya sekedar tulisan ringan seputar pengalaman kesehariannya. Tapi, tulisan-tulisan itu selalu membuat bulu kudukku merinding setiap membacanya. Ada semacam energi positif yang menyebar di udara sekelilingku. Semangatku yang tadinya tercerai-berai menjadi terkumpul lagi dan berkobar. Tulisan-tulisannya seperti api, membakar. Semua itu karena dia selalu menceritakan hal-hal hebat, meski sederhana.

Tapi, bukan hanya kerja nyatanya saja yang membuatku iri, cara dia menyikapi masalah bagiku sangat khas jiwa-jiwa pemimpin. Dia lebih suka membicarakan solusi-solusi daripada berlarut dalam masalah. Dan, dalam menghadapi orang-orang yang bermacam karakter, dia lebih memilih meneladani sisi-sisi hebat dari manusia yang ditemuinya daripada membahas keburukannya.  He prefer to lit the candle up than cursing the darkness. Orang-orang seperti ini, Teman, yang membuat dunia lebih baik, merekalah yang membuat bumi terus berputar.

Di tengah kepayahan diriku yang masih mencoba mencari bentuk terbaik, masih mengeluh diantara jadwal-jadwal, masih mencari-cari alasan untuk memanjakan diri, masih mencuri-curi waktu untuk menikmati nganggur, aku berdoa semoga jiwa-jiwa mereka tetap konsisten dalam kebaikannya, sehingga aku selalu punya alasan untuk terus mencoba menjadi seperti mereka.