RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 20 Januari 2013

Aku Tak Sudi


Aku tak sudi. Ketika teman-teman merencanakan penulisan memoar untuk Pak Angga, tentu saja aku tolak. Apalagi ketika seorang teman mengusulkan sedikit ke-lebay-an, kita diharuskan menulisnya dengan tulisan tangan. Bah, kekolotan macam apa lagi ini, kenapa tidak sekalian ditulis di atas lontar? “Pak Angga itu nggak butuh romantisme hambar,” ujarku menentang idenya.

Kalau kalian ingin tahu alasanku tak mau menulis catatan perpisahan macam itu, adalah karena perkara seperti itu tidak penting. Apalagi untuk seorang Angga Prilakusuma, benar-benar tak perlu.

Aku membencinya. Dia adalah penggemar berat FC Hollywood, musuh bebuyutan klub kebanggaanku, Los Merengues, di perhelatan sepakbola Eropa. Apalagi, dia mengerti betul bagaimana menggunakan masalah fanatisme ini. Disengaja atau tidak, dia sudah mengusik sensitifitas Madridistaku dengan  sarkastik. “La Bestia Negra” –si setan hitam-, tulisnya dengan bangga setelah Bayern Muenchen menang beruntung lewat penalti di semifinal Liga Champions lalu. Tapi, tentu saja, selain itu, aku tak punya alasan untuk membencinya.

Dia mengajarkan banyak hal. Jasanya membawaku kembali berkenalan dengan buku membuatku harus banyak berterimakasih. Sebelumnya, aku sempat berjarak dengan kekasih lamaku itu –buku-. Lalu, kejeniusannya membuatku merasa menjadi orang idiot setiap kali berhadapan dengannya. Keluasan wawasannya menyadarkanku bahwa fauqa kullu dzi ilmin âlim.

Akumulasi dari kejeniusan dan bentangan lebar wawasan itu membuat gagasan-gagasanku –yang ku anggap eksplosif- terlihat kerdil jika dibandingkan dengan ide-ide seorang Nggappriel. Ketika aku merasa hebat karena mengetahui alam ide Plato, aku harus malu karena dia justru bisa menjelaskan secara rinci bagaimana seluk beluk idealisme, perkembangannya di tangan Leipniz, pandangan Adnan Oktar, sekaligus memberikan antithesis bagi konsep alam ilusi.

Saat aku merasa mumpuni dengan skor TOEFL yang ku punya, mudabbir sekaligus guruku ini membelalakkan mataku. Dia dengan gemulai memahami teks bahasa Inggris rumit sekaligus menari-nari di antara kemungkinan-kemungkinan konteks. Sepengetahuanku, selain dia cuma Goenawan Muhammad yang memiliki kelenturan kreatif dalam mengolah adonan teks.

Tatkala aku merasa jumawa dengan nilai mumtaz dalam pelajaran Mantiq –bagian dasar-, dia membawaku kembali ke bumi dengan kefasihannya berbicara tentang dialektika Marx, logika algoritma, silogisme Stoa, dan perkara-perkara ilmu logika lain yang membuat dahiku berkerut-kerut.

Puncaknya, manakala seorang Kurniawan Saputra antusias berbicara tentang sastra, ia memesona dengan kemahirannya membincang Kahlil Gibran beserta karyanya, serta seluk beluk dunia olah kata lain yang masih marupakan misteri bagiku.

Tapi bukan itu semua yang meninggalkan kesan terdalam, melainkan kesahajaannya yang unik.

Sementara kebanyakan manusia berlomba menampilkan pesonanya, ia konsisten menunjukkan dirinya apa adanya. Ia seperti tak punya kepentingan dengan opini orang lain yang terbangun untuknya. Ia memilih untuk diam dan bekerja tanpa peduli pamrih duniawi. Mungkin untuk mengibaratkannya sebagai malaikat adalah berlebihan. Ia hanya manusia biasa. Tetapi jelas sekali aura malaikat darinya lebih benderang dari energi orang-orang sekelilingnya, setidaknya menurutku. Ia bukanlah jenis sosok yang menarik perhatian, ia selalu merasa nyaman dalam diamnya, ia adalah rajulun ma’rûfun bikhusyû’ihi.

Aku, yang selalu muak dengan topeng bopeng orang-orang, tentu saja merasa seperti kejatuhan bintang bertemu dengan ‘manusia murni’ sepertinya. Orang-orang ikhlas selalu meninggalkan impresi dalam hatiku. Impresi ini tak bisa dibayar dengan sebuah memoar, jasa mengantarkannya pulang, bahkan tak terganti dengan cucuran air mata di hari perpisahan.

Impression is priceless. Lagipula dia memang tak butuh balasan. Atau, kalaupun ada, dia hanya menginginkan kita mampu menjadi pribadi yang apa adanya dan ikhlas dalam bekerja. Tanpa memedulikan apakah semua itu akan menjadikan kita pribadi yang impresif atau tidak. Karena impresi –meminjam istilah Kalam- itu wahbi –dianugrahkan- bukan kasbi –diusahakan-.

Impresi itu abstrak. Tersimpan dalam rumitnya untaian serabut-serabut syaraf otak, tergurat dalam kanvas suci bernama nurani, serta hanya bisa dibahasakan dengan tulisan malaikat dalam buku rapor kehidupan. Karena malaikat tak pernah salah tulis, kelak ‘beliau’ akan membaca sendiri apa yang malaikat tuliskan untuknya dari apa yang kita rasakan.

Tapi, sebagai manusia yang berkomunikasi dengan bahasa simbol, kita selalu berupaya menghablurkan sesuatu yang abstrak, mengejewantahkan apa saja yang kita rasakan. Pula, sebagai manusia, adakalanya kita terjebak dalam ritual pemuliaan. Contohnya, Mahatma Gandhi, yang hidupnya penuh dengan kesederhanaan saja tak bisa menolak upacara penghormatan saat ia wafat. Bahkan seorang Gandhi tidak bisa menolak protokol pengkultusan yang tak dikehendakinya.

Dalam kasus ini, kita tak bisa lepas dari status manusia kita. Kita berusaha mengekspresikan perasaan. Kita akan mengantar kepulangannya, memberinya kenang-kenangan. Lalu sebagian dari kita akan menangis, sebagian lagi menyembunyikan air matanya dengan hati teriris. Dan ia, seperti Gandhi, tidak bisa menolak simbol penghormatan tersebut. Tapi aku yakin, semua ikon-ikon penakziman itu tak akan merubah pribadinya. Ia tetap seorang Angga Prilakusuma yang sahaja.

Nanti, jika aku tak mengantarkannya pulang, itu karena aku menganggapnya tak pernah pergi. Dan aku tak mau ia pergi. Aku tak sudi.