RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 22 Maret 2012

Berani

Indonesia dalam masalah, benar. Masalah pelik, tentu saja. Tapi alasan utama kemandegan bangsa ini adalah penyakit pesimisme akut dari setiap warganya. Kita terlalu silau dengan kemajuan yang diraih bangsa lain. Alih-alih untuk membakar semangat mengejar ketertinggalan, kita menjadikan itu penanam rasa takut dan kekerdilan jiwa. Kita kehilangan kepercayaan diri.

Semua Negara punya masalah, dan hanya mereka yang tak kehilangan kepercayaan dirilah (baca: nasionalisme) akan bertahan. Lihat saja, tanah kerontang Timur Tengah tak membuat rakyat Negara-negara disana kehausan. Bom atom yang menghancurkan kesuburan tanah malah membuat Jepang menjadi salah satu Negara industri paling maju abad ini.

Perlu diingat, bangsa kita adalah bangsa yang besar. Sejarah telah membuktikan itu. Jikapun penelitian tentang benar tidaknya Atlantis adalah Indonesia masih diperdebatkan keabsahannya, kita masih punya catatan-catatan lain.

Dunia belum lupa bahwa di Asia Tenggara pernah membentang dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Yang pertama pernah tersohor menjadi pusat ilmu pengetahuan, budaya, serta agama Hindu Budha di zamannya. Yang kedua tercatat sebagai kerajaan maritim teragung di seantero Asia Selatan.

Sekarang, menengok ke Negara tetangga saja kita malu besar. Malaysia terus maju dengan progresnya menjadi Negara maju. Mungkin beberapa tahun lagi misi mereka menjadi kenyataan. Kalian tahu siapa orang paling berpengaruh dalam perkembangan sangat pesat Malaysia? Mahathir Muhammad, si “Sukarno kecil”. Hei! Wake up! Kitalah yang punya seorang Sukarno yang sebenarnya.

Kalian tahu Sukarno? Dia cuma lelaki mellow berego besar. Pria perasa yang ceroboh. Bagaimana tidak, atas dasar apa dia berani datang ke rumah wanita bule pujaannya untuk bermaksud meminang. Tentu saja ditendang mentah-mentah oleh bapaknya, si meneer dutch. Bagaimanapula dia bisa jatuh cinta dengan ibu kosnya kemudian menikahinya. Di buku-buku, dia diopinikan sangat sopan, seorang seniman yang romantis, pencinta keindahan. Tapi kalau mau blak-blakan. Sukarno itu Playboy kelas kakap, bahasa sekarangnya raja galau. Orang-orang model begini sangat banyak bertebaran di bumi pertiwi, anda mungkin salah satunya. Hanya saja, pemuda model Sukarno yang ada sekarang tak memiliki keberanian nekat Sukarno, mulut besarnya, egosentrisnya, jati dirinya, keteguhan hatinya, kepercayaan dirinya, serta nasionalismenya.

Mari kita lihat sejarah. Hanya dengan keberanian seorang Sukarno, pria bermulut besar lulusan sarjana muda, Negara ini menjadi salah satu pemenang perang dunia kedua dengan kemerdekaannya. Lihat Negara lain! Britania perlu peraih nobel macam Churcill untuk jumawa. Yang naas, Jerman bahkan tak bisa memanfaatkan talenta ilmuwan terbaik macam Einstein untuk sekedar menang melawan sekutu. Itulah hebatnya Sukarno. Lalu ego tinggi membuat Sukarno menolak menunduk saat berkunjung ke hadirat Kaisar Jepang. Karena itu sang Kaisar malah menaruh hormat kepadanya.

Karakter pemimpin yang lain, Muhammad Hatta. Lelaki culun yang selalu taat peraturan. Kutu buku yang lebih banyak diam. Lagi-lagi orang model ini banyak bertebaran. Tetapi masalahnya sama. Orang-orang model Hatta kehilangan keberanian Hatta.

Kalian tahu, berapa banyak professor dan guru besar yang diturunkan Belanda guna menancapkan kekuasaan mereka di bumi pertiwi kita? Jawabannya adalah sangat banyak. Ilmuwan-ilmuwan itu bekerja membuat analisis-analisis strategi perang, berkedok menjadi missionaris guna meneliti watak dan adat istiadat kita, melakukan eksperimen-eksperimen di laboratorium guna menemukan senjata baru, mereka bekerja sangat sistematis. Tapi, kecerdasan otak mereka dan semua tetek bengek ilmiah itu mental oleh polah murid-murid mereka di kuliah. Mahasiswa-mahasiswa pemberani model Muhammad Hatta membuat mereka kalang kabut. Hatta tak perlu jadi professor untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kita semua punya potensi menjadi Sukarno-Sukarno baru, Hatta-Hatta baru, Gajah Mada baru. Kita bisa berdiri sejajar dengan Amerika, berjalan tegak menghadapi orang Jepang, beradu debat dengan Belanda dalam satu meja. Kita bisa menyatukan pulau-pulau Nusantara dalam ikatan kebanggaan nasionalisme. Semua itu jika kita punya keberanian.

Minggu, 18 Maret 2012

Perjuangan

Dulu sewaktu masih mondok, untuk memberi semangat kami, ustadz-ustadz seringkali menceritakan pengalaman seorang Ibnu Hajar al-‘Astqalani. Ternyata, di balik gelar al-Hafidz yang dimilikinya (julukan tertinggi kedua dalam disiplin ilmu hadis), beliau pernah mengalami masa-masa sulit belajar. Cerita beliau tak seperti kisah ulama kebanyakan yang digambarkan sangat cerdas karena mampu menghafal dengan tempo singkat di usia muda. Ibnu Hajar kabarnya pernah hendak putus asa dari kesulitan belajarnya.

Dalam perjalanan pulang dari madrasahnya, Ibnu Hajar tertegun menyaksikan batu yang berlubang karena tetesan terus-menerus dari air. Lalu beliau tersadar dengan satu hal, batu yang sedemikian kerasnya saja dapat berlubang karena tetesan air, pastilah otak kita juga mampu mencerna pelajaran sesulit apapun. Tentunya dengan usaha keras terus-menerus seperti tetesan air yang tiada berhenti.

Waktu SD, di pelajaran Fisika, aku dikenalkan guruku dengan nama Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar. Dibalik penemuan hebatnya tersimpan cerita lebih hebat. Edison gagal berkali-kali. Baru pada percobaan ke 1000 dia berhasil. Catat hal ini, seribu kali!

Lalu beberapa waktu lalu, aku menemukan orang semodel dua contoh diatas di kehidupan nyataku. Aku bertemu dengan seorang penulis yang menghasilkan satu buku setiap tahun, kebetulan seniorku. Dalam waktu 5 tahun dia sudah menghasilkan 5 buku. Yang fenomenal, salah satu bukunya diangkat menjadi film oleh salah satu rumah produksi tanah air. Sudah tayang Oktober tahun lalu.

Kami sempat ngobrol santai seputar masalah perbukuan. Waktu itu aku ingin tahu banyak hal tentang dunia ini. Aku ingin mendengar langsung dari seorang yang sudah terjun berjibaku di dalamnya. Banyak hal yang aku dapatkan dari beliau. Yang paling berkesan bagiku bukan pengalaman suka duka yang beliau alami, tapi dari beliau aku belajar tentang kekuatan tekad dan kerja keras. Kemudian aku menyimpulkan hasil analisa pribadiku, bahwa di dunia ini tak ada rintangan yang bias menghalangi sebuah konsistensi.

Sebenarnya konteksnya adalah aku sedang menyemangati diriku sendiri, sama dengan tujuan semua tulisan-tulisanku. Hingga kin,i bersama berjalannya waktu, selalu aku temukan kekurangan demi kekurangan baru yang terkadang membuatku berpikir “bisakah aku?” Tak bisa ku pungkiri kawan, terkadang aku tak yakin dengan kemampuanku sendiri. Seringkali aku meragukan diriku karena tak kunjung menemukan cara menuju apa yang aku anggap tujuan. Suatu ketika, dalam keragu-raguan yang sangat, aku mengeluh pada seorang kawan:

“Harus dengan cara apalagi aku memperjuangkan mimpiku?”

Kawanku menjawab:

“Apakah dengan berhenti akan membuatmu merasa lebih baik?”

Jawaban yang menghentak, sangat menohokku. Aku tahu bahwa diam hanya akan menyiksaku lebih kejam, karena aku tak pernah bisa berdamai dengan otakku yang terus menerus bermain dengan impian-impian liar. Lalu aku teringat kisah-kisah diatas, semuanya menunjukkan bahwa dibalik kesuksesan ada perjuangan hebat. Perjuangan yang mencapai taraf mencoba seribu kali. Perjuangan yang setingkat dengan usaha butir-butir air melubangi batu.