RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Sabtu, 30 Juli 2011

Cintaku, Prinsipku

Pyuh, akhirnya kuhempaskan badanku pada kursi bus. Setelah berjalan lumayan jauh dari rumahku di daerah Saqor menuju pertigaan mutsallast, berdiri sekitar 15 menit menunggu bus, rasanya kaki ini berhak untuk diistirahatkan barang sebentar. Dan lagi pundak dan punggung inipun ingin sejenak melepas beban berat tas punggungku.



Pukul 13.45, jarum di jam tanganku menunjukkan waktu saat ini. Siang ini cuacanya lumayan sejuk untuk ukuran musim panas, 38 derajat celcius. Dengan rata-rata suhu beberapa hari ini berkisar di angka 39,40,41,42 derajat celcius. Hari ini adalah hari terdingin. Mungkin karena musim panas akan segera menghilang. Namun tetap saja panas, apalagi di dalam kotak besi rongsok bermesin ini. Sifat konduktifitas besi membuat panas terkonsentrasi dalam bus ini. Ditambah dengan panas tubuh yang dikeluarkan dari 30 sosok manusia di bus mini ini. Pengap adalah hasil akhirnya.



Kuhela nafasku dalam-dalam tanda puas setelah berhasil memenangi perebutan sebuah kursi panas dengan para sainganku, tubuh-tubuh tambun pria mesir. Kalian boleh lebih kekar, tapi kali ini aku lebih gesit, batinku.



Kutoleh kesamping kanan, di sebelah jendela bus seorang pemuda mesir terlihat asyik mengayun ayun kan kepalanya. Headset besar yang menutupi telinganya mungkin telah membuatnya tak sadar. Suara paraunya terlalu keras dan amat buruk untuk dinikmati.



I want it that way, lagu hit Backstreet Boys. Hmm, globalisasi memang telah merasuk ke semua sendi kehidupan di daerah manapun di muka bumi ini. Tak terkecuali Mesir, negeri yang diklaim pribuminya sebagai Ummuddunya, ibu bagi peradaban-peradaban dunia. Di satu sisi lantunan ayat suci Al Qur’an masih banyak terdengar di toko-toko, masjid-masjid masih lumayan ramai jika dibandingkan dengan suasana surau-surau di Indonesia. Namun disisi lain, lagu-lagu musisi barat mulai menggantikan posisi lantunan ayat qur’an dalam playlist-playlist mp3 pemuda-pemudi. Modis pakaianpun ikut terwarnai. Meskipun sebagian besar kaum wanita masih berjilbab, tapi sebagian besar pula pemudi mengenakan baju yang modifikasinya menunjukkan lekuk tubuh mereka. Sementara baju lebar khas mesir semakin sedikit pemakainya, semakin terkhusus bagi ibu-ibu yang berusia lanjut. Inilah yang terjadi di Kairo, miris.



Saat kutolehkan kepalaku kesebelah kiri, seorang wanita asia tampak berdiri menghadap ke depan. Sepertinya aku kenal,



“ Elisya!” teriakku spontan setelah memastikan bahwa wanita itu adalah orang yang kumaksud. Wanita itupun menoleh, meskipun bercadar, aku bisa melihat matanya menyipit tanda ia tersenyum dan berucap:



“ Salamualaikum Akh!”



“ Waalaiksalam,” jawabku. Jiwa kelaki-lakianku membuatku merelakan tempat dudukku yang nyaman itu.



“ Tafaddhol [1]Lis, duduk aja!”



Wanita itu adalah Elisya Wardah, teman satu kelasku dulu di pondok An Nur, di pedalaman jawa tengah. Dahulu kami adalah rival, posisi terbaik di marhalah selalu menjadi giliran. Terkadang aku, kali lain dia. Dan di akhir tahun ajaran, aku boleh berbangga karena akulah yang menjadi pemenang secara kumulatif.



“ Mau kemana lis?” tanyaku.



“ Ke Wisma Zal,” tumben dia memanggil namaku.



“ Excuse me?” aku ingin kembali mendengar namaku terlontar dari mulutnya.



“ Iya, ke wisma Rizal, nama kamu Rizal kan, Rizal Rahmatullah?” selorohnya diakhiri dengan tawa kecil.



Hahaha, akupun tertawa. Untuk beberapa saat kami larut dalam tawa itu. Bagiku ini lucu, sudah lama sekali ia tak memanggil ku dengan nama. Semenjak ia mengenakan cadar dua tahun belakangan, ia selalu memanggilku dengan sebutan Akhi.[2]



“ Mau ke Sosialisasi calon juga?” tanyaku mencoba meredakan suasana.



“ Iya, memangnya ada acara lain di Wisma?” jawabnya masih dalam suasana cair. Tak biasanya dia seperti ini.



“ Ukhti [3] kan aktifis wihdah[4], barangkali aja ada acara wihdah gitu,” jawabku sekenanya.



“ Ukhti? Semenjak kapan aku jadi saudara kamu?” kembali pertanyaan itu membuat kami tertawa sejenak.

Kamipun larut dalam obrolan selama perjalanan. Siang ini kutemukan sosok Elisya Wardah yang dulu. Sosok supel, cerdas, riang, dan pastinya charming. Kepribadian yang sempat membuatku menaruh hati padanya. Tapi itu cerita lama, kini aku telah menemukan kehidupanku. Akhirnya nampak gedung dengan reklame besar NSGB, menandakan kami harus turun.



“ Ala ganb yasthoh law samaht!”[5] teriakku.



“ Ahad nazil hina?” [6]sang sopir berusaha memastikan.



“ Ayyuah![7]” teriakku lagi, kali ini lebih keras. Dan mobilpun berhenti. Kamipun turun. Kali ini aku biarkan ia berjalan mendahuluiku, setelah sebelumnya mengucap salam. Aku harus lebih dahulu memeriksa isi tasku, ada beberapa dokumen penting yang harus dicek keberadaannya sebelum menginjakkan kakiku di gedung wisma nusantara. Alhamdulillah semuanya lengkap.



Akupun melangkah gontai, seakan tanpa beban.



Hey, mengapa aku seperti ini. Ada acara penting dihadapanku, aku harus serius.



Damn, aku tak bisa kabur dari euforia ini. Euforia kebahagiaan karena aku bisa kembali bersenda gurau dengan Elisya, meski sekejap. Euforia yang membawa kembali memori-memori indah masa lampau, cinta.



“ Nggak, nggak boleh! “ aku berguman sendirian. Aku tidak boleh kembali jatuh cinta kepadanya. Dia itu sekarang musuhmu zal, orang yang mungkin saja membencimu, meskipun tadi ia terseyum.



Tidak, tidak ada kalimat cinta lama bersemi kembali dalam kamus pribadiku.



@



Auditorium Wisma Nusantara sore itu nampak cerah. Cahaya putih lampu neon putih nampak serasi dengan warna dinding yang hijau muda. Meskipun cuaca musim panas sedikit mengganggu kenyamanan, membuat orang-orang yang berdandan perlente tak henti-hentinya mengusapkan tissue untuk menyeka peluh yang bercucuran.



Acara verifikasi calon presiden PPMI telah dimulai. Kini memasuki sepatah kata dari pemangku jabatan lama, saudara Amir. Kembali sifat curiosity ku membuatku memandang sekeliling.



Memang tak ada pemisah yang nyata, tapi kumpulan orang dalam ruangan ini terpisahkan oleh sebuah daris imajiner menjadi dua buah kubu.



Kubu pertama adalah orang-orang yang mengusung calon pertama. Dandanannya mudah dikenali. Jika laki-laki bercelana kain, potongan rambut pendek, dan sejumput janggut tipis yang menghiasi wajah-wajah penuh sahaja mereka. Kebanyakan berasal dari luar jawa.



Sejenak kulihat diriku sendiri, aku memang berjanggut, mengikuti sunnah Rosulullah untuk memeliharanya. Namun terkadang aku masih mengenakan jeans kebanggaanku. Jeans merk Lea yang merupakan produk dalam negri. Aku juga terkadang membiarkan rambutku tumbuh panjang tak berarturan.



Wanitanya berjilbab lebar, menutup rapi bagian termulia manusia, kepala, hingga terulur menutupi sebagian besar tubuh mereka. Dengan rok yang juga lebar. Sebagian mengenakan cadar. Dan jika berjalan menundukkan pandangan. Benar-benar memenuhi kriteria wanita sholihah yang kudambakan. Aku tak tahu ini untung atau buntung, Elisha Wardah adalah salah satu dari mereka.



Sementara kubu yang kedua lebih sekuler. Tidak nampak eksklusif dengan dandanan. Gaya berpakaian mereka macam-macam. Ada yang menjadi korban hair style dengan potongan rambut neko-neko, bahkan diwarnai. Yang menyatukan mereka adalah keadaan bahwa mereka bukanlah kubu yang pertama.



Dinamika organisasi masisir memang kelewat aktif. Memang konsekuensi logis dari system perkuliahan Al Azhar yang cenderung longgar. Sisi positifnya, militansi mahasiswa Indonesia boleh jadi semakin terasah. Kegiatan demi kegiatan yang datangsilih berganti membuat kami belajar banyak tentang etos kerja, kerjasama dan seni kepemimpinan. Sesuatu yang insyaallah akan berguna bagi nusa bangsa kelak.



Dilain sisi, perputaran yang amat dinamis tadi membawa efek negative. Dunia PPMI yang seharusnya hanyalah wadah persatuan pelajar, bertransformasi menjadi ladang percaturan politik. Menjadi semakin pragmatis dengan tujuan pangkat dan jabatan. Dan semakin sempit karena kini ada kubu kita dan kubu orang luar. Mahasiswa terpecah.



Kubu pertama tadi, adalah komunitas kader partai politik. Aku mencoba memandang dari perpektif mereka. Tujuannya bagus, mengislamkan semua nilai kehidupan, salah satunya politik. Selaras dengan konsep islamisasi ilmunya Naquib Al Attas. Mungkin bagi mereka, orang-orang sepertiku adalah preman-preman urakan berkedok mahasiswa yang mengacaukan tujuan mulia mereka.



Sementara kubu kedua, adalah aku dan konco-koncoku, kaum organisatoris. Menurut teman-temanku, sisi partai telah mengubah tujuan awal PPMI menjadi melenceng dan tidak obyektif. Itu juga membuat PPMI menjadi tidak efektif dan efisien, bahkan tumpul. Alasan lain untuk selalu melawan kubu pertama adalah, karena cara-cara yang dilakukan mereka kotor. Jauh dari nilai murni yang diagung-agungkan. Politik memang seperti itu, bagai lumpur yang kotor.



Mengapa aku disini? Aku hanya ingin bergerak. Menimba pengalaman sebagai tambahan diluar akademis. Keadaanlah yang mempertemukanku dengan teman-teman kelompokku. Soal politik, aku hanya ingin belajar. Karena aku yakin suatu saat aku akan jadi pemimpin besar.



Acara beranjak kepada verifikasi persyaratan calon.



Berkas-berkas milik kedua pasangan calon presiden telah diperiksa keabsahannya oleh panitia di hadapan audien. Lengkap, saat pemimpin siding hendak mengetuk palu menyatakan keabsahan kedua bakal calon pasangan presiden PPMI, inilah saatku beraksi seperti yang telah direncanakan sebelumnya.



“Interupsi, saudara pimpinan siding!” aku berdiri dari tempat dudukku.



“ Berdasarkan pengamatan saya, pasangan Yusuf dan Salman masih kurang persyaratannya. Setahu saya saudara Yusuf Ali masih menjabat sebagai menteri dalam cabinet PPMI tahun ini. Dan Saudara Yusuf belum menyertakan surat tanda pengunduran diri. Berarti pasangan Yusuf dan Salman tidak sah sebagai calon karena tidak memenuhi persyaratan.” Kataku dengan lugas.



“ Berdasarkan AD ART PPMI tentang persyaratan calon presiden-wapres pasal 15 ayat b menyatakan bahwa calon presiden tidak diperkenankan memangku jabatan lain dalam PPMI, Kekeluargaan, maupun organisasi afiliatif lainnya. “ lanjutku.



Hadirinpun kini tegang. Suara riuh rendah mulai terdengar. Aku tahu ini adalah pukulan yang amat menohok untuk kubu mereka. Kemudian setelah debat beberapa saat mengenai hal ini. setelah beberapa orang dari masing masing kubu berusaha menguatkan posisinya. Pimpinan siding memutuskan bahwa pasangan Yusuf-Salman tidak lolos verifikasi. Artinya kini hanya ada satu pasangan untuk pemilihan Presiden PPMI tahun ini, pasangan yang kami usung, Bambang-Satria. Ini juga berarti kemenangan untuk kubu kami tinggal di menunggu waktu.



Aku menghela nafas lega, tugasku terlaksana dengan sukses.



@



Sore itu nampak begitu indahnya, di depan gerbang Wisma aku memandang kea rah timur menyaksikan matahari yang malu-malu merona merah, pertanda ia minta undur diri dari siangnya. Sementara sang bulan telah muncul meski belum bersinar. Dunia memang indah, apalagi ketika kita sukses menjalankan misi.



Disekelilingku teman-teman tampak asyik ngobrol, tentu saja masih dalam tema kasus tadi. Mereka tampak sumringah,tiba-tiba;



“ Permisi!” seorang wanita menyela jalan. Kami tampaknya memenuhi ruangan di gerbang keluar.



“ Silakan!” jawabku spontan. Saat kulihat siapa yang menyela. Aku terkejut, itu Elisha.



“ Lis!” aku memanggilnya. Dia hanya menoleh kemudian membuang kembali mukanya. Dari tatapannya aku melihat raut kebencian di mukanya.



Hmm, aku bisa mengerti. Kini aku kembali menjadi sosok antagonis di hadapannya. Dan sepertinya ia akan kembali menutup hatinya dan bersikap dingin lagi kepadaku. Sepertinya kejadian di bus tadi akan sulit terulangi. Ah, seandainya Elisha mengetahui apa yang ada di pikiranku, alasan-alasanku untuk melakukan ini semua. Dan seandainya aku mengungkapkan isi hatiku selama ini. Aku yakin dia akan mengatakan ya untuk cintaku.



Namun, beginilah aku. Akan selalu keras kepala. Meskipun hatiku rapuh, namun egoku terlalu tinggi untuk mengalah. Aku tak perlu menjelaskan dan mengungkapkan apapun kepadanya atau siapapun juga. Karena aku akan selalu cinta dan setia kepada cinta terbesarku setelah Allah, Rasulullah, dan orang tuaku. Yaitu cinta kepada diriku sendiri dan prinsipku.





[1] Silakan! (Arab)



[2] Saudara (laki-laki)



[3] Saudari (perempuan)



[4] Organisasi kewanitaan di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir.



[5] Miggir (ungkapan amiyah mesir untuk menandakan bahwa kita hendak turun saat naik kendaraan)



[6] Ada yang mau turun?



[7] Ya

Kamis, 14 Juli 2011

Envy

Awas jangan salah tangkap, bukan Enbi Sabi’ ya, tapi Envy, hehe.

Jujur saja, sebenarnya aku seorang temperamental. Hal ini bertambah buruk karena menurut psikolog aku adalah seorang melankolis yang emosinya tidak stabil. Aku bisa tiba-tiba kehilangan kontrol karena amarah. Kalau sudah begitu, tinggal ambil batu lempar ke kepalanya, haha. Pernah aku menghancurkan lemari yang baru kubeli sebulan karena kesal dengan tumpukan pakaian yang tak rapi-rapi, haha. Untungnya selama ini belum menemukan hal-hal yang begitu memancing emosi, sehingga semuanya masih terkendali.

Sedikit tentang karakter, lagi lagi ini subyektif. Pendapatku tentang diriku sendiri, jadi tak perlu diperdebatkan, terserah bagaimana anda menilaiku. Apalagi karakter adalah hal abstrak yang tidak bisa didefinisikan dengan pasti. Ibu menurunkan sikap kesahajaannya, serta kesederhanaan berpikir dan bertindak, tipikal orang jawa. Nggak usah neko neko, begitu kata Ibu. Tapi aku juga mewarisi sikap keras kepala ayahku, plus cuek kebonya (lebih cuek ari bebek). Sifat terakhir inilah yang tetap membuatku PD meski tampang lecek gak karuan. Apapun itu jika aku merasa nyaman, aku akan menikmatinya, tak peduli kata orang. Mungkin itu sisi eksentrikku, dan bukankah semua orang punya keeksentrikan masing-masing?

Hal yang paling membuatku naik darah adalah jika melihat seseorang lebih baik. Rasanya darah mendesir naik ke ubun ubun seperti disedot pompa dari alam tak kasat mata. Dengki, nanti dulu. Bagiku selama rasa ini tidak berwujud pada praktik menyelakakan orang lain, selama itu pula sifat ini akan aku jaga. Karena ternyata, rasa inilah yang telah mengantarkanku sejauh ini. Dengan tantangan hidup yang semakin hari semakin nyata, dan dengan saingan-saingan baru (orang-orang baru, hehe) yang semakin hebat. Rasa ini yang memancingku untuk berpikir keras bagaimana cara mengakali supaya bisa tetap bersaing dengan orang-orang yang selalu lebih baik.
Dulu, waktu kelas satu KMI, aku minder besar. Ya, berada di kalangan anak-anak pintar dari sekolah-sekolah unggulan asal kota-kota besar sedikit banyak membuatku keder. Jika flashback ke sekolah SD ku yang hampir roboh dan hanya diisi belasan pasang kaki manusia tanpa alas dulu, ini semua seperti sebuah antonim. Akhirnya, aku bisa juga naik kelas ke kelas dua B setelah pontang panting syaharullail. Lalu di kelas 3 C, bisa juga kucicipi rasa menjadi juara kelas setelah tiap pagi mengunjungi wali kelas untuk memahami pelajaran Nahwu Sharf.

Kini, rasa iri itu tumbuh lagi. Sebenarnya perasaan ini sudah membuncah hebat semenjak ujian, sehingga karenanya aku begitu tersiksa selama ujian. Kalau diibaratkan, mungkin seperti magma yang sudah memuncak di mulut gunung. Tinggal satu gerakan tektonik saja, maka habislah sekeliling gunung dilahap lahar.

Sebabnya, tentu saja ketidakmampuan diri menyesuaikan kemauan serta kemampuan dengan karya. Teriris hati ini rasanya melihat teman-teman yang jauh lebih muda sudah berhasil menelorkan karya mereka. Buku-buku bagus mereka yang bertebaran, atau karya-karya hebat mereka di dunia cyber membuatku kembali tersiksa. Sepertinya aku harus kembali berpikir keras, bagaimana untuk bisa kembali bersaing dengan orang-orang hebat itu.

Jagalah perasaan tersiksa melihat sebuah keberhasilan, karena itulah yang memacu anda untuk berbuat lebih baik (Poetra)
Ceracau Rajawali, pagi ini, Kamis 14 Juli, 2011.