RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 15 Juli 2013

Tentang Malam Ini dan Perkara-Perkara

Malam ini, saya tak sempat berpikir panjang. Tapi atas permintaan seseorang saya tulis note pendek. Isinya, kurang lebih seperti tulisan-tulisan yang sering saya tulis dulu, bagaimana memotivasi diri sendiri.

Hari ini, saya tak tahu harus senang atau sedih. Pasalnya, bersama kebahagiaan melihat usia ini berganti satu angka lebih banyak, saya juga sedih karena terhenyak oleh kenyataan bahwa tantangan di hari-hari ke depan semakin serius dan so pasti semakin berat.

Di satu sisi, di hari ulang tahun ini, saya ingin sedikit berbahagia dengan menghargai prestasi-prestasi kecil yang telah saya raih. Barangkali ihwal-ihwal remeh itu pada hakikatnya tak patut di sebut prestasi, namun ada kalanya kita perlu sejenak tersenyum menatap langkah-langkah kecil yang sudah kita ambil. Karena bagaimanapun, akan lebih mudah melangkah melanjutkan mimpi-mimpi liar kita dengan senyuman daripada berjalan dengan muka sayu akibat beban yang terlalu berat.

Tentang target-target yang lepas, tak perlu terlalu disesali, jika Anda sudah melakukan yang terbaik. Kegagalan-kegagalan itu selayaknya datang untuk membawa kesadaran lebih bahwa ada yang lebih berkuasa daripada tekad, kerja keras, dan semua rencana-rencana manusia. Allah SWT ada di atas segalanya. Maafkanlah kesalahan yang kita buat, tapi jangan hilangkan antusiasme untuk mencapai target-target baru dengan cara yang lebih baik.

Tentang rasa sakit akibat wanita, cinta, asmara, dan semua perkara individual yang penuh egoisme itu, percayalah, you are not alone, everybody’s hurt! Jadi, tak ada yang istimewa dengan itu. Tak perlu meratap seolah Anda adalah satu-satunya orang yang paling tersiksa di dunia ini. Semua orang tersiksa karena urusan cinta, tapi kita saksikan masih banyak dari mereka yang bisa tersenyum lebar. Jangan sampai hidup kita dihabisi oleh urusan-urusan pribadi semata. Jadilah pribadi yang telah usai dengan diri sendiri!

Tentang mimpi, teruslah memasang standar tinggi. Banyak orang memimpikan perkara-perkara luar biasa. Namun, satu persatu tercecer di tengah jalan. Perlahan, bersama kerasnya kehidupan, mereka menyerahkan keluarbiasaan mimpi itu di hadapan kenyataan sementara. Padahal, di akhir perjalanan, hanya orang-orang yang tetap memegang kuat-kuat keyakinan akan kemuliaan mimpi dan kebesaran Tuhan yang boleh tersenyum bangga. Lainnya hanya akan memandang kekerdilan diri dengan seuntai panjang penyesalan.

Tentang keluarga, perhatikan satu perihal penting ini: jangan pernah memandang diri mampu membangun keluarga baru jika kita masih punya masalah fundamental dengan keluarga yang kita miliki saat ini. Maka, perbaikilah kualitas hubungan dengan ayah, ibu, kakak, adik, dan sanak saudara sebelum memutuskan untuk menikah. Karena itu artinya kita membangun bangunan sekaligus menghancurkannya dalam satu waktu. Bagaimana mungkin kita mendirikan gedung yang kita hancurkan dalam waktu bersamaan? Percayalah, kesalahan-kesalahan mendasar dalam berinteraksi dengan keluarga akan serta merta terulang dalam keluarga baru yang ingin Anda bangun.

Tentang teman-teman, jangan pernah menghancurkan perkawanan yang telah dibangun atas kepercayaan Akan sangat mudah memutus tali silaturahim namun sangat sulit menyambungnya kembali. Sekuat apapun kita, akan ada saat-saat dimana kemanusiaan kita menunjukkan sifatnya yang hakiki, lemah dan tak berdaya, butuh akan pertolongan. Kemudian, perbaikilah pribadi kita untuk lebih kompromistis dengan karakter yang lebih beragam. Bersama semakin luasnya wawasan, seharusnya semakin cerdas pula kita berinteraksi.

Tentang buku, cintailah ia! Karena kalian tak akan membacanya sebelum mencintainya dan menyadari kepentingannya. Teknologi boleh bertambah maju, tapi buku tak pernah menjadi barang usang. Dan sungguh, tak ada orang besar yang tak punya hubungan baik dengan buku.

Tentang jodoh, berdoalah pada Tuhan banyak-banyak!

Tentang Tuhan, jalanilah hidup dengan melibatkan-Nya serta!



Selasa, 02 Juli 2013

Wanita Berhati Kelabu


Gambar: www.illustrationsource.com

Setahuku, wanita cantik selalu berhati kelabu. Kalbu mereka adalah sore berkungkung mendung yang enggan menitikkan gerimis. Kelopak mereka diganduli beban-beban kesedihan yang menggumpal. Mata mereka memancarkan api kehidupan yang redup. Dan jika kalian perhatikan, di antara ceruk-ceruk molek di dua sisi pipi mereka kala tersenyum, yang membuat sungging mereka semanis gulali, tersimpan beberapa butir gundah gulana.

Ini berbeda dengan apa yang ku baca di tatal dongeng-dongeng. Dalam hikayat, putri-putri jelita selalu berona cuaca pukul tujuh pagi di kampung lereng gunung, sejuk, lembab dan teduh. Hati mereka pun selalu meriah. Berhiaskan manik-manik tawa bahagia, seringai yang memahligai, dan pijar-pijar membara dari kedua pelita mata.

Aku baru tahu perbedaan antara wanita sempurna mitos dengan mereka yang ada di alam nyata suatu hari. Ketika sesosok wanita berdiri mematung di depan jejeran buku bekas jualanku, waktu aku sedang memilah-milah buku yang tak laku. Ketika itu hari masih pagi, matahari belum tegak berdiri. Rambutnya yang panjang sepunggung melembai-lembai diterpa angin. Melihatnya, aku teringat bendera berkibar dan tiangnya yang kaku di tengah lapangan. Kebetulan, sekilas ia memang mirip bendera merah putih. Kulitnya putih bersih, sementara warna merah  menyemburat di beberapa sisi, terutama di bagian antara pelipis dan pipi. Oh iya, ia juga semampai.

“Nyari buku apa, Mbak?” Tiang pancang itu akhirnya bergerak,  sementara rambutnya tetap berkibar.

“Oh, ada Romeo dan Juliet Shakespeare?” Keningnya berkerut, sembari matanya melompat-lompat menyusuri buku-buku. Aku bisa menangkap getar-getar kegundahan dari matanya.

“Wah lagi kosong stoknya, Mbak,” Tanganku menggaruk kepala yang tak gatal, sedikit kecewa. Entah kenapa naluri laki-laki selalu ingin menyenangkan wanita yang tengah bersedih.

Ia hanya menghembuskan nafas, sepertinya kecewa juga.

“Baca buku-buku itu aja Mbak, asyik-asyik lho ceritanya!” Ujarku sambil mengarahkan telunjuk ke tumpukan novel-novel teenlit.

“Ah, aku tak suka buku-buku Indonesia kontemporer. Lebih mirip permen daripada buku. Kemasannya warna-warni. Kebanyakan menawarkan manis, sedikit menyajikan rasa lain, dan semuanya tak pernah membuatku kenyang.”

Amboi, baru kali ini kutemukan wanita cantik yang begitu mengerti metafora.

Kemudian entah kenapa awan-awan mengerumun, mungkin semesta turut berempati, tak sampai hati menyaksikan kemasygulan mengotori paras wanita cantik. Mendung pelan-pelan menebal, membentuk gempal-gempal hitam. Angin turut bersiut pilu, petir meneriakkan simpatinya, dan langit segera termehek-mehek.

Dalam kungkungan gerimis yang menjelma lajur-lajur jeruji itu, kami menghabiskan hari di toko bukuku. Aku menyuguhinya teh panas dan biscuit jatah makan malamku. Lalu kami bercerita, membelah kisah hidup masing-masing menjadi potongan-potongan yang dapat dicerna. Terutama tentang buku-buku dan asmara. Sebenarnya aku hanya bersikap sekedarnya, menimpali ceritanya tanpa pretensi. Tapi entah mengapa dia begitu antusias terhadapku. Barangkali karena para wanita cantik sudah sangat muak dengan terlalu banyaknya lelaki yang menggumbar rayu.

“Mengapa kau namakan tokomu Anak-Anak? Sepertinya dulu kamu terobsesi menjadi guru TK,” Ia memandang plakat nama tokoku yang bergambar dua bayi membaca buku.

“Hahaha, tidak juga, ini berhubungan dengan asmara. Aku pernah mencintai buku dan anak kecil. Karena itu aku rasa menjadi penjual buku dengan menamai tokonya “Anak-Anak” akan menjadi penjaga kenangan yang baik,” Aku menjawab sembari memalsukan senyum, menahan getir-getir masa lalu yang tiba-tiba menyeruak.

“Apa, kau mencintai anak kecil? Pe..o..hahaha!!” Ia menuding-nudingku dengan dengan senyuman sarkastis, menggantung kalimatnya dengan tawa nyaring yang lepas sekali.

“Tidak, aku lelaki normal, namun kadang-kadang beberapa wanita dewasa memiliki anak kecil dalam dirinya, dan aku mencintai salah satu dari mereka,” pelan saja aku menjawab, biarlah ia puas menertawakanku, aku cukup senang membuat orang lain bahagia.

“Haha, kamu lucu,” Ia berkata demikian sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari.

“Tentu orang yang kau cintai sangat cantik. Memangnya apa yang menarik dari anak kecil?” tanyanya usai menyeruput teh yang sudah agak dingin.

“Ah, tidak juga, ia tak cantik, tapi sangat periang, melihat polahnya saja membuatku merasa hidup ini telah lengkap. Apalagi yang dicari dari hidup selain kebahagiaan?” jawabku dengan senyuman lebar. Tapi hei, dia malah tiba-tiba murung.

“Kamu kenapa?” Ia hanya menggeleng, lalu tak dinyana air matanya meleleh, bagai lilin dilahab api yang menggelepar-gelepar.

Aih, laki-laki selalu kikuk dalam keadaan begini. Di satu sisi kelaki-lakian mengharuskan memberi rasa tenang bagi wanita yang tengah bersedih, tapi aku tahu, bagaimanapun ia adalah wanita asing bagiku. Aku membiarkannya menangis hingga usai, lalu menyodorinya selembar tissue.

“Aku iri dengan anak kecil itu, bagaimana ia begitu riangnya,” dia mulai berbicara ketia sengguknya telah benar-benar usai. Matanya masih lebam.

“Bukankah kamu adalah wanita yang memiliki semuanya untuk bahagia? Kamu beruntung dianugrahi paras cantik yang tidak semua wanita punya,” Ujarku berusaha menenangkan. Sebenarnya aku paling anti memuji wanita, aku tahu hati mereka terlalu rapuh.

“Kecantikan membuatku lelah, aku capek menghadapi lelaki yang tertipu oleh kecantikan. Aku ingin diperlakukan sebagai wanita yang ingin bahagia, bukan sang jelita yang selalu memesona,” lanjutnya, tangannya menyapu sisa-sisa air mata di sudut-sudut mata.

“Bukankah wajar manusia menyukai keindahan?” tanyaku.

“Tapi yang demikian menyusahkanku menemukan lelaki yang benar-benar baik, benar-benar tulus, karena semuanya berlomba menunjukkan kebaikan-kebaikan palsunya,” ia menatapku, “aku belum pernah menemukan orang secuek dirimu kala menghadapi wanita cantik,” ia tersenyum. Ah, inikah pikat yang membuat para lelaki memasang kepalsuan itu. Barangkali demikian, karena senyuman itu lebih indah dari temaram senja yang merona Parang Tritis. Selama ini, bagiku tak ada yang lebih indah dari sore hari di pesisir Yogyakarta itu.

Semenjak saat itu, seringkali aku menutup tokoku lebih awal. Karena ia mengajakku menghabiskan sore mengitari Malioboro. Membincang sejarah Indonesia di pelataran monumen Serangan Umum 1 Maret, menyantap es degan di depan benteng Vredenburg, menelusuri gang-gang pasar Beringharjo sekedar membeli selembar kain batik, adu piawai menawar barang di trotoar Malioboro dan mengakhiri malam dengan sepiring gudeg di seberang stasiun Tugu. Ia membuatku melupakan buku dan anak kecilku.

“Kenapa kau ingin membaca Romeo dan Juliet?” tanyaku dalam salah satu petualangan sore kita.

“Karena aku ingin mencari seorang pangeran yang menjagaku setulusnya.” Dan kalian tahu, semenjak itu aku merasa diriku adalah Romeo.

***
Aku masih menutup toko lebih awal, berjalan-jalan di pusat kota Jogja, tapi sudah tiga bulan ini tanpa Julietku. Ia menghilang entah kemana. Barangkali ia sedang ada kesibukan, pikirku. Lalu kuberniat memberinya kejutan. Ku ubah tatanan toko bukuku. Plakatnya kuganti dengan nuansa romantik, seperti hatiku yang tengah dijejal-jejal rindu. Sebuah tulisan “Romeo dan Juliet” kini menjadi penghias muka kios kecil ini sekaligus menjadi cetakan di atas kanan kwitansi. Di samping tulisan itu ada kopian lukian Bernard Diksee.

Di tengah segala setting yang tengah ku persiapkan sebagai kejutan untuk Julietku. Suatu hari, kala mendung menggantung, seorang Pria tampan berdiri di depan kios kecilku. Ia baru saja turun dari sedan Mercedes peraknya. Ia mengedarkan pandang ke plakat kios-kios yang ada, seperti tengah mencari sesuatu.

“Nyari toko apa, Mas?” Aku menegurnya.

“Eh, ini Mas, toko buku ‘Anak-anak’ dimana ya?” Tanyanya sambil menimang-nimang selebaran kecil.

“Oh, toko itu sudah tutup, Mas, memangnya kenapa?”

“Eee, ada titipan untuk penjualnya,” Ia memperlihatkan selebaran itu.

“Sini Mas, nanti saya sampaikan ke orangnya,” aku ingin tahu selebaran apa itu.

“Ini!” ia menyodorkannya, lalu segera mohon diri. Sebentar lagi hujan, katanya. Aku segera tersadar bahwa selebaran itu adalah adalah sebuah undangan pernikahan. Tertulis di muka dengan font cantik, Julia dan Rama, mohon doa restu. Aku ingat Julia adalah Julietku, tapi siapa Rama?

“Mas, mas!” tergopoh-gopoh ku kejar pria tampan tadi. Ia berbalik, air mukanya menyiratkan tanda tanya.

“Mas namanya Rama?” tanyaku.

Ia tersenyum, segera saja  lututku bergetar. Aku hanya bisa berdiri mematung menatapnya pergi. Argh, beginikah hati wanita-wanita cantik. Baru kemarin ia melenguh seolah ia satu-satunya korban kekejaman dunia, dan sekarang ia berulah tanpa sadar bahwa ia adalah kekejaman itu sendiri.

Aku pesimis pria parlente itu mampu mejadi Romeo untuknya, ia juga bukan Juliet. Tapi jika mereka memang Romeo dan Juliet, artinya mereka harus mati.


Tanganku mengepal.