RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 25 Juni 2012

Menyikapi Perbedaan

Kalian tentu pernah mendengar kisah Nabi Musa As dengan Nabi Khidhr bukan? Untuk lebih jelasnya, cerita mengenai perjalanan mereka berdua ini terpapar dalam Al Qur’an surat Al Kahfi  ayat 65-82.

Dalam kisah ini diceritakan bahwa Musa As selalu memprotes setiap perbuatan Khidhr, karena tidak sesuai dengan “logika”nya tentang bagaimana seharusnya semua itu terjadi. Musa tak habis pikir bagaimana bisa seorang nabiyyullah Khidhr melubangi perahu yang mereka tunggangi. Khidir juga kemudian membunuh anak yang masih muda belia. Dan terakhir, masalah yang membuat keduanya berpisah, Musa mempertanyakan perbuatan Khidir membangun kembali dinding rumah yang hampir roboh di sebuah desa, padahal penduduknya bahkan menolak menjamu mereka. Akhirnya, kebersamaan Musa dan Khidir harus berakhir karena Musa tidak bisa berdamai dengan rasa penasarannya.

Apakah pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut?

Manusia, lumrahnya, mempunyai mindset bermacam-macam dalam memandang sesuatu. Mindset ini adalah refleksi dari input individual selama tumbuh kembang. Kita tumbuh dalam lingkungan, pengaruh, kecenderungan, dan pengetahuan yang tak seragam. Karenanyalah setiap insan memiliki keunikan tersendiri dalam mindset-nya. Perbedaan inilah yang seringkali menjadi pemicu konflik yang lebih besar. Ini juga yang tersampaikan dari ayat Qur’an menceritakan perkataan Khidhr:

“Dia berkata : Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Bagaimana kamu bisa bersabar atas sesuatu, sedangkan kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS. Al-Kahfi, 67-68).

Dalam hidup, seringkali kita dihadapkan dengan perbuatan orang lain yang menurut kita tidak masuk akal. Lalu kita menghukumi itu sebagai sesuatu yang negatif, bahkan juga menyikapinya dengan negatif. Padahal, belum tentu demikian adanya. Bisa jadi, masing-masing kita benar dengan perspektif yang berbeda. Bisa juga, semuanya salah kaprah. Kalau sudah demikian, bagaimana seharusnya kita menyikapinya?

Kisah Musa-Khidhr yang tercantum dalam surat Al-Kahfi tersebut telah mengajarkan bagaimana seharusnya sikap kita. Musa ‘alaihissalam tidak lekas menghukumi perbuatan Khidhr meskipun nampak salah. Musa bertanya terlebih dahulu kepada Khidhr apakah alasan yang membuatnya berbuat demikian.

Dari paragraf diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa komunikasi antara dua pihak sangat penting untuk meminimalisir konflik akibat kesalahan persepsi. Masing-masing memaparkan penjelasan dari sudut pandangnya. Dari sana kemudian disimpulkan masalah sebenarnya dan solusi bersama. Bukan sekedar komunikasi, tapi juga solusi pemecahan masalah dari semua pihak dan kebesaran hati pihak yang salah menerima kesalahan. Jangan sampai setelah konsiliasi tersebut muncul konflik yang lebih besar karena kesombongan. Rasulullah Saw bersabda:

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah dari kesombongan.” Salah seorang shahabat lantas bertanya: “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sandalnya baik?” Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Dzat yang Maha Indah dan senang dengan keindahan, Al-Kibru (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”(HR Muslim).

Kebesaran hati juga diperlukan dari pihak yang benar. Karena untuk menyampaikan kebenaran kepada pihak yang berbeda pendapat diperlukan cara yang baik. Dan kebaikan akan lebih mudah terwujud jika dilakukan dengan cara yang baik. Ada kalanya seseorang tetap bersikukuh pada sebuah kesalahan karena pendekatan yang dilakukan tidak manusiawi. Allah Swt berfirman:

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran 159)

Rasulullah Saw, selaku manusia ideal yang tindak tanduknya menjadi teladan bagi kita semua telah memberi contoh yang luar biasa dalam masalah ini. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mendapatkan luka pada perang Uhud, para sahabat lantas berkata: Sesungguhnya Nuh telah berdoa kepada Allah untuk menghukum kaumnya, mengapa Engkau tidak berdoa kepada Allah untuk hal itu. Rasulullah Saw menjawab, “sesungguhnya Aku tidak diutus untuk mencela, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan menyebarkan kasih sayang. Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti.”

Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi.

Jumat, 22 Juni 2012

Menikmati Belajar


Ujian termin kedua tahun ini akhirnya selesai juga, meskipun lagi-lagi aku harus mengernyitkan kening tanda ketidakpuasan. Dari semua ujian akademis yang telah ku lalui selama di bumi Kinanah ini, belum ada yang aku akhiri dengan perasaan lega. Selalu saja ada perasaan bersalah karena gagal menjawab soal-soal dengan tamam. Setiap pelajaran senantiasa menyisakan satu-dua-tiga soal yang membuat scanner otakku loading lumayan lama, mencari ada tidaknya jawaban soal yang terpampang dari folder-folder file kepalaku.  Naasnya, seringkali hasil scanning itu menunjukkan kata ”nihil”. Ujungnya, strategi tanjim andalanku di masa lalu terpaksa kupraktekkan juga. Yah, daripada membiarkan lembar jawaban kosong. Sebenarnya aku sangat meragukan efektifitas strategi itu di sini. Karena faktanya, it does not work well here.

Mengenai tanjim, aku pernah punya memori indah. Dulu, aku pernah sukses dengan cara itu ketika menghadapi ujian akhir kelas 6 KMI.  Dengan persiapan hanya 10% (sepuluh persen ini hanya berupa hasil membaca sebelum muraja’ah), mau tidak mau aku harus explore what is inside out untuk menjawab pertanyaan ujian waktu itu. Aku terpaksa menambal sedikit penguasaan materi dengan banyak beranalisa, bahasa kerennya ‘ngarang’, haha. Untungnya, waktu itu pekerjaan semacam ini masih diberi ruang. Aku lulus dengan predikat mumtaz meskipun jawabannya kebanyakan berupa spekulasi. Yah, karena itu juga aku selalu menganggap mumtazku kala itu adalah sebuah spekulasi, sangat mungkin kemurah hatian beberapa pihak berperan di dalamnya. However, I’ve passed and thanks for those people.

Dari kejadian itu, juga dengan memperhatikan faktor-faktor lain, aku menyimpulkan bahwa karakter otakku adalah imajinalisatoris, sebuah varian baru hasil keturunan ke sekian species imajinatoris dengan tambahan gen analisa, haha. Mungkin karena karakter tersebut, aku adalah penghafal yang buruk. Untuk bisa menghafal dengan sempurna, aku harus bersuara, bahkan sampai berteriak. Tanpa itu semuanya tak akan terbekas di otak. Menghafal bagiku adalah sangat menguras otak dan fisik. Celakanya, di sini anda dihadapkan dengan banyak sekali menghafal. Alhasil, ujian kemarin aku harus setengah mati mencari solusi bagaimana mendamaikan clash antara misi menghafal pelajaran dengan menjaga kondisi fisik yang sering ngedrop akibat kelelahan. Terkadang aku iri melihat beberapa kawan yang bisa menghapal dengan sangat cepat, hanya dengan membaca beberapa kali mereka sudah hapal di luar kepala.

Anyway, aku tak perlu merisaukan rumput tetangga yang selalu lebih hijau. Meskipun untuk mengalahkan para penghafal cepat adalah sangat sulit, setidaknya aku bisa menyelamatkan diriku sendiri (semoga selalu demikian). Selebihnya, aku tak perlu terlalu memikirkan strata akademis. Mengapa demikian? Karena ternyata, dunia ini tak sesederhana sekaligus tak serumit nilai akademis. Tak ada jaminan pasti bahwa nilai akademis akan selalu berbanding lurus dengan keberhasilan hidup kita. Kita harus bersyukur karena kenyataan itu.

Ada satu kisah nyata tentang masalah ini. Adalah Bill Gates yang pernah bertutur. Dia bercerita bahwa teman-teman kuliahnya adalah orang-orang jenius. Mereka selalu mendapatkan nilai A untuk mata kuliah yang terkadang Bill Gates harus mengulanginya. Kini, teman-teman Bill Gates itu menjadi orang-orang sukses. Mereka bekerja di perusahaan komputer terbesar di dunia. Namun, ada “humor” Tuhan yang lucu di sini, pemilik perusahaan itu adalah Bill Gates sendiri. :D

Dari “humor” Tuhan di atas aku banyak terhibur sekaligus termotivasi. Sehingga tak terlalu merisaukan nilai akademis. Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah menikmati hidup ini. Sing like no one listen, dance like no one wacth. Dalam kasusku, aku hanya perlu menikmati saat-saat belajar dengan caraku. Tersenyum menikmati keringnya kerongkongan usai teriak-teriak. Menikmati kebingungan mencari solusi meredakan ketegangan otak saat kepala mulai cenat-cenut. Menikmati rasa syukur karena naik tingkat meski dengan nilai pas-pasan. Tentunya, dengan satu keyakinan yang tak pernah aku lepaskan, bahwa suatu saat aku akan menjadi pemain dari adegan humor Tuhan yang lain.