RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Sabtu, 12 Desember 2015

Pesona Sufisme dalam Prolog

Ada yang menggoda saya kepada sufisme, tapi sulit jelaskan apa. Seperti mencintai seorang kekasih, mungkin Anda dapat mendeskripsikan alasannya: kecantikan, kecerdasan, sikap baik, dll. Tapi saya yakin, Anda mencintainya lantaran sesuatu yang lebih dalam dan bernuansa dari itu. Semacam sublim-nya Immanuel Kant. Sublim adalah indah tapi ia bukan keindahan, ialah “pesona yang luar biasa”.

“Pesona” pula yang membuat saya menjadi pemerhati sufisme. Saya tak mengaku seorang sufi karena saya tidak (baca: belum) terikat tarekat mana pun. Tetapi pengalaman-pengalaman sufistik yang unik selalu menggelitik saya untuk terjun menyelaminya. Barangkali saya berada dalam maqam paling rendah, untuk bertaubat pun belum mampu, tetapi terkadang di hati ini timbul rasa takut, penasaran, ketenangan, keriangan, kekalutan, dan pelbagai perasaan campur aduk yang anehnya seperti bergerak bersama dan menjadi semacam magnet yang semakin menarik saya terus mendekat.

Barangkali, ini yang disebut Rumi sebagai Isyq (kerinduan): daya adikodrati yang menggerakkan alam menuju yang dirindukan (al-Ma’syuq), yaitu Sang Pencipta. Menurut Rumi, alam raya ini bergerak dalam suatu proses evolutif menuju kesempurnaan. Tetapi, berbeda dengan Darwin, yang memilah yang baik dari yang buruk, yang mampu bertahan dari yang tersisih, bukan suatu konsep aneh bernama seleksi alam yang tak jelas muasal dan tujuannya, ia adalah Isyq, kerinduan makhluk kepada khaliqnya.

Mengapa musti sufisme? Seorang kawan bertanya.

Sebenarnya tidak harus sufisme, Anda bisa mendapatkan kebahagiaan atau ketenangan di mana-mana. Orang-orang pergi naik gunung dan di sana mereka mendapatkan saat penyingkapan jati diri atau merasakan keberadaan diri yang selama ini terasing. Ada teman satu kosan bercerita kawannya yang ateis kembali beriman dari pendakian-pendakian itu. Sastrawan menemukan kebahagiaan paripurna dalam menulis. Para pembaca puisi dan penyanyi mungkin merasakan “trance” dalam atraksinya. Bahkan ada seorang intelektual Islam yang lumayan terkenal bilang menemukan Tuhan dari arena golf.

Tapi sufisme menawarkan yang lebih dari itu. Ia tidak dimulai dari tawaran untuk meraih pengalaman bahagia yang egosentris, tetapi justru dari hal-ihwal praktis yang menjadikan kita manusia: memperbaiki diri. Sufisme adalah undakan keriangan yang harus dimulai dari anak tangga terbawah, tindakan-tindakan penyucian diri yang membuat kita membumi.

Di zaman kaburnya realitas ini, banyak orang mengklaim menemukan kebenaran (bahkan Tuhan) dengan cara yang absurd: menari, menyanyi, mabuk, berfantasi, dan kegilaan-kegilaan lain. Barangkali mereka memang menemukannya, saya tidak tahu. Tetapi jika pendedahan hakikat itu dinodai kemudian dengan sikap yang angkuh: menjelek-jelekkan agama, menyatakan ritual religi sebagai kewajiban untuk orang-orang awam bodoh, ada yang perlu diragukan dari klaim-klaim mereka. Setan mampu menggugurkan kewalian seribu orang alim dengan tipu dayanya, apalagi orang-orang yang sehari-harinya tertipu iklan, berita situs abal-abal dan pencitraan tokoh politik.

Rabu, 02 Desember 2015

Agama, Terorisme dan Peradaban Kita



Jika orang ramai mengatakan terorisme bukan agama, saya setuju. Agama mana pun tak pernah menganjurkan kekerasan, melainkan perdamaian dan harmoni. Tapi bahwa pelaku terorisme itu menjadikan agama sebagai justifikasi, kita tidak bisa menolak fakta itu. Lantas, bagaimana?

Tak sedikit orang yang menyalahkan agama atas fakta itu. Pada masa ketika manusia telah membangun peradaban yang luar biasa seperti saat ini, agama tak lagi diperlukan. Salman Rusydie bilang agama adalah produk abad pertengahan yang memang sudah waktunya ditinggalkan.

Pandangan macam ini tak melulu bersandar pada rasionalisme. Dalam novel Rusydie kita temukan fantasi-fantasi yang sama sekali bukan ciri rasionalisme modern. Posmodernisme memberi tempat emosi, hasrat, spiritualitas dan sisi-sisi kemanusiaan lain. Tetapi, tidak untuk agama.

Agama dianaktirikan karena telah memiliki citra buruk, otoriter. Apa yang dapat kita ingat dari sejarah kemanusiaan adalah peradaban agama, yang telah kita kuak cacatnya dan karena itu harus ditolak. Kita tak punya ingatan tentang peradaban sebelumnya.

Kita tak pernah tahu bagaimana buruknya peradaban yang mengagungkan hasrat. Kita mengutuk komunalisme tanpa punya data bagaimana nahasnya peradaban individualis. Pengetahuan kita tentang hal itu tertutup lapisan-lapisan tanah yang menguruk fosil-fosil yang kita sebut “pra-sejarah”.
Kita merasa peradaban bergerak maju. Tapi kata Focault tidak, yang bergerak hanya pola-polanya saja. Manusia merasa melaju dengan akalnya hanya untuk menemukan bahwa sekarang kita kembali pada hasrat, fantasi, kegilaan, ketidaktahuan. Tidakkah kita merasa mundur?

Tentang terorisme, kita harus adil. Terorisme adalah produk peradaban kita dan bukan salah agama. Ia adalah letupan yang muncul dari ketidakmampuan kita mewujudkan keadilan. Ia adalah rasa frustasi dari diri kita atas kegagalan kita menebarkan harmoni. Bagaimana mungkin orang diam saja ketika pesawat tanpa awak membunuhi orang tak berdosa? Ketika Amerika masuk ke Irak dengan alasan yang dibuat-buat dan membangun demokrasi dengan tumpukan nyawa, kita tahu ada yang tak beres dengan kebijakan dunia.

Barangkali juga, para teroris memang merasa nyaman dengan “agama” yang menyajikan kedamaian dalam komunalismenya, sementara masyarakat kita tiada lagi menghargai kebersamaan.

Ada banyak hal yang perlu ditilik kembali dari peradaban kita.