RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 21 Agustus 2014

PPMI yang Bukan Keledai



Fakta pertama, organisasi pelajar adalah lembaga penunjang kesuksesan belajar. Fakta kedua, selama ini PPMI adalah karang penghalang Masisir yang ingin belajar di al-Azhar. Buktinya, ketika di al-Azhar ada peringatan maulid misalnya, PPMI malah mengadakan acara joget-joget. Saat ruwaq al-Azhar mengadakan daurah ilmiah, PPMI justru menyelenggarakan rentetan acara sepakbola, sepaktakraw dan sepak-sepak yang lain. Alhasil, Masisir terjebak dalam dilema antara hadir dalam halaqah-halaqah ilmiah atau meramaikan acara joget-joget dan sepak-sepak.

Maka, ketika PPMI tahun ini tak banyak bikin acara –yang namanya- bombastis seperti tahun-tahun sebelumnya, saya senang. Pasalnya PPMI menggantinya dengan kegiatan yang lebih penting dan subtansial: pengajian-pengajian dan silaturahim ke Masyayikh. Sebelumnya, PPMI –dan semua organisasi Masisir, kata teman saya Rendy adalah playgroup, semacam taman permainan kanak-kanak. Saya setuju karena organisasi di sini terlalu sibuk dengan tetek bengek kecil tetapi buta, tuli dan bisu dengan perkembangan dunia.

Sejujurnya, awalnya saya ragu dengan pengurus periode 2013-2014. Saya pikir, mereka akan seperti keledai yang kembali terperosok dalam lubang pendahulu-pendahulu mereka. Tetapi, keberhasilan PPMI mendatangkan mahasiswa baru di saat KBRI saja tak mau, mendalangi deklarasi bersama untuk Palestina, dan yang paling penting tentu saja mendekatkan Masisir ke al-Azhar, membuat saya mengacungkan jempol untuk PPMI tahun ini.

Tapi saya tidak sedang dibayar untuk memuji-muji pengurus yang sebentar lagi lengser. Ini sebenarnya jawaban bagi permintaan seorang teman, untuk berpartisimasi dalam kampanye dunia maya untuk salah satu calon presiden. Tentu saja saya tolak, saya –masih- tak mau terjebak dalam agenda politik praktis. Sebagai komunitas akademis, harus ada individu-individu di Masisir yang menjaga jarak dari pragmatisme kekuasaan. Agar tersisa orang-orang yang menyikapi setiap keadaan dengan jernih, adil dan mendasar tanpa hanyut dalam fanatisme partisan. Jadi, saya memilih memberikan masukan untuk siapa saja yang akan menyetir PPMI ke depan.

Ihwal pertama, teman-teman aktifis idealis yang suatu saat bakal jadi negarawan, kalian harus melanjutkan apa yang telah susah payah diusahakan pengurus tahun ini, relasi yang baik dengan al-Azhar. Karena mayoritas kita datang ke Mesir dengan al-Azhar sebagai tujuan. Maka, jika kalian kembali menghalangi Masisir dari al-Azhar seperti kesalahan orang-orang tua dulu maka kalian adalah keledai. Jika kalian menyelenggarakan terlalu banyak acara sepak-sepak dan joget-joget maka kalian mendisorientasi Masisir yang ingin belajar. Dan sesungguhnya menyesatkan anak-anak orang yang ingin belajar adalah dosa yang besar. Mengapa? Karena masa kuliah adalah momen yang sangat vital dalam membentuk masa depan mereka.

Ihwal kedua, kalian harus jadi seperti air memunyai kapilaritas, daya yang mampu meresap ke dalam apa saja. Menyatulah dan satukanlah setiap pihak. Kita ketahui bersama bahwa Masisir sudah lelah bermusuh-musuhan dengan teman sendiri. Masalahnya bukan cuma eksklusifnya golongan, tetapi keengganan masing-masing untuk mengulurkan tangan, merangkul untuk kemudian berjalan bersama-sama. Kita memang tak mau ada partai politik yang mencampuri dinamika kemahasiswaan, tetapi jangan pula sebuah golongan menjadi psudeo partai politik, berteriak-teriak anti partai tapi dinamikanya berjalan sama saja: penuh doktrin dan eksklusif.

Dua hal saja ya, karena apalah saya yang barangkali tahu apa-apa dinamika Masisir. Anggap saja ini salam perpisahan, sebentar lagi saya akan meninggalkan komunitas yang selama empat tahun ini telah membentuk saya. Saya yakin kalian adalah orang-orang berjiwa besar yang setiap saat sedia untuk mendengarkan masukan dan berusaha memperbaiki diri. Dua puluh tahunan lagi kita akan berjumpa dalam dinamika yang lebih besar, Indonesia.

Mengenai WIHDAH, saya tak berhak berkomentar. Dari jauh saya lihat mereka adalah anak-anak manis yang rajin berangkat kuliah. Di asrama mereka membaca buku dan tak banyak menghabiskan waktu nonton film korea.

Pamuk Sebagai Sintesa

Sebenarnya Pamuk memaparkan dialektika, pergulatan Barat dan Timur yang tegang. Dalam novelnya, Kar (The Snow) Pamuk menuturkan dialog-dialog  dengan seorang komunis, sekularis, nasionalis fasis, calon ekstremis, muslim moderat, dll. 

Proyek pendekatan ini memang menjadi fokus Pamuk. Dalam My Name Is Red, ia bahkan membuka karya besarnya dengan ayat al-Qur’an: “dan milik Allah lah Barat dan Timur.” Bagi saya, pemilihan masalah ini memang cerdas, modernitas dan globalisasi memang telah membawa generasi muda muslim pada masalah kebimbangan identitas, pertentangan nilai-nilai Islam dan Barat.

Tetapi Pamuk tidak saja membawa misi didaktisme  dangkal. Pamuk dihargai karena datang dengan kualitas. Novelnya penuh dengan informasi-informasi yang kaya dan dalam. Dalam My Name Is Red, detail-detail seni miniatur Turki abad pertengahan diselipi juga dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang jiwa. Ia juga bereksperimen dengan teknik-teknik sastra post-modern, realisme magis.

Meski begitu, ia bukan seorang yang gampang silau begitu saja pada semua yang mentereng dari Barat. Pergulatan asmara ia suguhkan dengan kedalaman yang elegan, bukan erotisme yang norak. Dalam soal lain, ia sendiri mengatakan, “saya tak mau menggambarkan kaum Islamis sebagai orang jahat, seperti Barat melabeli mereka.” Dalam The Snow, seorang ekstremis yang menembak direktur sekolah diceritakan Pamuk lantaran sang direktur melarang muridnya memakai jilbab hingga ia bunuh diri. Ia mengambil gambar yang lebih luas dari kedua sisi. Ia tidak seperti penulis-penulis Barat berdarah Indonesia yang gemar nyinyir dengan apa saja yang berbau Islam sementara mereka tak mengetahui hakikatnya.

Maka, menjadi Pamuk untuk saat ini adalah sintesa: sebuah solusi bagi polemik orang-orang yang mau terjun dalam dunia tulis menulis, yang hendak menyampaikan kebaikan-kebaikan agamanya dalam wadah tulisan tetapi bingung dengan aliran mainstream yang sedang menghegemoni.

Kamis, 14 Agustus 2014

Pulang

“Pulanglah, nak, pulang!”
“Tapi kemana, bu?”
“Ke Hatimu!”

Ini bukan gombalan Andre Taulani di OVC atau gurauan Stand Up Comedy-nya Dodit. Ini adalah pengajewantahan sederhana atas kegundahan pelik orang-orang yang hendak dan mesti pulang tetapi tak tahu kemana, saya termasuk salah satunya.

Saya tak punya “kampung halaman”, tempat yang dikenal baik bentuk pepohonan, aroma udara, kejernihan air sungai, beserta  jenis ikan-ikannya. Tempat kita merasa nyaman dengan orang-orangnya, yang menyuguhkan senyum dan sapaan saat berpapasan di jalan, dan mengundang kita mampir saat  lewat depan rumah mereka.

Orang tua saya baru pindah rumah ke desa yang baru. Desa yang keadaannya sudah lebih baik dari kampung masa kecil saya dihabiskan. Sekarang sudah ada listrik PLN jadi Bapak tidak perlu menghidupkan mesin genset setiap pukul lima sore, dan saya bisa nonton tivi kapan tanpa lebih dahulu membeli bensin. Jalan depan rumah sudah diaspal sehingga Ibu tak usah khawatir Bapak tidak pulang karena cuaca buruk. Ibu juga tak perlu memasak dengan kompor minyak tanah karena seratus meter dari rumah sudah ada penjual tabung gas.

Tetapi saya belum kenal dengan orang-orangnya. Saya baru satu bulan tinggal di sana setelah pulang dari pondok, sebelum saya harus pergi ke bumi Kinanah ini. Jadi saya perlu belajar dari dasar bagaimana bergaul dengan mereka, obrolan-obrolan yang menarik di antara mereka, guyonan-guyonanapa yang membuat mereka tertawa, dan terutama perihal apa yang tak boleh dikatakan karena akan menyinggung perasaan orang kampung sini. Saya juga tak punya teman di sana.

Teman-teman saya ada di kampung lama. Tapi terakhir kali saya ke sana, kebanyakan sudah tak ada. Ada yang, kata Ayahnya, disekolahkan kerabat di Jawa. Ada yang kerja jadi buruh di Bekasi. Sebagian kecil, terutama yang perempuan, masih bertahan di kampung, tetapi sudah membopong momongan. Yang menyedihkan, orang-orang kampung lama pun sudah pangling dengan perawakan saya. Mereka melihat saya layaknya orang asing yang berkunjung. Tiga tahun lalu, seorang bapak paruh baya menyipit-nyipitkan mata melihat saya di jalanan. Ini saya Pak, yang dulu menangis karena terpeleset jemuran kopi saat berlari-lari di halaman rumah bapak. Tapi bapak itu tidak ingat juga.

Sebenarnya saya punya satu kampung lain yang istimewa, kampung damai, pondok tempat saya menghabiskan masa remaja dalam dinamika. Tetapi lupakan! Teman-teman satu angkatan sudah banyak keluar, hanya tersisa beberapa gelintir. Santri-santrinya pun sudah regenerasi, pastinya tak banyak yang mengenal saya. Mereka akan melihat saya sebagai orang luar yang membawa pengaruh buruk bagi kepondokmodernan. Hanya ada dua tipe alumni di pondok saya, mereka yang telah jadi orang besar dan dibanggakan, satu lagi cecunguk-cecunguk yang dianggap produk gagal.

Bagaimanapun, saya mesti pulang. Orang pergi untuk kembali dan pengembara tak patut berdiam terlalu lama. Tapi kemana?

Karena kita tak punya tempat, mari pulang ke hati masing-masing. Mari kembali pada nurani dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya perjalanan hidup ini. Karena hati yang membumi selalu menemukan orang-orang yang membukakan pintu. Hati yang berani tak punya tempat yang ditakuti. Hati yang yakin dan tekun selekasnya kan dapat tempat yang menaungi.