RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 07 Mei 2013

Untuk Pria Penyusun Kata-Kata


Ia adalah lelaki sempurna, setidaknya untukku. Tapi ia jauh dari tampan. Kulitnya coklat, lebih dekat ke gelap. Apalagi jika berpanas-panas di bawah terik matahari, menjelma merah kehitam-hitaman. Rambutnya

acak tak berpola, bekas luka di bagian batok kepalanya mungkin sedikit berpengaruh untuk desain itu. Ia jarang menyisirnya. Sama sekali tak rapi. Tetapi, bagi orang yang detail, potongan mukanya adalah khas orang-orang tampan. Dahi dan rahang yang selaras, tidak lebar dan tidak sempit, hidung sedikit mancung, serta sepasang lesung pipi. Dengan anatomi seperti itu senyumnya selalu manis. Aku pun selalu menantikan senyumnya meski jarang tersungging. Dan aku selalu memasang tatapan polos setiap ia memergokiku menikmati wajahnya.

Pria ini memiliki pribadi unik. Terutama karena dia tahu bahwa dia menarik. Atau apakah dia memesona karena dia tahu momen dan cara agar terlihat menarik? Aku tak tahu pasti. Yang jelas, pria ini pandai menyelubungkan narsisnya. Tunggu dulu, aku bukan wanita otak dangkal yang bisa kau tipu dengan permainan sederhanamu. Tapi, dengan kesadaran akan muslihatmu, mengapa aku tetap tak bisa mengelak untuk mengagumimu?

Tapi ia juga menyebalkan karena  pandai mempermainkan suasana. Suatu ketika jelas-jelas ia memancarkan rasa suka. Tak ada alternatif lain untuk menerjemahkan tindak-tanduknya yang begitu kentara. Namun, ah, hanya dengan satu dua komposisi baru kata-kata, ia berkelit begitu mudahnya.

“Wanita adalah sekuntum mawar yang memesona tapi juga mengancam dengan durinya, maka mengagumi mawar tidak berarti bersedia memetiknya,” ungkapnya ketika kutanya tentang wanita.

Dan, kalian tentu tahu, perempuan paling tidak suka diperlakukan seperti itu. Mereka tidak suka keangkuhan intelektual dibawa-bawa dalam hubungan asmara. Ini soal cinta, bukan matematika. Bagi wanita, pria dengan tingkah ortodoks adalah lebih jantan. Kejujuran membuat pesan laki-laki ditangkap dengan lebih sederhana. Kegigihan membuat kita yakin terhadap mereka. Karena cinta, bagi kami para wanita, adalah penyerahan paripurna untuk sesuatu yang telah kami usahakan seumur hidup. Kami tak ingin semua pesona yang kami rintis dicerai beraikan oleh lelaki yang menganggap kami hanya satu dari sekian opsi.

Karena itu, tak ada yang lebih marah daripada wanita yang diombang-ambingkan di atas debur-debur perasaan. Mereka bukan hanya akan pergi, tapi juga tersulut untuk menuntut balas. Tentu saja dengan cara yang khas perempuan. Halus, rapi, tapi menyakitkan.

Maka, aku buat ia kalang kabut. Aku ingin dia tahu bahwa wanita bukanlah gaya menulis yang bisa ia ganti berdasarkan tuntutan rubrikasi. Kami bukan diksi yang bisa dibongkar pasang untuk membuat rangkaian baru. Bukan juga pembaca cerpen yang menikmati dentuman-dentuman ritme yang ia munculkan. Kami justru buncah.

Wanita adalah puisi yang diresapi sebagai sebuah kesatuan. Wanita adalah buku yang dinikmati dengan menjaganya dengan rapi. Memberinya sambul, mengusir debu-debu yang merecoki, menaruh dalam buffet berpintu kaca sehinga terlindungi.

Lalu, sederhana saja, aku tahu sebuah undangan pernikahan cukup menjadi serangan balasan dariku. Benar kan, cara khas perempuan  selalu halus, rapi, dan menyakitkan? Bagi sebagian orang juga mematikan. Tapi bagaimanapun aku tak mau ia mati karena perkara ini. Aku tak sampai hati. Aku ingin menyaksikannya membuktikan kata-katanya dulu:

“Suka dan duka adalah keniscayaan stiap manusia, tetapi menjadikannya  inspirasi adalah kemahiran golongan istimewa.”

Aku harap itu bukan kata-kata kosong.

Hei, hei, apa ini? ia memang tidak mati, seperti dugaanku, ia justru tumbuh semakin liar saja. Ia membalasku bertubi-tubi. Melalui bangunan logika tulisannya, lewat intisari puisi-puisinya, dari deskripsi karakter tokoh cerpennya, aku tahu ia mencoba menyampaikan pesan, sebuah serangan.
Ia menyatroniku dengan pesan-pesan yang menggetarkan hati, menghantam kekeras kepalaanku, mengoyak prinsip-prinsip pribadi. Dia membuatku terkadang mempertanyakannya kembali. Dia seperti membangunkan tidur nyenyakku dengan menyiramkan seember air es. Aih.

Yang membuatku tersiksa adalah karena ia tahu aku mampu membaca kelebat-kelebat pikiran yang ia haturkan.  Ia memahami titik-titik dimana aku tak bisa menyangkal bahwa kita punya persamaan yang patut diperjuangkan. Ia membawaku pada kebenaran yang kami berdua saling terima. Ia berbicara dengan bahasa yang tak bisa tidak aku mengerti.

Maka, aku ingin dia tahu bahwa kata-kata bukan hegemoni para pria. Bahwa penyusun kata-kata di dunia ini bukan dia semata. Karena itu aku tulis ini. Dan, kau di sana, selamat mencerna setiap kata!