RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 25 Maret 2014

Sastra Sebagai Pilihan Hidup

Mengapa sastra?

Pertanyaan ini seperti bertanya pada penggemar kopi, “mengapa Anda menyukai larutan hitam nan pahit itu?”

Jawabannya akan beragam. Anda mungkin mendapati jawaban yang sangat serius: jabaran-jabaran runtut, dalam dan intelek yang sedikit banyak menyinggung ideologi, atau malah tawa tipis di akhir guman lirih, “ini soal pilihan, Bung!”

Seperti itu juga yang Anda akan dapatkan jika mengajukan soal di atas kepada saya. Saya dapat membeberkan bertele-tele alasan untuk mendukung kebijakan pribadi ini. Namun, jika pun argumen teoretis runtuh, saya akan berpaling pada alasan paling subyektif, this is the way I choose to live. Sastra, bagi saya, telah menjadi semacam nasi bagi orang Indonesia. Ia memiliki semua syarat yang dibutuhkan untuk menjadi makanan pokok. Meski bagi orang-orang yang gemar makan roti, nasi dianggap tak mengenyangkan untuk tempo yang lama, saya akan tetap memilih nasi.

Menurut saya, sastra dapat menjadi semacam garam: sesuatu yang menyusup dan memberi rasa pada makanan, tanpa perlu menjadi sepah-sepah yang menganggu proses memamah. Sastra mampu merembes masuk ke alam pikiran pembaca lalu mengendapkan ide-ide tanpa tersadar. Perihal semacam ini menjadi vital pada suatu masa ketika jurnalisme dan tulisan ilmiah tumpul. SGA pernah menulis sebuah buku menarik tentang ini, “Ketika Jurnalisme Bungkam, Sastra Harus Bicara.”

Sebenarnya tak ada karya yang tak punya tendensi. Dan dalam sastra, tendensi itu samar karena memakai baju berlapis-lapis –imaji, teknik cerita, metaphor, dll-. Linda Christanty bilang “…sebetulnya setiap karya, ini secara sederhana saja ya, setiap karya mengandung 'pesan politik' penulisnya, apakah itu terlihat gamblang maupun tidak.” Yah, tidak harus politik sih, intinya semua karya mengandung pesan. Melalui  sastra, Pamuk berani mengungkap riwayat pembantaian etnis Armenia dan Kurdi oleh orang-orang Turki.

Lagipula, meski suaranya samar, sastra terbukti sangat sakti. Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata –terlepas dari kontroversi kualitas sastrawinya- harus diakui telah mengubah (pandangan) hidup banyak orang. Bahkan dikisahkan, novel kehidupan anak-anak Belitong itu membuat seorang pecandu narkoba menitikkan airmata, lalu insyaf. Jika julukan most powefull book dianggap berlebihan, setidaknya sepengetahuan saya, buku-buku berjubel petuah paling optimis pun –buku motivasi- tak ada yang mencapai cetakan 15 juta kopi.

Sastra juga sebenarnya merupakan sarana olah sosial. Hanya saja, berbeda dengan tulisan ilmiah yang menilik masalah secara detil dan mendasar, sastra lebih memilih untuk hanyut dalam wujud konkret masalah itu melalui tindak-tanduk manusia. Kemudian, ia mengajukan solusi bukan dengan rekomendasi-rekomendasi, namun lagi-lagi bersuara lewat mulut dan perilaku manusia yang telah melibatkan emosi. Hati-hati diketuk tanpa perlu menjadi jengah diceramahi.

Lebih dari itu, sastra bagi saya pribadi adalah pilihan damai. Ia menggabungkan antara kecenderungan individu untuk terbang di cakrawala imajinasi, inspirasi dari buih-buih wawasan yang menyembul-sembul, kelebat-kelebat ingatan tentang masa lalu, dan tanggungjawab moral sebagai manusia.


Memilih sastra adalah mengenai pilihan menjalani hidup. Bukankah hidup lebih mudah dijalani dengan ihwal yang selalu menyulut tenang?

Senin, 24 Maret 2014

Jangan Jadi Setan!

Golput adalah setan bisu.

Gabriel Almond, pakar politik Amerika Serikat, membagi kalangan yang enggan berpartisipasi dalam acara politik menjadi dua. Pertama, parochial political culture, yaitu mereka yang memiliki budaya politik masa bodoh, acuh tak acuh atau bahkan apatis, karena tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Kedua, subject political culture. Kalangan ini ditandai dengan sikap masyarakat yang masih pasif meski sebenarnya sudah relatif maju.

Pembagian masyarakat enggan politik ini, menurut saya, relevan diterapkan dalam kasus keindonesiaan. Secara umum, mereka yang golput memang tak keluar dari dua kalangan di atas. Masyarakat politik paroki banyak kita temukan pada masyarakat kalangan bawah: mereka yang secara geografis terisolir atau yang secara finansial dan pendidikan tertinggal hingga kurang mendapatkan akses politik. Demikian menyebabkan sikap sosio-politik mereka sangat lugu hingga acuh dan apatis terhadap dinamika ketatanegaraan.

Sementara itu, masyarakat yang dominan di Indonesia adalah kategori kedua, mereka yang relatif telah memiliki pengetahuan politik namun masih bersikap pasif. Dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari lintas kalangan bahwa masyarakat kita sebenarnya cukup melek politik. Banyaknya pengamen melantunkan lagu kritik sosial dan pemerintahan, ramainya bincang politik di warung-warung kopi, hingga antusiasme debat ilmiah dalam lingkungan akademis, dan lain-lain, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran politik.

Kendati mayoritas rakyat sudah sadar politik, angka golput masih tinggi. Mengapa demikian? Dari opini yang beredar di masyarakat saya menyimpulkan ada dua alasan utama untuk golput.

Pertama, lantaran tidak percaya lagi dengan sistem ketatanegaraan yang ada saat ini, yaitu demokrasi. Demokrasi dianggap telah gagal dan tak mungkin lagi mewujudkan tujuan dari kehidupan sosial-politik Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Kalangan ini terdiri dari mereka yang secara ideologi bertentangan dengan ide demokrasi, baik dari fundamentalis religius maupun kaum kiri radikal. Mengenai hal ini, saya mengutip pendapat Gunawan Muhammad: ”tak ada satu pun sistem di dunia ini yang sempurna. Tapi, keunggulan demokrasi adalah, memberi peluang secara terus-menerus untuk penyempurnaan. Hanya dengan demokrasi kita bisa mengoreksi, dan memperbaiki.”

Kedua, karena putus asa dengan kondisi politik saat ini. Maraknya kasus korupsi, tidak efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit politik, tidak adanya calon pemimpin yang sesuai kriteria, dan seabrek alasan lain membuat rakyat berpaling pada golput.

Menurut saya, kekecewaan semacam ini wajar. Tetapi yang perlu jadi catatan adalah, apakah golput akan menyelesaikan masalah? Secara tidak langsung, tidak menggunakan hak pilih adalah memberikan legitimasi bagi pemenang pemilu yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita. Lebih jauh, golput dapat menimbulkan gonjang-ganjing politik hingga mengancam persatuan nasional.

Perlu diperhatikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang masih muda dalam pencarian sistem pemerintahan ideal. Sepatutnya kita menyadari bahwa dalam proses pencarian itu akan ada trial and error. Amerika Serikat saja pernah mengalami perang saudara sebelum menjadi negara super power. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah solusi berwujud peran aktif, bukan sikap apatis.

Kita harus optimis masalah demi masalah dapat diselesaikan dengan sikap politik yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit, dapat ditanggulangi dengan memilih wakil dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya adalah ketidaktersediaan calon yang dibutuhkan masyarakat, mengapa tidak memantaskan diri menjadi wakil rakyat?

Tidak menggunakan hak suara, seperti menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan golput dapat membawa akibat yang amat buruk. Dalam khazanah keislaman, para salaf menggunakan istilah “setan bisu” untuk mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya, golput termasuk golongan itu. Bukankah dalam demokrasi, setiap individu dijamin kebebasan menyuarakan kebenaran? Bahkan kebenaran versi apa saja.



Selasa, 11 Maret 2014

Menulislah dengan Buruk!

Menulis yang buruk lebih baik daripada merenungi kertas kosong

Pagi ini, karena tersulut saran sontoloyo Sulak, saya mau tidak mau harus menulis. Ide-ide orang satu ini memang sedikit sinting, tapi saya akui cukup provokatif untuk memaksa orang menggerakkan tangan di atas tuts keyboard. Di bukunya, ia mencatut perkataan William Blake yang bilang bahwa hasrat semata tanpa tindakan akan membiakkan penyakit. Saya pikir betul juga, obsesi kuat menulis saja jika tak disalurkan lewat kegiatan menulis lama-lama dapat memperparah penyakit asam lambung saya.

Salah satu saran yang sontoloyo itu adalah sebaiknya kita menulis dengan buruk. Lho, di mana-mana orang ingin belajar menulis yang baik. Kalau cuma menulis yang buruk ya semua orang juga bisa. Tapi membaca argumentasi atas ide di atas saya jadi manggut-manggut sendiri, “lebih baik menghasilkan draft tulisan yang buruk ketimbang hanya merenungi kertas kosong selama berjam-jam.”

Lalu apa yang kita tulis? Apa saja, tulislah apa saja yang terbersit di kepala atau ihwal yang sangat ingin Anda tuliskan. Kegiatan semacam ini penting buat pemula untuk melatih kecakapan semantis dan sintaksis. Masalahnya, hal yang biasa menggagalkan para pemula untuk menulis adalah kesombongan. Mereka kadang-kadang menempatkan diri laiknya penulis besar yang sudah mampu mengungkapkan ide-ide besar dengan runtut, dalam, kuat, dan baik. Padahal yang dibutuhkan mula-mula hanya kemampuan merangkai kata. Belum lama ini saya terpingkal dalam hati membaca kolom seseorang di media Masisir yang ditulis dengan susunan kalimat amburadul. Dia barangkali sedang lupa unsur-unsur dasar pembentuk kalimat.

Jika tidak ada ide, apa yang kita tulis? Wah, ini sebenarnya sama saja dengan pertanyaan: Anda benar-benar niat menulis tidak, sih? Ya, kalau tidak ada ide yang bisa ditulis berarti kita tidak sungguh-sungguh ingin menulis. Dalam buku creative writing malah ada ungkapan yang lebih sadis: bisakah menulis tanpa ide? Bisa saja, yang tidak bisa adalah menulis tanpa kemauan.

Ide bisa datang dari mana saja. Bisa dari cecak merayap di atas dinding lalu cobalah mengekspresikan gaya rayapnya. Bisa juga dari pengalaman ketinggalan bus ke kampus tadi pagi gara-gara ingin sebentar mencuri pandang pada cewek yang mau menyeberang, haha. Mungkin ada baiknya kita cermati ungkapan Faulkner berikut, “Saya hanya menulis ketika mendapatkan inspirasi. Celakanya, saya mendapatkannya setiap pukul sembilan pagi.”

Kepala semua orang sebenarnya penuh dengan ide, kecuali kalau dia tak pernah berpikir. Masalah sejatinya adalah karena banyak orang malas berpikir bagaimana mengungkapkan ide itu dengan baik. Ia enggan menyusun idenya itu dalam satu bangunan logika yang utuh, pula tak mau bekerja mencari data-data pendukung. Bahasa bukan ayam petelor yang menelorkan pikiran begitu saja, ia adalah media untuk mengejawantahkan gagasan abstrak menjadi sebuah kenyataan. Untuk itu, hanya dibutuhkan ketidakmalasan untuk mempelajari bagaimana bahasa mengerjakan fungsinya. Itu kalau kita masih mau menulis.