RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 30 Desember 2013

Rasio, dan Upaya Mendedah Iman

Rasio dalam teologi menjadi olok-olok di tangan Ockham. Kritiknya sebenarnya mengarah pada logika-logika asbtrak: dialektika para ahli teologi Kristen dalam membuktikan hal ihwal keimanan. Pengetahuan sejati, kata Ockham, diperoleh lewat bukti empiris. Ia juga bilang bahwa lafal-lafal yang hanya merujuk pada esensi abstrak adalah omong kosong.

Padahal, rasio pernah sampai pada titik optimisme tertinggi pada masa Anselm dari Canterbury. Pastur asal Aosta ini bilang bahwa akallah satu-satunya perkakas pengesah. Lewat akal, manusia dapat menerangkan konsep-konsep keimanan dengan terang, semuanya, tanpa kecuali.

Tapi pendapat Anselm tak diamini salah satu teolog terbesar Kristen, Thomas Aquinas. Dalam beberapa kasus, hemat Aquinas, logika manusia harus menerima fakta bahwa ia tak (atau belum?) mampu menjelaskan semua masalah akidah. Contoh kasus yang mewakili pikiran Aquinas ini adalah soal penciptaan, serta relasinya dengan waktu. Sementara Averroes melogikakan keabadian alam karena ia adalah akibat dari sebab yang abadi, Bonaventura mengecamnya; penciptaan dalam kungkungan waktu, kata Bonaventura, justru sangat tidak logis.

Aquinas akhirnya mengambil jalan tengah. Dua bangunan rasio yang disodorkan baik oleh para pendukung kekekalan alam, atau yang menentangnya, sama-sama spekulatif, kata keponakan Frederick Barbarosa ini. Karena itu kita harus menyerahkannya pada iman: bahwa alam diciptakan dalam satu masa dan bahwa masa memiliki mula.

Masih menurut Aquinas, pengetahuan kita tentang Tuhan sejatinya hanyalah kegiatan mendekati, juga menyucikan. Manusia, apabila hendak sampai pada pengetahuan hakikat, lazim punya akal yang tebebas dari kungkungan fana, materi. Tapi itu mustahil dan oleh sebab itu manusia tak mungkin sampai pada ilmu sejati tentang Tuhan.

Lalu datanglah Ockham -sebelumnya ada John Duns Scotus tapi tak terlalu penting- mengguncang pondasi intelektual gereja. Kehebohan ini mirip dengan yang disebabkan Siger Brabant dengan Averoisme-nya. Tentu saja Ockham kemudian hendak diseret inkuisisi, tapi ia kabur ke Pisa memanfaatkan konflik antara otoritas kepausan dengan Louis IV.

Ockham menyerang bukti-bukti logis tentang Tuhan yang selama ini diandalkan gereja, -mengenai keberadaan Tuhan, sifat Tuhan, keabadian jiwa, dll-. Ketika itu, paparan-paparan Aquinas bahkan dianggap sebagai pendapat yang aksiomatis, semua teolog harus menerima. Namun Ockham menjungkirbalikkan semua itu.


Yang menarik, sebenarnya kritik-kritik Ockham bukan upaya menuju kekafiran, ia justru membawa rasio manusia pada tempatnya yang lebih rendah hati, tunduk pada wahyu. Pendapatnya tentang etika mengingatkan saya dengan konsep Asy’ari, bahwa tak ada esensi sejati dari baik dan buruk, namun Tuhan menerangkan bahwa A baik dan B buruk melalui wahyu.

Minggu, 08 Desember 2013

Malam Ketika Musim Dingin Terasa Hangat

Musim dingin begini, aku teringat satu malam hangat. Aku tidak sedang berkisah tentang malam hari musim panas, ini dongeng tentang suatu malam musim dingin yang terasa hangat. Barangkali malam itu, di bawah bebatuan rapi yang melandasi jalan kami –aku dan satu orang lagi akan kuceritakan nanti-, tersulut semacam tungku batu bara.

Tetapi sebelum mendedah tentang perjalanan mesra kami malam itu, sebaiknya aku terangkan dulu perihal bagaimana kami bertemu.
***
Satu sore, dalam dongeng yang mirip sekali dengan kehidupan alam nyata, aku tengah belajar mempersiapkan ujian. Karena tak suka keramaian khalayak di masjid al-Azhar, masjid Husein dan tempat-tempat belajar lain di sekitar rumah, aku memilih belajar di masjid al-Hakim bi Amrillah. Tempatnya tepat di belakang Bab al-Futuh, seberang Bab al-Sya’riyah. Jika Anda adalah orang baru di Kairo, naik saja taksi menuju Bab Sya’riyah, lalu tanyakan pada siapa saja di mana masjid itu berada!

Seperti biasa, aku belajar dengan mulut komat-kamit karena hanya dengan begitu pelajaran bisa lekat di ingatanku, juga sambil mondar-mandir keliling masjid karena aku gampang mengantuk kalau belajar sambil duduk. Tiba-tiba, ketika melintas sebuah tiang, nampak sesosok berkerudung putih merengues membaca buku cerita. Aku lalu hilir mudik sekitar tiang itu, penasaran.

“Kenapa masa ujian begini kau membaca buku cerita?” Tanyaku canggung. Aku terpaksa bertanya karena risih dilirik seperti maling. Aku tahu dia memandangiku begitu karena risih dengan polahku yang lalu lalang saja di hadapannya.

“Huh, aku sedang istirahat. Hari ini, buku setebal 200 halaman ini baru kuselesaikan,” jawabnya sambil menunjuk buku diktat warna biru yang tergeletak. “Memangnya, apakah membaca buku cerita di waktu ujian adalah hal terlarang?” Ia mengernyit, di antara alisnya kini terbentuk kerut-kerut.

“Sejatinya tidak. Hanya saja, di sini, di komunitas yang jarang baca cerita, kau terlihat aneh,” aku ikut mengerutkan alis, tapi cuma dalam rangka menirukan pola wajahnya yang tiba-tiba jadi lucu.

“Tapi aku suka orang yang suka cerita pendek. Ia mungkin tak pandai menghafal, tapi ia pasti teliti, sabar, berwawasan luas, dan yang paling penting, tidak kaku, meski kadang-kadang pakaiannya sedikit acak-acakan,” sambungku mencoba menghangatkan suasana.

“Enak saja, huh, busanaku selalu rapi!”

“Haha, jangan tersinggung, aku tengah membicarakan diri sendiri,” kuambil posisi duduk di sampingnya. Lalu kami ngobrol panjang lebar. Namanya Rima Tharful Syi’ri, dia adalah gadis paling cerdas yang pernah kutemui sejauh ini. Barangkali karena dia banyak membaca cerita pendek.

Percakapan kami kemudian berlanjut hingga perjalanan pulang. Di sinilah keanehan terjadi, sepanjang jalan al-Moez, entah kenapa aku tidak kedinginan. Cuaca tiba-tiba menghangat. Barangkali memang ada tungku batu bara di bawah batu-batu yang tersusun rapi.

Namun, eh, mengapa orang-orang tetap kedinginan. Pak tua penjual jagung di bawah pohon itu mengambangkan tangandi atas bara di sela-sela melayani pelanggan, penjual makanan kecil juga sesekali membetulkan jaket, pasangan muda-mudi juga terlihat lebih intim, aku yakin karena mereka kedinginan. Tungku batu bara itu memang hanya imajinasiku saja.

Aku baru sadar bahwa kehangatan itu karena aura. Jika Einstein, dari cerita yang kudengar, bilang bahwa dingin adalah ketiadaan panas, maka malam itu terasa hangat karena aku menjalaninya dengan penuh energi. Aku tak tahu sumbernya dari mana. Tetapi dia malam itu tak ubahnya api unggun. Terang, merona dan membara. Kita lalu bertengkar tentang musim favorit.

“Aku tak suka musim dingin,” kataku memancing perdebatan, “kita harus mengenakan terlalu banyak aksesoris. Sebagai lelaki, itu adalah pekerjaan menyebalkan,” mulutku tersungut.

“Ah, apa sulitnya pakai jaket. Bagiku musim panas lebih mengerikan, keringat seperti diserap,” ia antusias menimpali, “aku bahkan sulit tidur di panas karena lalat mengerubung,” pungkasnya.

Kami masyuk dalam obrolan, sesekali kulontarkan canda. Ia tertawa, gingsul di ujung luar gerahamnya bak memimpin larik-larik cahaya menari. Tawanya juga menggali dua buah relung di pipi. Itu menjadi semacam telaga yang membawa kesegaran.

“Aku suka bertemu denganmu, tapi sebaiknya kau tahu ini: ini tahun terakhirku di sini dan tahun depan aku menikah dengan seorang pegawai,” kata Rima tiba-tiba saat kami mulai masuk kawasan Khan Khalili. Sejenak kemudian kami saling membisu. Penjual gantungan kunci menarik-narik lenganku.

“Begitukah? Aku senang jika kau segera menikah,” kataku membunuh hening. “Tapi..” Ku pandang matanya, kucoba baca isi hatinya melalui layar bola mungil itu.

“Tapi apa?” ia mengalihkan pandang ke menara Husein, sepertinya sadar aku mencoba menerkanya.

“Jangan menikah dengan pegawai! Hidupmu kan terjebak upacara dan kejumudan. Menikahlah dengan penulis! Meski mereka belum tentu dapat memberikan penghidupan yang baik, setidaknya mereka tahu bagaimana memperlakukan hatimu dengan baik,” lanjutku. Sebenarnya itu semacam bahasa diplomasi.

“Baik, akan kusimpan nasehatmu baik-baik,” ia menimpali dengan senyum. Gingsulnya kembali mengajak kerlap-kerlip berdansa, relung pipinya lagi-lagi membentuk rawa teduh. Itulah tarian dan kesegaran terakhir yang kuingat dari wajahnya.
***
Kami tak pernah bertemu kemudian. Dari teman-temannya, aku tahu Rima lulus tahun itu –aku harus mengulang beberapa pelajaran-. Informasi lain yang kudapat adalah bahwa ia benar-benar telah menikah dengan seorang pegawai. Ihwal terakhir ini sangat kusesalkan.

Beberapa menit yang lalu, aku mendapatkan kejutan tak mengenakkan. Rima mengirimi aku sebuah foto keluarga. Nampak di foto itu ia bersama lelaki rupawan tengah menggendong bayi berkulit putih dan sangat montok. Dia sertakan juga beberapa kalimat: Terimakasih atas nasehatmu Hazin! kau benar, penulis selalu tahu cara bagaimana memperlakukan hati kita dengan baik. Perkenalkan, itu suamiku, Faiz. Ia penulis sekaligus editor di sebuah koran nasional. Kau dapat menghubunginya jika ingin mengirimkan karya-karyamu. Aku masih ingat ceritamu dulu kalau kau ingin punya kenalan editor. Semoga dia bisa membantu.

Malam ini, karena foto dan beberapa kalimat itu, atau karena darah yang tiba-tiba banyak mengalir ke ubun-ubun, musim dingin terasa hangat.



Selasa, 12 November 2013

Bapak dan Keniscayaan Menjadi Bapak

Hari ini hari Ayah, karena itu dan perihal lain, saya merasa memiliki kewajiban moral untuk menulis tentang Bapak.

Saya tak pernah punya relasi yang terlalu hangat dengan Bapak. Sejak kecil, saya lebih nyaman dekat dengan Ibu. Waktu kanak-kanak, saya terbiasa terbirit-birit lari ke arah ibu saat rona muka Bapak mulai terlihat naik pitam. Bersembunyi di belakang Ibu sambil memeluk kakinya adalah pertahanan terbaik kala itu. Selanjutnya, ibu pasti membela saya dan saya pasti akan selamat.

Saya juga lebih suka berpergian ke sekolah tempat Ibu mengajar daripada ikut Bapak menyusuri kebun. Saya baru mau bersama Bapak bila diajak naik motor ke kota. Kendati demikian, di perjalanan, saya lebih suka menatap semak di sisi-sisi jalan sembari berkhayal daripada ngobrol dengan Bapak. Saat beranjak remaja hingga dewasa, meski tidak lagi lari terbirit-birit, saya masih menggunakan Ibu sebagai tameng. “Sudah boleh sama Ibu ko, Pak,” sering sekali saya ngeles begitu.

Jika kalian ingin tahu bagaimana Bapak, mungkin karakter Ayah dalam film Laskar Pelangi sedikit memberikan gambaran. Tentu saja tak sama persis. Bapak juga pendiam, tak banyak bicara. Tapi hubungan saya dan Bapak tak semesra Ikal dan Ayahnya.

Bapak orangnya lugas dan spontan. Tidak seperti saya, Bapak tidak suka puisi atau membaca cerita –saya tak pernah melihatnya membaca buku cerita-, barangkali karena itu ia tak suka basa-basi. Bapak menyatakan ketidaksetujuan dengan tegas, bahkan terkesan keras. Belakangan ini saya menyadari bahwa karakter saya yang terkadang meledak-ledak persis dengan tabiat Bapak.

Demikianlah hubungan saya dan Bapak. Tapi saya tak hendak menyalahkan Bapak atas baik-buruk dinamika keluarga kami. Saya mengerti, sikap dan cara asuh yang ia terapkan adalah hasil dari pengalaman pribadi Bapak dengan orang tua serta usahanya memberikan sintesa atas pengalaman tersebut. Faktanya, manusia kerap menerapkan tolak ukur pribadi untuk orang lain.

Bagaimanapun, dialektika sikap bapak dan anak jugalah yang membentuk saya hingga menjadi seperti saat ini. Tanpa Bapak, saya tak mungkin mendapatkan akses wawasan-wawasan kontemporer. Bapak mungkin hanya membawakan saya oleh-oleh majalah Bobo dan Bola setiap pulang dari Kota. Tapi dari dua majalah tersebut, saya dapat mengaktualisasikan pengetahuan-pengetahuan lama yang saya dapat dari perpustakaan sekolah Ibu.

Lebih dari itu, sikap mengalah Bapak dalam menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup saya –Bapak selalu mengiyakan lobi Ibu dalam kasus-kasus saya, seperti kuliah di mana, dll- juga fundamental. Tanpa semua itu, barangkali jalan hidup saya bukanlah apa yang saya tapak hari ini. Bapak memang keras, tapi beliau juga orang yang paling membebaskan anak-anaknya menentukan jalan hidup sendiri.

Belakangan, saya menyadari, diantara sikap Bapak, banyak sekali yang merupakan keniscayaan menjadi seorang Ayah. Di antaranya adalah bahwa sebagai tulang punggung keluarga, yang waktunya banyak tersita di luar rumah, sulit bagi seorang Ayah untuk menjadi sosok yang paling dekat dengan anak-anak. Seorang Ayah harus mengorbankan keinginan bercengkrama lebih dengan buah hati demi memberi mereka kebutuhan-kebutuhan hidup. Saya juga baru menyadari, bahwa sikap Bapak yang tak mau diganggu setelah pulang kerja adalah sangat manusiawi. Saya belum pernah bekerja secara profesional, tapi terkadang saya juga sangat temperamental bila kerjaan kampus, organisasi, dll numpuk. Selama ini, saya terlalu mengharapkan Bapak untuk selamanya menjadi Bapak. Padahal dalam beberapa kesempatan, saya perlu memposisikan Bapak sebagai manusia.

Mengingat itu semua terkadang menumbuhkan keraguan saya tentang keniscayaan menjadi Bapak. Karena itu, sebelum melangkah terlalu jauh, saya berniat memperbaiki kualitas hubungan dengan Bapak. Barangkali sikap Bapak tak berubah, tapi masalahnya bukan itu, sayalah yang perlu mengubah pendekatan saya terhadap Bapak. Karena cepat atau lambat, saya akan menjadi Bapak. Dan kelak, saya harus menjadi bapak nomor satu di dunia.

Maafkan saya, pak!


Rabu, 06 November 2013

Ongkos yang Bikin Merongos

Seri Perjalanan di Tanah Suci

Sebenarnya saya ingin menulis banyak hal tentang pengalaman ziarah ke tanah suci kemarin. Ada pelbagai cerita yang menarik diceritakan, setidaknya menurut saya yang baru pertama kali berkunjung ke sana. Namun, karena handphone saya tidak memiliki fasilitas internet (kata teman-teman ini adalah senter berhadiah hp), walhasil saya hanya menulis catatan-catatan kecil saja dalam buku tulis yang saya bawa. Oh iya, di tanah suci, sangat jarang terdapat warnet. Kalau pun ada, harga sewanya lumayan mahal (5 riyal/jam, setara dengan 10 le Mesir). Barangkali penyebabnya juga karena prosesi ibadah haji sendiri yang cukup melelahkan.

Salah satu perihal yang paling mengagetkan saya adalah masalah bea hidup. Sebagai peziarah dengan kantong pas-pasan, standar kehidupan dan perputaran uang di Saudi (terutama Mekah) adalah masalah buat saya. Bagaimana tidak terkejut, uang 100 dolar yang sengaja saya persiapkan untuk segala keperluan selama di Saudi, habis hanya dalam waktu seminggu. Sejak itu, saya lantas berpikir dua kali sebelum mengeluarkan uang.

Aspek yang paling menyedot dana adalah transportasi. Di Saudi transportasi sangat mudah, Anda tidak perlu menunggu mobil khusus angkutan untuk berpergian ke mana-mana. Di sana, setiap mobil yang lewat adalah taksi. Anda dapat menghentikannya kapan saja. Masalahnya adalah ongkos yang dibebankan terlalu mencekik leher. Untuk perjalanan jarak pendek saja, Anda harus membayar minimal 10 riyal (20 Le Mesir, 30 ribu rupiah). Rata-rata perjalanan kami (saya dan teman-teman) ditempuh dengan biaya 30 riyal sekali jalan.

Tak ada patokan harga pasti karena mobil-mobil tersebut tidak menggunakan argometer. Mereka mengajukan harga, calon penumpang menawar. Bila tercapai kata sepakat, penumpang dapat menaiki kendaraan. Jika tidak, pemilik mobil langsung ngacir tanpa peduli.

Karena tak ada patokan, pemilik mobil jadi seenaknya saja memberi tarif. Ongkos jadi sangat fluktuatif sesuai situasi dan kondisi. Dalam keadaan-keadaan penting (misalnya menjelang dan seusai shalat, malam menjelang mabit, selepas melontar jumrah), saat Jemaah banyak membutuhkan angkutan, ongkos transportasi jadi gila-gilaan. Saya pernah memilih jalan dua jam dari Mina ke penginapan kami di kawasan Utaibiyah karena saat itu rata-rata mobil angkutan meminta tarif 100 riyal menuju Masjidil Haram. Mungkin saya perlu ingatkan, 100 riyal itu setara dengan 200 Le atau 300 ribu rupiah.

Karena harga yang gila-gilaan, setelah beberapa hari tinggal di sana dan mengenal wilayah, saya –dan sebagian besar teman-teman- memilih untuk ke mana-mana on feet. Lumayan hemat untuk para peziarah miskin seperti saya.

Sebenarnya, menurut keterangan kawan yang berdomisili di Saudi, ongkos transportasi di sana pada hari-hari biasa tidak semahal saat haji. Biasanya taksi hanya mematok harga kurang lebih 10 riyal untuk jarak sedang. Untuk jarak dekat bahkan bisa diperoleh dengan hanya 2 riyal. Meskipun tarif tersebut masih mahal jika dibandingkan dengan ongkos angkutan di Kairo.


Oh, iya, saya tidak dalam rangka mengutuki bea transport Saudi yang selangit. Sekedar mengabarkan saja kepada teman-teman yang saya doakan akan sesegera mungkin mengunjungi tanah suci. Intinya, persiapkan segalanya. Jika Anda adalah orang yang sedikit bermasalah dengan bea-bea tersebut, banyak-banyaklah berolahraga menjelang keberangkatan. Saya sarankan untuk jalan kaki satu atau dua jam per hari setiap pagi. Tapi jika Anda bersiap dengan tuntutan finansial sebesar itu, ya silakan saja. Toh, semua yang kita infakkan dalam haji akan diganti berlipat ganda oleh Allah SWT nanti.

Sabtu, 02 November 2013

Mencicip Hidangan Blog-Blog

Untuk teman-teman.

Saya suka jalan-jalan di dunia maya. Menyisir blog demi blog untuk mengecap tulisannya terkadang lebih segar daripada mencicip kuliner di tempat itu-itu saja. Meski, ya, tulisan-tulisan itu, tentu saja tidak bisa menjaga asam lambung saya untuk stabil seperti layaknya makanan. Tapi, saya toh lebih menikmati menjadi pembaca daripada menjadi pemakan (oh, iya, manusia adalah pemakan segala).

Seringnya, saya berkunjung ke blog-blog penulis-penulis yang sudah jadi. Saya berharap setidaknya mendapatkan gairah menulis  dengan membaca karya-karya mereka. Dalam beberapa kesempatan, saya beruntung menemukan perca-perca ide tercecer di antara bangunan-bangunan bahasa yang mereka susun. Dari potongan-potongan kecil inspirasi tersebut, saya lantas membangun “rumah” saya sendiri.

Di luar fungsi edukatifnya, karya cipta penulis professional terkadang mengganggu pencernaan saya. Pencernaan dalam arti majaz maupun sebenarnya. Sebagai makhluk yang berpikir, manusia mencerna baik makanan maupun kata, kalimat, serta ekspresi yang datang kepadanya. Dan tulisan-tulisan penulis handal tersebut, saking rumitnya, terkadang sulit dicerna otak dangkal saya, meski kening saya sudah saya kerut-kerutkan bermenit-menit. Bila sudah demikian, saya bisa stress dan segeralah maag saya kambuh. Saya menyimpulkan, membaca hal-ihwal yang terlampau berat terkadang membawa efek buruk bagi kesehatan –Anda boleh menyangkalnya.

Akibat efek buruk tersebut, saya musti mengikuti terapi kesehatan. Terapinya tak jauh dari baca-baca juga sih. Bagi saya, ihwal membaca menulis merupakan satu program komprehensif terapi emosional. Sekarang, saya belum bisa menjabarkan bagaimana detailnya. Tetapi saya berjanji, suatu saat akan meneliti metode-metodenya. Barangkali bisa menjadi saingan ESQ-nya Ari Ginanjar, :p.

Terapi dari tekanan emosional itu adalah dengan surfing ke blog-blog ringan, biasanya berisi tulisan-tulisan humor atau diary pribadi. Tulisan jenis terakhir memang lebih sering ditulis tanpa pretensi, hanya mengungkapkan saja serba-serbi kehidupan yang menurut penulis perlu diabadikan. Tapi justru karena itu, terkadang ada satu dua petuah yang terdedah secara terang benderang.

Sementara membaca blog penulis professional adalah lari marathon, menyusuri blog-blog sederhana adalah jalan-jalan pagi menyenangkan. Saya menjadi lebih segar karena dalam perjalanan santai dapat dengan mudah memungut satu dua kuncup metafora unik, mencerna pelan-pelan struktur-struktur bahasa baru yang orisinal lagi bersahaja, serta yang paling penting, bahagia karena menemukan beberapa rekan yang sama-sama sedang jatuh bangun belajar lari marathon.



Rabu, 30 Oktober 2013

Identitas

Mahabharata menuturkan satu cerita tragis tapi tak epik. Karna, seorang yang tak punya identitas jelas, mati dalam perang tanding melawan seorang Ksatria Pandawa, Arjuna. Tragis karena tepat sebelum tewas, Karna tahu ia akan kalah. Bukan epik karena kematian Karna tak diratapi kasta mana pun.

Karna adalah bayi yang tak tahu datang dari mana, hanyut di sungai dalam peti dengan hanya berselimut kain. Tapi Begawan Bargawa merasa Karna telah menipunya ketika berguru kepadanya. Karna dianggap telah berdusta karena tak mengaku bagian dari kasta Ksatria -yang oleh brahmana satu ini dianggap perlu dimusnahkan. Walhasil, ia menolak memberikan secara utuh ajian sakti yang jika diberikan dapat menyelamatkan nyawa Karna.

Cerita di atas mengingatkan saya, bahwa identitas dapat menjadi antagonis. Suatu identitas, pada suatu ketika dapat melampaui fungsi defensifnya, sebagai pembentuk kesadaran untuk bekerja sama. Ia dapat menjelma menjadi sangat beringas, bahkan kejam. Karna adalah contoh fiktif, tapi realitanya dapat ditemukan di mana-mana.

Ihwal ini terkadang membuat saya khawatir. Terutama karena di era globalisasi ini, di saat banyak identitas tergoncang dan berevolusi, segelintir orang masih saja mencoba mengangkuhkan “kita.” Kita adalah definisi yang berbeda dari “yang lain.” Kita tidak menerima yang lain. Yang lain harus dilebur, dan jika tidak, harus diringkus. ”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu kematian yang-lain.”

Saya khawatir karena saya adalah satu dari sedikit orang seperti Karna. Saya adalah orang Jawa yang tidak dianggap Jawa karena lahir di Sumatra dan tidak bisa Kromo Inggil. Tapi orang-orang kampung pun menganggap saya orang asing karena saya besar di perantauan. Lagipula, logat saya terdengar beda.

Barangkali perasaan saya ini sesuai dengan yang dirasakan Putu Wijaya. Putu lahir di Bali, tapi ia kuliah di Yogya dan hidup di Jakarta. “Dibandingkan dengan orang-orang Bali lain,” kata Putu, “Saya seperti sebuah disket yang sudah terkontaminasi dan salah format. Bentuk saya sudah acak-acakan.”

Dalam cerpennya, Bali, Putu mengutarakan kegelisahannya tentang identitas. “Bali adalah sebuah konsep. Tidak bali juga sebuah konsep. Dan konsep-konsep itu berubah. Mungkin karena zamannya berubah, atau karena apresiasi kita yang bergerak?” Ya, identitas tentang siapa kita adalah produk budaya. Dan benda-benda budaya, kata Sapardi Djoko Damono, bisa saja tidak –atau belum- selesai dibangun.


Orang Bali sekarang mungkin tidak lagi bisa menari, tidak bisa menabuh, tidak bisa melukis atau membuat patung. Orang Jawa sekarang mungkin sudah tidak pakai blangkon dan tidak bisa kromo inggil. Orang Betawi barangkali sudah tak lagi mengarak ondel-ondel. Bagi saya itu semua tak masalah. Yang jadi masalah adalah apabila di masa ketika identitas-identitas berevolusi, pemikiran segelintir orang masih terpaku pada mengangkuhkan identitas-identitas primordial.

Selasa, 01 Oktober 2013

Selera Humor Orang Indonesia


Dalam lawak, tidak lucu jika lakon terbahak-bahak dalam pentas. Lebih tak lucu bila pemeran marah-marah di atas panggung. Sialnya, Indonesia adalah dagelan gagal tersebut.

“Negara ini gila!” komentar Mahfudz MD mengenai Indonesia di salah satu acara televisi. Mantan ketua MK yang digadang-gadangkan menjadi presiden 2014 ini terutama mengeluhkan sistem birokrasi dan ketumpulan hukum menyikapi kongkalikong kepentingan para priyayi.

Jika Pak Mahfudz mendasari pendapatnya atas analisa, dan membawa serta solusi konkret, lain lagi dengan kebanyakan masyarakat awam. Orang-orang kalangan menengah ke bawah (secara intelektual) sudah terjangkit virus kehilangan kepercayaan terhadap negara mereka sendiri.

Sebenarnya sikap tak acuh orang Indonesia dapat dimengerti. Selain masalah kenegaraan yang tak pernah usai mendera, rakyat dibuat jenuh dengan polah para politisi. Setiap hari rakyat disuguhi debat kusir mereka yang mengatasnamakan para wakil. Buruknya, kebanyakan politisi tak mengerti tata cara diskusi dan debat yang baik dan benar. Akibatnya, silat lidah hanya digunakan untuk membela kepentingan golongan. Bukan kepentingan rakyat, apalagi kebenaran. Kejenuhan terhadap sikap politisi tersebut membuat rakyat tak acuh lagi terhadap kehidupan politik.

Sikap tak acuh rakyat dikuatkan hasil survei. Dari jejak pendapat yang dilakukan IPI (Indikator Survei Indonesia), 67 persen responden menyatakan tidak tertarik dengan hal yang berkaitan dengan politik. Survei ini melibatkan 2290 responden (sumber merdeka.com).

Apatisme macam ini juga dapat ditelisik dari percakapan masyarakat tingkat grassroot maupun di forum-forum dunia maya. Dalam obrolan ringan warung kopi misalnya, rakyat sudah tak segan lagi sinis terhadap nasib bangsa sendiri. Di forum-forum internet, masyarakat justru berlomba-lomba menertawai kemalangan mereka.

Barangkali, asal mulanya pesimisme negatif itu adalah guyonan satire. Masyarakat lelah menghadapi pelbagai cobaan yang datang tak henti terhadap negri ini. Bencana demi bencana melanda, KKN menggurita, utang negara membengkak, hukum tak mempan menebang orang besar, dan lain sebagainya. Semua kenyataan itu sudah cukup untuk menggetarkan ketahanan mental masyarakat. Akhirnya, saking bosannya dengan musibah, rakyat memilih menghibur diri dengan menertawakan kesengsaraan.

Tapi, entah karena kurang terdidiknya masyarakat Indonesia, atau karena keluguan psikologis yang sudah tertanam kuat -negri ini dijajah lebih dari 350 tahun- humor itu malah jadi hiburan. Hiburan menjadi pentas. Pentas menjadi lomba. Dan anehnya, lomba mengolok-olok diri sendiri malah digandrungi.

Masyarakat Indonesia lupa (atau benar-benar tidak tahu?) bahwa tujuan utama lelucon satire bukan untuk mengocok perut, namun untuk membangunkan kesadaran instingtif yang kadang tak bisa dibangkitkan dengan ajakan-ajakan serius. Kita melalaikan fungsi membangun dari guyonan cerdas itu. Satir adalah seni melucu kaum intelek, sayangnya, di tangan masyarakat Indonesia, ia menjadi lawakan murahan.

Di saat masyarakat luas menikmati parade mengejek diri sendiri, kita punya presiden dengan selera humor mengkhawatirkan. Tak seperti rakyat yang terjebak dalam sisi lucu satire, presiden malah terjangkit penyakit sulit ketawa. Saat segelintir demonstran menyindir kelambanan Pak SBY dengan menuntun seekor kerbau, dia justru marah-marah tak karuan. Yang aneh, perilaku sang presiden selanjutnya tetap mengerbau. Malas, lamban dan tak tegas. Saya hampir lupa kalau beliau adalah purnawirawan militer. Jika kerbau berleha-leha dengan memamah rumput sembari menikmati lenguhan sumbangnya sendiri, bapak yang satu ini terlalu banyak bersantai mendengarkan lagu ciptaan pribadi. Yang lebih menggelitik, SBY berhasil menciptakan empat album selama periode pemerintahannya. Produktifitas ini bahkan melangkahi karya penyanyi profesional dalam tempo yang sama.

Hemat saya, dua sikap di atas adalah sikap keliru dalam menyikapi masalah. Kita tak boleh terlalu serius menanggapi ironi, justru dengan menyediakan selera tertawa kita tergelitik, kita dapat dengan arif menerima pesan yang dimaksud. Ironi, kata Gunawan Muhammad, membuka pintu kepada kearifan. Atau, seperti kata Anatole France, ironi adalah keriangan reflektif dan sukacita yang bijaksana.

Jangan pula kita tertawa terpingkal-pingkal menanggapi ironi. Ia bukan pentas lawak yang bertujuan mengocok perut, namun, seperti saya sebutkan di atas, dalam rangka membangunkan kesadaran alami yang tertidur. Guru mengaji saya pernah bilang, terlalu banyak tertawa akan mematikan perasaan. Saya pikir betul juga. Secara kasar saja, tertawa berlebihan membuat perut sakit, mata terpejam, dan pendengaran berkurang. Dalam keadaan demikian, kita akan kehilangan kontrol terhadap apapun di sekeliling.


Barangkali, bangsa Indonesia belum cukup berbudaya untuk menyikapi ihwal-ihwal cerdas. Tapi sebenarnya, masalahnya sederhana. Kita hanya perlu selera humor yang lebih baik.

Jumat, 27 September 2013

Hubungan yang Tepat untuk Karang dan Buih

Sebelum kau bertanya, “Hubungan apa yang tepat untuk karang dan buih?” Senja telah berwarna kelabu di Alexandria.

Bagiku, Alexandria adalah cerita tak berujung. Seperti jalan raya tepi pantainya yang panjang dan meliuk-liuk, ia punya pelbagai kisah yang terulur berliku. Salah satu ceritanya adalah kamu, yang alurnya naik turun menyiksa perasaan. Oh iya, sebelum kau datang, aku membaca berulang-ulang cerita lama setiap senja di Mandarah.

Senja telah lebih dulu kelabu sebelum kau datang. Kau hanya satu dari sekian orang yang menghamburkan warna hitam pada langit. Tapi cakrawala mencampur hitam dengan biru, dan senja menebarkan merah sore. Karena itu langitku selalu berwarna kelabu.

Seperti kemarin, ketika aku mengantarkan kau dan suamimu berbulan madu di Montazah. Aku membantu kalian melengkapi album keluarga bahagia, mengambil foto-foto romantis di depan Istana Raja Farouq, juga di jembatan ujung taman. Waktu itu matahari tengah redup, pesona merahnya merona langit. Tapi tetap saja, langitku sore itu kelabu.

Aku masih ingat saat kita jalan-jalan sore di sini. Kala itu laut tengah pasang, ombak-ombak menyerang karang yang menjorok ke laut. Buih-buih bertebaran, sebagian menerpa kulit putihmu. Rambut hitam sebahumu juga turut basah.

“Kau adalah karang, karena kau hanya diam ketika ombak-ombak silih berganti menghajar ketahanan hatimu,” katamu sambil menunjuk bongkah karang yang sedikit tinggi menjulang.

“Tapi kau buih. Kau membiarkan hidupmu terombang-ambing oleh kehendak orang tuamu,” aku menunjuk ke arah yang sama. Tapi maksudku adalah busa-busa ombak yang memutih.

“Lalu, hubungan apa yang tepat untuk karang dan buih?” Mata lentikmu mengerjap. Bola mata birumu yang bergerak-gerak membuat desir darahku terpacu.

“Tak tahulah. Biar senja selalu kelabu bagiku,” jawabku ketus. Lalu kita sama-sama terdiam.

Sebenarnya aku tahu, aku yakin kau juga begitu, karang dan buih tak pernah bersatu, meski keduanya sama-sama pasrah pada nasib. Karang patuh untuk menerjal keras di tepi laut tanpa perlu dianggap bendungan yang bentuknya selalu dirapikan. Buih pun taat pada hukum alam yang menitahkannya terhempas ke mana-mana. Sepertinya kita memang begitu, ditakdirkan untuk berpisah meski berdekatan.

Pertama kali kita bertemu, es krim Azza-ku leleh. Aku mematung dengan mulut mengangga karena takjub melihat kelereng biru bisa mengendap di matamu. Aku baru tersadar ketika kau meminta es krim yang ada di tanganku. Hari itu pukul 12 malam, stok es krimnya telah habis, kata sang penjual, sementara kau sangat ingin mencicipi Azza setelah puluhan tahun.

Kita lalu berjalan menyusuri pantai. Aku membeli popcorn sebagai pengganti es krim. Kau mengenalkan diri, namamu Esperana. Kau baru menyelesaikan sarjana musikmu di Madrid. Ayahmu asli Mesir dan ibumu peranakan Spanyol. Kau tinggal di belakang stasiun Asafirah.

“Cari saja gedung yang paling mewah, gerbangnya kaca. Lantai tiga!” Katamu sambil menyisakan manis tersungging di tepi bibir.

Aku memberanikan diri main ke rumahmu, tapi orang tuamu tak pernah antusias begitu tahu aku hanya anak penjaga gerbang meski berkali-kali aku bilang prestasi kuliahku lumayan bagus. Rana punya Villa di Casablanca dan Palermo, sementara kau punya rumahpun tidak, kata Ayahmu. Kau hanya menangis, tapi itu hanya membuat langitku semakin kelabu.

Aku hampir melupakanmu setelah lima tahun kau kembali ke Madrid. Selama itu pula aku membatukan diriku, menolak semua harapan yang datang. Aku tak ingin perasaanku menghancurkan kehormatanku sebelum aku mampu mencukupi persyaratan menikah. Karena itu, aku bekerja siang malam seperti kesetanan. Pagi hingga sore aku menjadi pemandu wisata di salah satu travel asing. Malamnya aku mengantar sayur mayur ke Kairo. Mataku selalu sayu karena kurang tidur. Barangkali itu juga yang membuat senja selalu tampak kelabu.

Suatu pagi aku tersentak karena klienku ternyata kamu, bersama suamimu yang pemain Real Madrid itu. Tapi sebagai professional, aku tak mau mengecewakan klien. Aku mengantarkan kalian menyusuri Mesir.

“Aku adalah penggemar Atletico. Tapi kita tak perlu bermusuhan kan? Sepakbola hanyalah arena bersenang-senang,” kataku menggoda suamimu.

“Tentu saja, tak ada benar atau salah dalam membela tim olahraga. Mengapa terlalu serius? Hahaha,” Karim, suamimu, tergelak. Aku ikut terbahak.

“Kecuali jika kita bersaing untuk seorang wanita, hahaha!” ia kembali tergelak, kali ini aku tak ikut, ada rasa pahit yang tiba-tiba tertelan.

 Lalu, di tempat ini, di atas jembatan yang menjorok ke laut. Suamimu menyatakan sesuatu yang membuatku bingung.

“Mister, seandainya seluruh manusia seperti karang dan buih. Patuh pada titah alam kepadanya, maka seisi dunia akan damai.”

Menurutmu, bagaimana?

Rabu, 11 September 2013

Apa yang Ditulis dalam Cerpen

Awalnya saya tidak tahu. Saya pada mulanya lebih menggemari tulisan-tulisan motivasi daripada cerita pendek. Tulisan-tulisan penggugah semangat tersebut, bagi saya, lebih mudah dicerna tanpa perlu bertele-tele, mirip fast food, cepat, enak dan simpel. Berbeda dengan cerpen yang ketika itu saya anggap serupa dengan transmigrasinya Suharto, pemaksaan orang-orang pindah ke tempat baru yang tak dikenal. Tentu saja, pada mulanya, orang-orang akan lebih banyak mengeluh dan melongo di tempat baru. Percis, saya banyak mengeluh dan melongo di awal-awal membaca cerpen. 

Cerpen membawa setting yang asing dan aneh-aneh, pelataran tempat-tempat kuno –bangsa Viking, Prusia, atau bahkan Jawa Kuno-, detail-detail daerah asing –gang-gang di Tokyo, tembok Berlin, dll-, atau gambaran surealis yang benar-benar di luar nalar normal. Saya lebih banyak pusing. Itulah zaman jahiliyah dalam kehidupan menulis saya.

Mengapa saya menamakan zaman jahiliyah? Karena periode itu adalah masa ketika saya bisa menulis lebih banyak daripada membaca. Guru saya bilang hanya penulis amatir yang melakukan kebodohan itu. Saya akui saya dahulu memang sangat bodoh –bahkan sampai sekarang- dan amatir. Salah satu dalil keamatiran saya adalah keberanian saya menulis dan memaksa menerbitkan buku sebelum pernah sekalipun belajar menulis. Sampai sekarang saya masih sering tersenyum ngenes mengingat kesombongan masa muda yang buruk itu (pinjam diksi dan izin menggubah ya Mas Duta).

Tapi saya tak menyesal, karena keluguan anak muda itulah yang mengantarkan kepada jalan hidup kepenulisan yang luar biasa. Saya jadi tahu sekelumit tentang kenakalan penerbit, seabrek suka (baca: duka) dan duka penulis pemula, dan bertemu dengan seorang guru. Pengalaman-pengalaman tersebut yang pada akhirnya sedikit membuat saya mengerti apa yang mesti dilakukan jika ingin menjadi penulis. Sebentar ya, saya kangen kembali menjadi Mariowan Teguh Saputra; “berjalanlah terus walau pelan dan tak tahu arah, karena Tuhan pasti menuntun langkah kita.”

Ok, karena saya sudah berjalan –setidaknya beberapa langkah-. Mari kita kembali pada tema di atas.

Meski kemudian banyak membaca cerpen dan belajar mencintai, saya tetap tak tahu bagaimana menulis cerpen. Teorinya sih mudah, Pak Guru bilang awalnya harus boom (pembukaan mengejutkan), alur ceritanya naik turun, dan penutupannya juga mengagetkan. Tapi, pada praktiknya, menyelaraskan ide awal (baik berupa pesan maupun sekedar imajinasi) dengan remeh temeh penceritaan macam penggambaran karakter atau detail latar adalah pekerjaan paling berat. Dulu saya berpikir menulis itu pekerjaan paling mudah, sekarang saya berpikir menulis adalah perjalanan menuju Roma, panjang namun selalu ada jalur alternative. Saya katakan demikian karena saya tak mau termasuk golongan orang-orang yang berkata: “life is easy, writing is hard,” ini pernyataan yang salah.

Masalah saya terutama adalah penguasaan setting. Bagaimana mungkin saya bercerita tentang Paris, Eiffel, Camp Elysees, sementara saya tak pernah punya uang untuk berpelancong ke sana. Saya bukan anggota DPR yang untuk jalan-jalan cuma perlu mengajuka proposal studi banding. Apalagi terkadang, musim hujan membuat kebun karet Bapak tak bisa disadap. Kalau sudah begitu, beli buku saja susah. Dari mana saya bisa tahu nama jalan-jalan di dekat sungai Rhode?

Akhirnya, karena tak jua bisa menulis saya memutuskan menaati Pak Guru, “sekarang, baca saja cerpen-cerpen semuanya!” Saya sempat bertanya-tanya pada diri sendiri saat menerima petuah itu, “kapan saya menulisnya kalau harus membaca semuanya!” Belakangan saya berubah pikiran, santai sajalah, tak perlu terburu-buru, setiap orang punya perjalanan hidup dan karier yang berbeda-beda, Plotinus si pendiri neoplatonis saja baru belajar di umur 27 tahun.

Nah, bacaan-bacaan itu lama kelamaan membuat saya melek (saya membaca baik cerpen-cerpen maupun curcol-curcol penulis macam ini). Saya jadi tahu kalau dalam menulis cerpennya, Sungging Raga sangat licik, ia dengan santai menyatut nama-nama stadion untuk setting cerpennya. Seenaknya dia sulap Ewood Park yang sebenarnya stadion Blackburn Rovers itu menjadi sebuah taman. Lihat pula bagaimana kejinya dia mengubah kandang Leed United, Elland Road, menjadi seruas jalan. Sungging beralasan cerpen adalah lahan imajinasi, tempat untuk membayangkan sesuatu yang belum tentu ada dan tidak harus ada tapi anggap saja ada karena memang boleh untuk ada. Saya cuma bisa manggut-manggut.

Kemudian, dari bacaan-bacaan itu juga saya mendapati kelicikan-kelicikan penulis yang lain. Sungging, selain mencatut stadion dan membuat Mikel Arteta –gelandang Arsenal- sebagai tokoh cerpennya juga menjadikan obsesi pribadinya terhadap kereta sebagai bahan cerita. Benny Arnas menyusupkan terlalu banyak bahasa daerah. Dan Yetti tak canggung menjadikan cintanya kepada kopi sebagai panggung bagi ide-ide romantis.

Dari sana saya mulai berpikir untuk ikut-ikutan culas. Kalau cerpen Sungging bersetting stadion, Senja di Taman Ewood, bisa masuk cerpen pilihan Kompas, saya pikir cerita berlatar Bernebeu atau Veldabebas boleh dicoba. Toh, saya dan Sungging punya bacaan yang sama waktu kecil, tabloid olahraga (saya selalu merengek Bapak untuk membelikan Bola). Saya juga dapat ide untuk mengangkat keeksotisan lokal. Benny Arnas bangga menceritakan karet, Yetti genit menuturkan kopi, jadi dari sekarang saya mungkin akan bercerita tentang kayu manis, kelapa sawit atau nilam.

Saya cuma ingin mengatakan bahwa tak perlu jauh-jauh menjadi astronot untuk bercerita tentang bulan, kita bisa meratapi kepergian kekasih lalu berimajinasi bahwa rembulan tengah berduka. Jika Anda tak punya dayung, Anda harus berenang. Intinya, pergunakan apa saja yang kita punya untuk melakukan apa yang kita bisa.

Ok, mungkin demikian yang bisa saya bagi hari ini.

Apa yang Ditulis dalam Cerpen

Kamis, 05 September 2013

Pejalan Kaki Valdebebas

Credit picture, www.illustrationsource.com

 “Bunga tulip warna-warni bermekaran, kali ini kau harus melihat tepi jalan!” Stefano menggamit lenganku. Aku tetap tak bergeming, menutup mata.

Aku dan Stefano sedang bertaruh, jika ia bisa membuatku memandang ke luar bus saat perjalanan Madrid-Amsterdam, aku harus membayarinya minum kopi di Cannabis, naik yacht menyeberangi selat Channel, serta tiket home Manchester United.

Tentu saja aku terima taruhan itu. Jika tak berhasil, Stefano membayari minum kopi. Aku bisa cuti sehari tak berpanas-panas di depan Amsterdam Arena menggesek biola karena akan ada pundi-pundi Euro dari Stefano.

Kelihatannya remeh, tapi Stefano sangat penasaran. Sudah satu semester ini aku selalu menunduk jika tengah naik bus. Sahabat karibku itu tahu ada yang aneh dengan diriku. Biasanya, aku selalu antusias dengan apa yang ada di tepi jalan. Susunan batu trotoar yang unik, nama-nama pohon yang memagari jalan, sampai ihwal remeh macam bentuk kotak uang pengemis selalu menjadi obyek celotehku.

Kami telah melewati kanal-kanal bersejarah Amsterdam, museum Van Gogh, museum Amsterdam, distrik lampu merah, dan Stefano gagal membuatku menoleh jendela.

Kami turun di Grasshopper, mampir di salah satu Coffee Shop dan memesan dua cangkir kopi Bengkulu.

“Kopi saja, jangan campur dengan Cannabi!” Aku mengingatkan pramusaji.


“Sebenarnya, apa yang terjadi dengan dirimu?” Muka Stefano terlihat kesal karena kalah taruhan.

Karena ia terus memaksa, akhirnya kuceritakan juga sebab-musababnya.

Sore itu aku baru saja pulang dari Veldebebas. Setelah membereskan semua perlengkapan -mengumpulkan bola-bola, mengangkat gawang ke gudang, memasukkan jersey ke kantong laundry-, seperti biasa aku langsung pulang menaiki bus. Dan kau tahu, Stefano, selama perjalanan, aku kembali masyuk membelalakkan mata menyelusuri setiap inchi jalan.

Tapi kali itu ada yang berbeda, ada yang menarik perhatianku. Bukan penggemis Arab di depan gereja yang sering kita perdebatkan -apakah dia pengungsi Suriah atau Libya-, bukan pula Evergreen di perempatan Barajas yang akarnya semakin membesar hingga membuat jalanan retak. Di tepi jalan Asenjo, ada penguin melompat-lompat.

Tentu saja bukan benar-benar penguin. Tapi gadis itu memakai cardigan hitam dan kaos putih, celananya juga hitam, langkahnya lebar dengan terkadang melompat-lompat, seperti penguin. Aku tak bisa menahan tawa awalnya, kemudian tak bisa menahan diri untuk tidak turun dari bis.

Aku membuntutinya, mengikuti cara jalannya yang aneh. Lalu, eh, kenapa tiba-tiba ada kebahagiaan menghujam dadaku setiap usai melompat dua tiga kali. Aku tergelak keras sekali, sialnya karena tawaku yang nyaring tapi sumbang –kau selalu menutup telinga setiap aku tertawa- penguin, eh gadis itu menoleh. Ia memergokiku menguntitnya.

Anehnya, dia tak marah, tak peduli malah. Dia hanya mengerutkan kening setiap kali menoleh ke arahku. Air mukanya memang ketus, tapi pipi gembung yang menyemburat bagai apel merah itu membuat tampangnya terlihat lucu. Aku lalu memberanikan diri berkenalan, lalu pertemuan pertama kami berakhir di Coffee Shop, sama seperti saat ini.

Duduk bertatapan dengannya membuatku mengerti bahwa selain gembung apel merah, Veronique –nama gadis itu- juga memiliki sepasang kelereng biru di dalam bola matanya. Alisnya yang tebal dan menukik ke atas semakin menyatakan bahwa matanya adalah mahakarya. Semua pesona itu membuat rambutnya yang dibiarkan acak tak tersisir, kusam dan beberapa rontok di bahu dan lengan, aku acuhkan. Gadis ini adalah sekuntum mawar berdebu, hanya perlu disiram untuk memikat mata siapa saja memandangnya.

Esoknya, aku kembali turun di halte Asenjo, gadis itu kembali menjadi alasannya. Ia masih berjalan dengan langkah-langkah besar dengan sesekali melompat dua-tiga kali lompatan setiap lima enam langkah. Dan aku kembali tertawa geli usai meniru gerakannya.

Hari-hari berikutnya, aku memutuskan berjalan dari markas latihan karena gadis itu ternyata bekerja di Coffee Shop tak jauh dari sana. Kami memulai langkah penguin kami lebih awal. Dan itu lumayan menguras tenagaku. Tapi keriangan reflektif atas kekonyolan sederhana, barangkali juga karena desir-desir aneh di dalam dada ini, membuatku kuat. Hubungan kami semakin lekat karena ternyata ia juga merupakan penggemar kopi dan Bengkulu.

“Aku suka menghirup dalam-dalam aroma kopi panas. Segelas kopi panas mengirimkan harum ke seluruh urat nadi, ia membawa jiwaku membubung,” bibir tipis Veronique bergerak-gerak menjelaskan alasan cinta kopinya.

“Dan, kau tahu Alfredo? Orang-orang Bengkulu selalu bangun pagi untuk menyiangi kebun kopinya. Terkadang mereka mengenakan mantel jika turun hujan. Mereka menaiki bukit-bukit hijau kebun kopi dengan topi lebar dan keranjang besar di punggung. Terkadang mereka menemukan Rafflessia Arnoldi di sela-sela batang kopinya,” kelereng biru itu berpijar-pijar, antuasias sekali ia bercerita.

“Ya, dan aku selalu merindukan perjalanan mengitari Bukit Barisan. Dulu bus yang aku tumpangi hampir terperosok jurang ketika memutari bukit menuju Kepahyang, tapi itu semua tak bisa mengalahkan sensasi teduh menatap mata air mengucur di kanan kiri jalan serta bunga-bunga liar yang tak bisa kau temukan di taman manapun di Eropa,” Aku menimpalinya. Aku memang pernah mengunjungi Bengkulu sekali.

Kemudian bersama bertambahya kebersamaan kami, desir-desir aneh itu semakin sering saja menyela ketenanganku. Mulanya ia hanya menyeruak kala Veronique tersenyum. Lama kelamaan kedipan matanya pun mengundang desir itu. Lalu, setelah melihat diriku memberinya sekuntum mawar merah dalam mimpi, aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Tapi, semuanya tak seperti mimpi. Ia tak mau menerima mawar merahku. Ia bilang cinta adalah persahabatan yang dikotori nafsu, karena itu ia memilih menjadi sahabat saja. Tapi aku tak pernah percaya retorika wanita. Belakangan aku tahu kalau alasannya adalah karena aku anggota klub Real Madrid sementara dia adalah fans Atletico.

Semenjak saat itu, aku tak pernah menatap keluar jendela bus. Aku tak mau melihat perihal-perihal unik mencuri perhatianku. Aku takut jika perkara unik itu hanya akan membawaku pada perjalanan-perjalanan cinta panjang yang sulit untuk diakhiri. Demikianlah Stefano.

Tak ada sahutan.

“Fano!!” Aku berteriak kesal ketika tahu bahwa Stefano tertidur.

Senin, 19 Agustus 2013

Mawar yang Hilang di Tahrir

Aku benci mawar. Bukan tak suka bau harum yang terkadang membuat mata kita terpejam kala bersemerbak, bukan pula tak berselera kepada warna beranang yang merangsang mata. Barangkali karena duri, ya, karena aku tertusuk duri ketika pesona Mawar memenjara Soni, suamiku.

Aku juga benci Tahrir, meski aku adalah penyokong demokrasi yang tak akan lupa bagaimana lapangan itu membahasakan makna revolusi. Aku ingat bahwa di Ikada, September 1945, orang-orang berkerumun meneriakkan kemerdekaan yang sebulan sebelumnya dikrarkan. Aku juga mafhum jika di Tianmen, Beijing, Juni 1989, orang-orang banyak mati karena memperjuangkan kemerdekaan mereka yang dikebiri.

Tapi, tak ada simpati yang sama untuk Tahrir. Tak peduli betapa aku tahu banyak nyawa-nyawa membubung di persimpangan jalan pinggir Nil itu. Aku tahu, ketika meminta Mubarak turun, para demonstran dikepung militer di jembatan Kasr Nil. Diserbu dari dua sisi dengan gas air mata, sebagian terlindas tank yang terus merangsek masuk jembatan.

Orang-orang mungkin menganggap ini standar ganda, tapi mereka akan segera mengangguk-angguk jika tahu bahwa aku adalah wanita. Aku adalah wanita yang harus menahan getir setiap melihat toko bunga memasang mawar sebagai penghias utama etalase. Seperti juga aku selalu tersayat setiap tayangan televisi menayangkan berita tentang Mesir, Kairo, terutama Tahrir.

Seperti hari ini, ketika televisi menayangkan khalayak ramai yang meneriakkan tuntutan politis terhadap presidennya. Aku benci semua itu karena membuat mata Sony terpenjara dengan tayangan itu. Pandangannya lalu menerawang, kabur, dan butir-butir hangat segera mengalir, dan segera menetesi kepalaku yang dalam pelukannya. Aku benci detik-detik ini, ketika kerenyahan cengkrama cinta kami yang baru tiga bulan diresmikan tiba-tiba beku karena ingatan tentang masa lalu, Mawar.

“Mawar,” Soni berguman lirih, masih dengan tatapan kosong. Jika sudah begini aku segera menuju ranjang, menutup pintu, mematikan lampu, dan menyelimuti tubuhku rapat-rapat. Gelap dan air mata adalah teman yang lebih baik dari Sony untuk saat-saat seperti ini.

Mungkin ini juga salahku. Aku memaksanya menikah meski ia bilang belum bisa melupakan Mawar. Dulu aku berpikir dengan menikah semuanya akan berubah. Kenangan-kenangan Soni akan Mawar akan menguap karena bara-bara cinta kami yang membara. Aku salah.

Mawar tetaplah bunga yang mewangi memenuhi setiap jengkal cakrawala Soni. Wanita itu ibarat legenda yang diceritakan turun temurun, tak lekang. Ia telah mati, tetapi ikon tentang dia tetap menggantung dalam imajinasi Soni.

***

Mawar bukan adikku, tapi Ayah memaksaku memanggilnya adik. Ia hanya anak panti yang Ayah pungut. Ayah bilang rambut hitam panjang Mawar mengingatkannya pada Ibu. Dan ayahku, yang selalu terlalu imajinatif, selalu membelai rambut gadis kecil itu setiap malam menjelang tidur. Ayah melupakan kebiasaan kami mengadu Real Madrid dan Barcelona di arena PES. Aku benci Mawar, tapi lama kelamaan aku bisa menerimanya tinggal bersama kami karena dia juga bisa berfungsi sebagai pembantu. Dia mau melakukan apa saja yang aku perintah.

Waktu berjalan bagai kilat hingga tanpa sadar kami tumbuh dewasa. Lalu, kecemburuan kanak-kanakku terhadap Mawar lamat-lamat menghilang. Hubungan kami bahkan semakin hangat karena ternyata ia juga sangat menyukai dunia yang kugeluti, jurnalistik. Ia banyak bertanya ini itu padaku karena ia mengambil kuliah jurnalistik, aku sendiri tengah meniti karier sebagai wartawan.

Lalu, ah, mengapa aku ikut terjebak imajinasi Ayah. Rambut hitam berkilat sepunggung itu benar-benar mengingatkanku pada ibu, bulu mata melengkung ke atasnya juga, bola mata bundar nan sayu pula. Aku melihat ibu pada gadis muda itu. Tapi, bukan cuma perawakan fisik saja yang menggambarkan Ibu. Kesabaran Mawar mengiyakan apa saja yang ku minta adalah kesabaran ibu menanggapi polah nakalku. Kerja kerasnya mengerjakan tugas kuliah hingga larut adalah kerja keras ibu menjahit gaun-gaun pengantin untuk butiknya. Lalu, aku entah kenapa, mata bundar nan sayu dan lekukan manis di samping bibirnya memerosokkan hatiku. Tuhan, beginikah jatuh cinta.

***

Soni terpukul karena kehilangan Mawar, begitu kata John, atasanku, dan kau, Melati, harus membangkitkannya kembali. Mulanya, ini masalah pekerjaan. Soni adalah wartawan teladan di majalah kami. Ide-ide dan kerja kerasnya membuat oplah kami meningkat pesat. Tapi, semuanya menukik semenjak ia kehilangan Mawar.

Aku menikmati pekerjaan ini, mendekati Soni. Meski sebagai wanita, pekerjaan mengalihkan seorang pria dari wanita pujaannya adalah pekerjaan yang sangat menyakitkan. Anda harus bersiap tersayat setiap ia menganggap Anda adalah wanita pujaannya, atau ketika Anda dibandingkan dengan seseorang dari masa lalunya. Tapi, karena profesionalitas –aku diterima di perusahaan ini karena tugas ini- aku anggap angin lalu semua rintangan. Lagipula, lama-kelamaan, aku tak bisa bertahan menghadapi pesona seorang Soni. Ketulusannya mencintai wanita, kecerdasan selera humornya sangat memikat hatiku, di saat kulitnya yang bersih, rambut ikalnya yang selalu rapi, dan pandangannya yang menusuk hati menangkap insting wanitaku. Aku benar-benar jatuh cinta.

Aku menikmati pekerjaan ini, meski tak jarang aku harus menahan getir setiap Soni bercerita tentang Mawar. Seperti hari itu, ketika kami makan malam berdua.

“Mawar ditugaskan meliput krisis Mesir, ini adalah tugas pertamanya di luar negri. Aku sendiri yang mempromosikannya. Itulah mengapa aku tak bisa memafkan diriku sendiri.” Dan pria berambut gelombang itu, yang pandangan matanya berpijar-pijar, serta merta terisak. Aku memberinya tissue.

“Kabar terakhir yang kami terima, Mawar terjebak dalam bentrok massa di Tahrir. Setelah itu, ia menghilang, tanpa jejak.” Lalu tangisnya mengeras, menyedu sedan, bak anak manja ditinggal pergi bu tercinta.

Argh, mengapa cerita itu selalu terngiang. Bantalku basah. Barangkali aku punya masalah dengan memori, aku selalu teringat dengan ihwal yang ingin sekali kulupakan.

“Melati! Buka pintunya!” Soni menetuk-ketuk pintu.

Hei, apa yang terjadi. Biasanya, jika sudah teringat Mawar, ia akan menangis hingga pagi hari. Aku pun bergegas membuka pintu dengan senyuman.

Soni menyeruak masuk begitu pintu di buka, ia bergegas menuju lemari pakaian.

“Kamu mau kemana?” Aku heran karena di tengah malam seperti ini ia berkemas.

“Lihat itu!” Telunjuk Soni mengarah pada televisi ruang tengah.

“Aku ke Kairo malam ini, aku akan bawa mawar pulang!”

Aku mendekati layar kaca. Televisi menayangkan Tahrir yang ramai, lalu aku tersadar sesuatu ketika kamera menukik ke tengah medan. Tepat di tengah tahrir, di samping pohon kurma, tumbuh sekuntum mawar yang tengah mekar.

“Mawar,” Pekik Soni, “itu Mawar!”




Kamis, 08 Agustus 2013

Untuk Ramadhan yang Telah Hendak Undur Diri

Barangkali, bagi sebagian orang, Ramadhan tak menyisakan apa-apa kecuali penyesalan.

Ramadhan telah hendak undur diri. Sebentar lagi ia adalah kalender tahunan yang terlewati. Ia bakal menjadi medali bagi masing-masing peserta lomba, hadiah bagi pemenang sekaligus iming-iming pencibir kepecundangan bagi yang kalah. Tentunya, bagi golongan manusia yang disebut terakhir, ihwal itu menyisakan penyesalan.

Padahal, Ramadhan telah disambut dengan kebersediaan untuk berubah. Semuanya sadar Tuhan masih sangat welas asih pada kita tahun ini. Setelah setahun yang penuh kelalaian, Tuhan masih sudi memanjangkan sedikit nafas kita hingga Ramadhan datang. Inilah saat menebus dosa. Bisa saja kan, Tuhan mengambil nyawa kita ketika kita tengah terpuruk dalam gelimang dosa?

Namun, bersama kesadaran akan kemurahhatian Tuhan tersebut, sebagian manusia masih saja dungu. Ramadhan berlalu seperti yang lalu-lalu, tanpa perbaikan. Satu dua ibadah sunah memang terlaksana, tapi tak lebih dari pemenuhan rutinitas kehidupan bermasyarakat. Tanpa ruh.

Yang mengerikan adalah apabila kita terjebak dalam usaha sepenuh hati memenuhi protokoler formalitas tersebut. Makanan buka yang harus lebih mewah dari biasanya, pakaian taraweh yang harus lebih mencolok dari tetangga, atau rumah yang harus bercat lebih terang dari rumah-rumah di sampingnya.

Sementara itu, kita lupa lebih dermawan dari hari-hari lain, lebih menahan diri untuk tidak menunjukkan amarah, lebih mudah memberikan senyum dan maaf, serta lebih banyak mengingat mati.

Dan ketika Ramadhan telah berada di ufuk, ketololan kita terdedah dengan baru mengingat niat awal yang suci. Tapi, semuanya telah terlambat. Lailatul qadr sepertinya enggan datang pada mereka yang mengejarnya dengan licik, lalai pada hari-hari pertama dan baru berkelebat kencang menjelang akhir.

Barangkali, bagi sebagian orang, Ramadhan tak menyisakan apa-apa kecuali penyesalan. Buruknya, penyesalan seperti ini terjadi setiap tahun.

Mungkin saya termasuk orang-orang lalai itu. Tapi kawan, karena kita tak bisa memastikan satu kursi di Ramadhan tahun depan, kita harus membuat penebusan dosa secepatnya. Ramadhan akan segera berganti dengan Syawal yang glamour, namun karena kita ingin menebus kesalahan, kita harus menjalani hari-hari ke depan dengan hati Ramadhan. Hati yang lebih berpuas diri dengan keapaadaan, hati yang lebih ingin memberi, hati yang ingin selalu memperbaiki diri.

Dan satu-satunya jalan untuk mendapatkan kembali Ramadhan adalah dengan menjalani hari-hari berikut laiknya Ramadhan.



Mari Tidak Merayakan Lebaran!

Selebrasi yang berlebihan akan diganjar kartu

Lebaran adalah hari kemenangan. Maka, seperti laiknya kemenangan-kemenangan lain, ia pantas untuk dirayakan. Lalu, seperti jamaknya perayaan, lebaran akan dipenuhi dengan atribut-atribut pesta pora. Sandang mewah baru yang serba mahal, makanan lezat yang serba berlemak, serta barangkali gadget-ganget keluaran terbaru menjadi tentengan.

Perkakas-perkakas itu tentunya bertentangan dengan semangat sederhana Ramadhan. Kita akan berdalih bahwa bermegah-megahan pada hari istimewa ini tak mengotori kesucian Ramadhan. Toh, ini adalah momentum yang dihadiahkan Tuhan. Pada hari ini kemenangan ditahbiskan, setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu. Pertanyaannya adalah, apakah hawa nafsu dikekang untuk kemudian dibiarkan liar?

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang kemenangan itu sendiri. Mengapa pula kita begitu antusias merayakan kemenangan sementara belum tentu kita menggenggam piala? Pasalnya, tidak serta merta dengan datangnya lebaran, medali kemenangan mutlak dikalungkan. Tak ada orang yang tahu pasti apakah Ramadhannya dilalui dengan sukses, atau dengan kekalahan.

Yang saya tahu, ada satu barometer kemenangan sakral ini, yaitu terbentuknya pribadi yang lebih baik usai Ramadhan. Pribadi yang demikian adalah jiwa yang semakin berkeming dari kepentingan duniawi, semakin jauh dari nafsu kebendaan.

Dan tentunya, jiwa yang demikian adalah jiwa yang lebih berpuas diri, yang tak terlalu bernafsu untuk berselebrasi. Karena, walaupun orang-orang tersebut adalah sebenar-benarnya pemenang dan berhak merayakan, mereka adalah jiwa-jiwa yang telah akrab dengan kemenangan, sehingga tidak bersikap angkuh dan norak. Mereka sama sekali bukan lagi pribadi yang gagap dengan titel.

Ada sebuah pepatah yang saya dengar lagi dari seorang Mario Ballotelli mengenai perihal ini. Pesepakbola yang jarang melakukan selebrasi ini berujar ketika ditanya kebiasaan janggalnya itu, “Saat aku mencetak skor, aku tidak merayakannya. Itu sudah pekerjaanku. Apakah seorang tukang pos merayakan setiap kali dia mengirimkan surat?”

Ya, seorang tukang pos tak perlu girang berlebihan setiap usai menghantarkan surat. Itu adalah pekerjaannya. Begitu juga seharusnya seorang mukmin, melawan hawa nafsu adalah kewajiban, maka, tak perlu pula merayakan usainya masa pendadaran jiwa.

Lagipula, kita sudah sering menyaksikan, banyak saudara kita yang jatuh sakit tak lama setelah lebaran. Penyebabnya adalah konsumsi zat gizi yang berlebihan. Kalori, lemak, kolesterol, dan unsur-unsur makanan lain mempunyai dosis pengasupan. Setiap individu dapat merasakan manfaatnya bila mengonsumsinya dengan seimbang. Masalahnya, dalam hidangan-hidangan lebaran, makanan-makanan kita yang lezat punya masalah dengan keseimbangan gizi. Pun pola makan buruk gaya balas dendam.

Ihwal makanan di atas hanya salah satu contoh nyata. Selebihnya, euforia dalam hal apapun cenderung mengarah pada pelanggaran. Dalam sepakbola, selebrasi yang berlebihan akan diganjar kartu. Kebahagiaan yang kelewat batas akan membuat kita lalai.

Pada hakikatnya, kita hanya diwanti-wanti untuk tidak merayakan secara berlebihan. Perayaan dengan makna yang benar tak pernah dilarang. Dan sebenarnya, ada beberapa lebih yang dianjurkan dalam selebrasi lebaran: lebih murah tersenyum dan lebih mudah memaafkan.


Senin, 15 Juli 2013

Tentang Malam Ini dan Perkara-Perkara

Malam ini, saya tak sempat berpikir panjang. Tapi atas permintaan seseorang saya tulis note pendek. Isinya, kurang lebih seperti tulisan-tulisan yang sering saya tulis dulu, bagaimana memotivasi diri sendiri.

Hari ini, saya tak tahu harus senang atau sedih. Pasalnya, bersama kebahagiaan melihat usia ini berganti satu angka lebih banyak, saya juga sedih karena terhenyak oleh kenyataan bahwa tantangan di hari-hari ke depan semakin serius dan so pasti semakin berat.

Di satu sisi, di hari ulang tahun ini, saya ingin sedikit berbahagia dengan menghargai prestasi-prestasi kecil yang telah saya raih. Barangkali ihwal-ihwal remeh itu pada hakikatnya tak patut di sebut prestasi, namun ada kalanya kita perlu sejenak tersenyum menatap langkah-langkah kecil yang sudah kita ambil. Karena bagaimanapun, akan lebih mudah melangkah melanjutkan mimpi-mimpi liar kita dengan senyuman daripada berjalan dengan muka sayu akibat beban yang terlalu berat.

Tentang target-target yang lepas, tak perlu terlalu disesali, jika Anda sudah melakukan yang terbaik. Kegagalan-kegagalan itu selayaknya datang untuk membawa kesadaran lebih bahwa ada yang lebih berkuasa daripada tekad, kerja keras, dan semua rencana-rencana manusia. Allah SWT ada di atas segalanya. Maafkanlah kesalahan yang kita buat, tapi jangan hilangkan antusiasme untuk mencapai target-target baru dengan cara yang lebih baik.

Tentang rasa sakit akibat wanita, cinta, asmara, dan semua perkara individual yang penuh egoisme itu, percayalah, you are not alone, everybody’s hurt! Jadi, tak ada yang istimewa dengan itu. Tak perlu meratap seolah Anda adalah satu-satunya orang yang paling tersiksa di dunia ini. Semua orang tersiksa karena urusan cinta, tapi kita saksikan masih banyak dari mereka yang bisa tersenyum lebar. Jangan sampai hidup kita dihabisi oleh urusan-urusan pribadi semata. Jadilah pribadi yang telah usai dengan diri sendiri!

Tentang mimpi, teruslah memasang standar tinggi. Banyak orang memimpikan perkara-perkara luar biasa. Namun, satu persatu tercecer di tengah jalan. Perlahan, bersama kerasnya kehidupan, mereka menyerahkan keluarbiasaan mimpi itu di hadapan kenyataan sementara. Padahal, di akhir perjalanan, hanya orang-orang yang tetap memegang kuat-kuat keyakinan akan kemuliaan mimpi dan kebesaran Tuhan yang boleh tersenyum bangga. Lainnya hanya akan memandang kekerdilan diri dengan seuntai panjang penyesalan.

Tentang keluarga, perhatikan satu perihal penting ini: jangan pernah memandang diri mampu membangun keluarga baru jika kita masih punya masalah fundamental dengan keluarga yang kita miliki saat ini. Maka, perbaikilah kualitas hubungan dengan ayah, ibu, kakak, adik, dan sanak saudara sebelum memutuskan untuk menikah. Karena itu artinya kita membangun bangunan sekaligus menghancurkannya dalam satu waktu. Bagaimana mungkin kita mendirikan gedung yang kita hancurkan dalam waktu bersamaan? Percayalah, kesalahan-kesalahan mendasar dalam berinteraksi dengan keluarga akan serta merta terulang dalam keluarga baru yang ingin Anda bangun.

Tentang teman-teman, jangan pernah menghancurkan perkawanan yang telah dibangun atas kepercayaan Akan sangat mudah memutus tali silaturahim namun sangat sulit menyambungnya kembali. Sekuat apapun kita, akan ada saat-saat dimana kemanusiaan kita menunjukkan sifatnya yang hakiki, lemah dan tak berdaya, butuh akan pertolongan. Kemudian, perbaikilah pribadi kita untuk lebih kompromistis dengan karakter yang lebih beragam. Bersama semakin luasnya wawasan, seharusnya semakin cerdas pula kita berinteraksi.

Tentang buku, cintailah ia! Karena kalian tak akan membacanya sebelum mencintainya dan menyadari kepentingannya. Teknologi boleh bertambah maju, tapi buku tak pernah menjadi barang usang. Dan sungguh, tak ada orang besar yang tak punya hubungan baik dengan buku.

Tentang jodoh, berdoalah pada Tuhan banyak-banyak!

Tentang Tuhan, jalanilah hidup dengan melibatkan-Nya serta!