RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 28 November 2012

Cermin


Cermin
Pernahkah kau berkaca selain kepada cermin? Bukan, bukan pada kubangan air jernih yang juga bisa memantulkan bayangan. Yang aku maksud, adakah kalanya di dunia ini kau menemukan dirimu dalam sosok yang lain?

Aku pernah. Suatu sore, saat duduk di tepi jendela bus, dan seperti biasanya mengedarkan pandangan ke luar, aku terkejut. Mataku menangkap sosok yang sangat familiar. Aku sangat mengenalinya. Tak salah lagi, itu aku. 

Aku melihat diriku berjalan menyusuri trotoar. Sendirian. Cuek sekali. Sesekali ia menyipitkan mata, memperhatikan sekeliling dengan muka terdongak. Orang bilang cara berjalan seperti itu angkuh. Akhirnya aku menyaksikan sendiri bagaimana langkah-langkah gontai yang biasa ku ayunkan menderap. Cepat dan pasti. Acuh dan sedikit congkak.

Lalu, ada momen yang kuanggap paling berharga dan berkenan dalam hidup. Ketika aku duduk bertatap muka dengan diriku. Waktu itu, kebetulan bulan sedang berpurnama, aku dan diriku dipertemukan Tuhan untuk menghabiskan separuh malam bersama. Di sebuah toko minuman, ditemani dua buah koktail yang dalam beberapa kesempatan saling tertukar. Aku rasa, tiada skenario yang lebih kebetulan dari malam itu.

Aku dan diriku saling berpandangan. Sama-sama menikmati setiap kerjapan mata yang begitulah cara kami berkedip, mengaguminya. Lalu lewat pintu bola mata itu, masing-masing mencoba menyelami apa saja yang menjadi misteri hati, menebak-nebak isi palung nurani. Begitulah cara kami semalaman berkomunikasi. Karena waktu itu, mengucapkan kata-kata seperti perbuatan terlarang. Tiba-tiba saja bibir ini seperti berada dalam freezer, beku. Dan lidah ini seperti diberi pemberat, kelu.

Malam itu, kata-kata terkebiri oleh sebuah ketakjuban. Aku tersentak dengan adanya "aku" lain di alam nyata. Anehnya, "aku" yang satu ini berbeda bentuk, walaupun sangat similar. Dan sejak saat itu, aku bersusah payah mengelak adanya sosok yang 90% refleksi diriku, meski dalam bungkus yang lain versi. Aku menahan diri untuk tidak mengungkapkan kekaguman secara gamblang, serta lucunya, menertawai kekurangan yang sebenarnya adalah nilai minusku.

Kemiripan itu bukan karena kami kembar. Tidak, bukan kembaran. Ibuku tak pernah cerita kalau aku punya saudara kembar yang terpisah. Lagipula, kami sebenarnya berbeda jika patokannya adalah fisik. Aku lebih tinggi belasan centimeter. Kemudian, jika kulitku benar-benar tipe melayu, sawo matang, maka kulitnya lebih mirip durian setengah matang, kuning keputih-putihan. Lalu, aku menemukan di beberapa bagian mukaku, antara hidung dan bibir, dagu hingga mendekati leher, rambut-rambut tipis tumbuh, sementara kulit wajahnya benar-benar mulus dari rambut-rambut nyasar seperti itu. Ya, kalian tahu, itu karena aku laki-laki dan dia seorang perempuan.

Persamaan antara kami lebih bersifat internal daripada tampilan luar. Kami sama-sama punya perasaan yang sensitif, mudah tersinggung tapi juga pengkhayal yang hebat. Dari tindak-tanduk, aku juga menyimpulkan keseragaman karakter dengannya. Kami sama-sama tak suka menjadi sorotan publik. Lebih suka duduk di belakang jika perkumpulan dan hanya berbicara sedikit saja jika diperlukan. Tapi kami juga sebenarnya bukan pendiam. Kami usil, iseng, ceroboh bahkan terlalu heboh jika bersama orang-orang yang membuat kami nyaman.

Tetang persamaan, dosenku pernah bilang, manusia cenderung mencintai apa yang mirip dengannya. Pak Mahmud, nama dosenku itu, juga bercerita. Suatu ketika ada dua ekor burung tak sejenis, gagak dan merpati, berbarengan selalu. Orang-orang takjub, bagaimana bisa burung yang tak ada persamaannya itu bersama-sama. Lalu, seketika dua ekor burung itu berjalan, nyatalah bahwa keduanya ternyata sama-sama pincang. Demikianlah, persamaan-persamaan seringkali menjadi awal sebuah kebersamaan.

Suatu ketika, karena kesamaan-kesamaan yang di mataku semakin gamblang terlihat, aku menceritakannya kepada seorang sahabat, Satria namanya. Tahukah kalian apa komentarnya?

“Itulah jodohmu, Ray. Dialah potongan puzzle yang akan melengkapimu.”

Semenjak mendengar pendapat Satria itu, aku banyak menghabiskan hari-hariku dalam sepi. Menyendiri memikirkan apa yang harus aku perbuat selanjutnya. Menghabiskan malam bersama bergelas-gelas kopi hanya untuk menuliskan puisi. Untuknya tentu saja, buat siapa lagi. Nyaris satu minggu aku tak keluar rumah. Lalu tibalah saatnya aku keluar, aku pura-pura siap mendengarkan apa saja yang akan menjadi jawaban dari pertanyaanku kepadanya. Oia, namanya Mary.

“Mary, will you marry me?”

Aku membawa setangkai mawar merah. Kubungkus tangkai bunga itu dengan kertas merah marun bertuliskan puisi terbaikku. Lututku bertekuk di hadapannya. Pandanganku menunduk. Hanya menengadahkan sang mawar.

“Ray bagunlah! Tataplah mataku!”

Hatiku sumringah mendengar jawaban itu. Segera saja lekat-lekat ku pandang bola matanya. Amboi, dia tersenyum.

“Aku rasa kita lebih baik menjadi sahabat. Persahabatan lebih suci dari cinta. Karena cinta adalah persahabatan yang telah dikotori nafsu.”

Aku tak kuat berkata-kata mendengar semua itu. Dia benar. Dan selalu benar. Jawabannya benar-benar telak menusukku. Menghujam tepat di jantungku. Aku kalah. Tapi setidaknya, luka itu tergores di dada. Para malaikatpun menyaksikan, aku sudah bertarung.

Tapi, nyatanya, dia tak sesuci yang mulut manisnya ucap. Beberapa hari setelah itu aku saksikan ia jalan berdua dengan teman yang ku kenal baik. Dan yang menyedihkan, dalam pandanganku, pria itu tak cukup baik untuknya. 

“Justru karena kita sama, maka kita tak mungkin bersatu. Dalam ilmu listrik, kita sama-sama positif. Kita butuh tegangan negatif untuk menghidupkan lampu-lampu kehidupan, untuk menerangi dunia.

Mungkin kata-katanya ada benarnya. Mungkin selama ini aku terlalu narsisnya, berlebihan mengagumi bayanganku sendiri. Mungkin ada baiknya kami terpisah. Terpencar ke arah angin berbeda, mencari pasangan yang tak sama. Untuk lebih berguna hidup di dunia. Tapi,

Apa yang Bisa Kita Lakukan Untuk Palestina

Produk Yahudi
Saya bukan peramal, tapi saya prediksikan kasus Palestina masih akan berlarut-larut. Sedihnya, masalah ini –menurut hemat saya- masih akan berkisar pada serangan-serangan membabi buta Israel, peluncuran satu dua roket balasan Hamas yang tak sebanding, debat tegang di PBB yang bagaimanapun hasilnya Amerika akan mem-vote, negara-negara muslim (khususnya Arab) yang masih setengah hati dalam membantu, dan kita (rakyat jelata) masih akan terjebak dengan menangisi nasib penduduk Palestina tanpa bisa berbuat apa-apa. Hal paling banter yang bisa kita lakukan hanyalah menghadiri konser musik amal serta menyisihkan sedikit uang kita setelahnya. Itupun dengan ketidakpastian apakah uang kita tersalurkan kepada rakyat Palestina karena akses menuju ke sana sangat terbatas. Respon lain yang sering kita lihat adalah unjuk rasa dengan membakar bendera Israel –mereka tetap tidak peduli-.

Keadaan yang demikian masih akan berlangsung dalam tempo yang cukup lama, lagi-lagi menurut saya. Mungkin ini adalah strategi Israel untuk menyiksa batin rakyat Palestina dengan sikap politik mereka. Mereka tidak akan menyatakan perang secara terbuka karena Israel tahu itu justru membahayakan eksistensi Negara Yahudi itu. Mereka lebih memilih melakukan serangan-serangan skala kecil dan sedang serta bertahap. Semua itu dilakukan untuk meneror psikologi rakyat Palestina hingga akhirnya mereka sendiri yang memilih pergi dari tanah leluhurnya. Rakyat Palestina hidup dalam kungkungan ancaman maut yang dengan tiba-tiba bisa saja merenggut nyawa mereka, atau nyawa anak istri tercinta mereka. Siapa yang tahan terus menerus hidup dalam kekhawatiran?

Rakyat Palestina sudah berjuang mati-matian untuk sebuah kemerdekaan. Hamas sebagai kekuatan politik terkuat sudah mengusahakan yang terbaik. Di dalam negri, Hamas mendapatkan banyak dukungan karena merakyat. Mereka bekerja keras membangun masyarakat dengan mental yang kuat. Hamas mengajak rakyat meramaikan masjid, mengajari mereka pendidikan, memberi pelayanan kesehatan, toleran terhadap kaum Kristen dan minoritas, semuanya demi memperjuangkan cita-cita Palestina Merdeka. Sementara di luar negri, mereka membina hubungan dengan Negara-negara lain, mengumpulkan dana dari simpatisan, serta terus menerus mengusahakan diplomasi kepentingan mereka di forum Internasional. Sesekali mereka memperlambat gerakan Israel dengan pemuda-pemuda berketapel atau juga sesekali membalas serangan Israel dengan roket jika keterlaluan. Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Kita perlu tahu, kerja keras berteman peluh dan darah dari para pejuang itu masih menemukan rintangan yang tak mudah. Di dalam negri, Hamas masih harus sering berdialog dengan Fatah, karena tak jarang muncul intimidasi yang bisa mengobarkan perang saudara. Selain dengan Fatah, mereka juga harus banyak duduk semeja dengan fraksi-fraksi lain seperti Jihad Islam dan semacamnya. Tidak mudah untuk menyatukan visi dari perspektif yang beragam. Itu belum termasuk masalah minimnya kekuatan finansial untuk operasional dalam negri Palestina.

Di forum internasional, kekuatan politik mereka yang mendukung Israel masih terlalu dominan. Di PBB ada veto 5 negara besar. Di Amerika ada lingkaran setan bernama sistem dualisme Republik dan Demokrat. Lobi-lobi Yahudi juga masih kuat di sana. Sementara masalah dalam umat muslim sendiri juga kompleks. Di antara negara-negara muslimpun sering terjadi ketidaksepakatan dalam menangani masalah Palestina. Juragan-juragan minyak Arab lebih suka menginvestasikan uang mereka untuk tim-tim sepakbola, atau membangun pulau-pulau impian dengan menimbun laut lepas.

Begitulah umat Islam saat ini, kita bukan saja tidak punya kekuatan untuk meringankan penderitaan saudara kita di Palestina, tetapi secara tidak sadar juga ikut mendukung serangan Israel. Mari kita mawas diri, apakah kita termasuk pihak yang demikian. Pasalnya, ternyata banyak sekali perusahaan-produsen barang-barang kebutuhan kita adalah mereka yang terang-terangan membantu Israel dengan memberikan bantuan finansial tiap tahunnya.

Pernahkah suatu hari Anda belanja di Carefour, lalu membeli celana jeans merk Calvein Klein atau George Armani di sana, kemudian membeli Johnshon & Johshon untuk kado bayi handai taulan, sebelum pulang menonton film Hollywood di 21 dan mampir mengisi perut di KFC, tak sadarkah Anda bahwa Anda sedang menyumbangkan pundi-pundi uang Anda untuk kepentingan Zionis. Masih banyak lagi produk-produk perusahaan penyokong Zionisme berada di sekeliling kita, Intel, Coca-Cola, Mc Donald, Pepsi, Danone, Nestle, Nokia dll. Produk-produk tersebut mendapatkan keuntungan yang sangat melimpah dari pola hidup konsumtif kita.

Produk-produk itu selain menunjukkan betapa lemahnya perekonomian kita juga menyatakan  bahwa kita belum bisa menjadi seorang muslim yang baik. Maksudnya adalah, bahwa pola hidup kita yang konsumtif bukanlah sikap seorang muslim seharusnya. Selayaknya sebagai seorang muslim hidup sederhana. Mengkonsumsi apa yang dibutuhkan serta lebih banyak bersedekah dengan rezeki kita.

Jika masing-masing dari kita paling tidak mempraktikkan dua hal di atas, hidup sederhana dan banyak sedekah, saya optimis keadaan Palestina tidak seburuk sekarang dan Israel tidak sekuat saat ini. Karena itu, Kawan, mari kita melakukan hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk Palestina. Bukankah kita hanya perlu berkorban sedikit mengekang nafsu konsumtif kita serta sedikit saja lebih dermawan?

Siapa yang Teroris?

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Amerika secara resmi menyatakan keberatan atas pernyataan Perdana Mentri Turki, Recep Tayyib Erdogan. Sebelumnya Erdogan mengecam keras serangan Israel di Gaza. Di antara kalimat Erdogan mengatakan bahwa Israel Israel sedang melakukan pembersihan etnis di Gaza. Erdogan juga menyebut Israel sebagai 'negara teroris'.

Sontak Amerika Serikat, yang jamak diketahui sebagai sekutu politik Israel, bereaksi keras atas pernyataan Erdogan.

“Saya ingin katakan bahwa beberapa retorika sangat keras yang datang dari Turki, kami anggap sama sekali tidak membantu," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, seperti dilansir Xinhua, Rabu (21/11/2012).

Sementara itu, sudah sejak lama AS secara resmi memasukkan Hamas sebagai organisasi teroris. Demikian seperti yang terlampir dalam situs resmi pemerintah Amerika Serikat, www.us.gov. Ketika secara tidak diduga Hamas memenangi pemilu Palestina pada 2006 lalu, AS pun kebakaran jenggot. Di satu sisi, AS punya konsekuensi atas usaha promosi demokrasi yang mereka pawangi.

Di lain pihak, AS harus berusaha melestarikan pemerintah Palestina “yang lunak” untuk memfasilitasi kepentingan sekutu dekat mereka, Israel. Walhasil, AS dan kompatriotnya –Israel dan negara-negara Uni Eropa- berusaha melemahkan pemerintahan Hamas dengan memblokade aliran dana untuk Hamas. Bantuan yang sebelumnya dijanjikan untuk Palestine Authority –pihak yang berwenang atas Palestina selama belum diakui kemerdekaannya- sebesar 50 juta dolar distop. Uang pajak rakyat Palestina dengan jumlah nominal yang sama pun dibekukan Israel. Tak hanya itu, AS menekan negara-negara Arab yang nampak hendak memberikan bantuan ke Palestina.

Akibat aksi blokade finansial tersebut, pemerintah Hamas sempat mengalami krisis moneter. Pemerintah tak punya dana membiayai operasional hingga sempat tidak membayar gaji 160.000 pegawainya selama tiga bulan. Akhirnya, berkat bantuan dari negara-negara liga Arab, Hamas sedikit demi sedikit bisa mengatasi krisis ini.

Dari data-data di atas, nampak jelas usaha AS dan sekutunya untuk melemahkan pemerintahan Hamas yang mereka anggap teroris. Ini belum termasuk usaha pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin Hamas yang berkali-kali terjadi. Terakhir, pembunuhan terhadap Ahmad Al Jabaari, pemimpin sayap militer Hamas, menyebabkan konflik militer selama seminggu antara Hamas vs Israel.

Definisi teroris memang sangat abu-abu. Tidak jelas bagaimana suatu golongan bisa dianggap sebagai teroris. Dalam kasus Palestina, apakah Hamas yang merepresentasikan suara rakyat Palestina bisa dikategorikan sebagai teroris. Selama ini, Hamas tidak pernah meluncurkan roket-roket peledak kecuali ada intimidasi dari Israel –termasuk peluncuran roket terakhir yang diawali oleh seranga Israel-. Lagipula, dari data yang bisa kita ketahui dari media manapun, korban jiwa yang jatuh di Palestina jauh lebih banyak daripada  penduduk Israel yang cuma terluka. Lalu, apakah usaha hamas untuk menunjukkan kedaulatan bangsa Palestina sekaligus melindungi rakyatnya adalah gerakan terorisme? Saya lebih sepakat dengan pernyataan Erdogan, Israel lah teroris yang sebenarnya.