RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 25 April 2013

Ironi

Tempat ini tak pernah sama. Meski perubahan hanya menerpa rupa, tak bisa menyentuh inti.

Meja dan kursi masih sama. Tatanannya persis. Ada empat kursi untuk setiap meja. Sementara di kedai ini tersedia enam meja. Empat meja terjejer rapi di bagian dalam kedai, terletak di masing-masing sudut. Dua lagi di teras, mengambil tempat di tepi pagar pengaman. Dari sana, seluruh isi mall dapat ditelisik dengan satu sapuan pandang.

Namun, tempat ini tak pernah benar-benar sama. Bentuk dan warna meja kursi sudah berganti. Sekarang warna biru. Dulu merah muda. Aih, dahulu kala perkara warna bahkan kuanggap penting. Aku berkhayal kita sedang memainkan peran dalam naskah cerita cinta yang Tuhan persembahkan untuk kita. Dan waktu itu adalah segmen awal dari skenario nan indah. Setting-nya begitu memesona. Perkakas yang serba merah muda, suasana sepi  nan syahdu, dan entah apa yang terjadi hingga lampu mall sempat padam untuk beberapa lama, hingga ongokan lilin sempat menemani kita bercerita dalam remang. Dan lagi, ketika lampu kembali nyala, mengapa irama yang terlantun tiba-tiba lagu Gita-Gutawa.

Kau begitu sempurna, di mataku kau begitu indah…
Sempurna...

Aih, dahulu semua kebetulan itu memberiku keyakinan bahwa cerita ini akan berakhir happy ending. Kebetulan-kebetulan itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Pastilah semuanya terjadi untuk sebuah alasan. Bagiku, alasan itu adalah kita. Tapi aku salah.

Kini, kita duduk lagi di sini. Sama percis seperti lima tahun lalu. Di kedai nasi goreng super mahal ini. Di tepi pagar pengaman sehingga kita bisa memandang seluruh isi etalase kapitalis ini. Dulu, kamu yang takut ketinggian memilih duduk di sisi yang lain. Sesekali kau kugoda untuk melihat air mancur di dasar mall. Matamu mengerjap-ngerjap, tak kuasa menahan ngeri. Tapi justru itu yang ku suka. Matamu yang menyipit dan rona merah di pipimu membuatmu tampak cantik sekali.

Tapi, kini berbeda. Kita tidak sedang berdua. Kau masyuk menyuapi Reza, anakmu. Sementara aku memusatkan pandang pada cincin di jari manisku, sibuk mengingatkan diri sendiri bahwa bulan depan aku akan menikahi Ratih, tunanganku.

“Minumannya, tuan, nyonya!” Mbak pramusaji datang mengagetkanku. Kamu juga terperanjat. Sendok yang disodorkan ke mulut Reza terjatuh. Kamu nampak gugup.

Pramusajinya masih sama. Wanita sawo matang berlesung pipit dalam. Wajahnya yang khas Jawa membuat kita otomatis memanggilnya mbak. Sebenarnya, dia lebih tepat dipanggil Ibu. Apalagi kini beberapa kerut telah bersemai di rautnya. Usai meletakkan minuman, Mbak pramusaji menundukkan badan sedikit, lalu berlalu.

Dulu, kita menertawai pramusaji itu. Karena begitu polosnya. Sebentar-sebentar ia minta izin. Percis dengan yang disampaikan Raditya Dika dalam joke stand up comedi-nya, bahwa semua pramusaji restoran adalah orang paling baik sedunia.

“Eh, sebentar mbak!” Kali ini aku ingin membuat lelucon.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” Mbak pramusaji berbalik badan, mengernyitkan kening, matanya menyapu setiap inti meja.

“Nggak ada yang kurang, kok,” aku tersenyum, “Cuma mau nanya, kok nggak minta izin ke belakangnya?” Godaku. Aku lalu tergelak, mbak pramusaji tersipu, lalu pergi.

“Haha,” kamu ikut tertawa kecil, ”Kamu ini sekarang lucu ya. Masa mbaknya digodain,” ujarmu diakhiri dengan senyum.

“Waktu mengajari kita hal-hal baru,” aku merespon cepat, agar curi-curi pandangku ke lesung pipimu tak ketahuan.

“Mbak itu juga berubah ya, Vit,” lanjutku, “dulu kan, setiap mau apa-apa pasti minta izin,” aku nyengir.

Times passed, people changed,” kau mengerling, menyahut sembari memegangi gelas Reza.

“Ah, sejak kapan kamu fasih ngomong Inggris?” aku terkesiap.

Since you’re gone,” kau tatap mataku.

No, im never. You did!” Aku mengelak, mataku kembali tekuri jemari.

“Eh, Za, air mancurnya beda ya sekarang, tambah tinggi. Lihat deh!” Kamu berdiri, membelakangi aku dan Reza, menatap air mancur.

“Hei, kamu nggak takut ketinggian lagi, Vit?”

“Jangan parno gitu dong,” lagi-lagi kau tersenyum lebar, “Aku sempat kerja jadi mandor proyek bangunan. Awalnya takut, lama-lama terbiasa dengan tempat-tempat tinggi,”

“Apa, ka.. kamu kerja jadi kuli bangunan?” Aku tak habis pikir.

“Eh, enak aja. Bukan kuli ya, mandor. Di kontraktor pamanku. Ya terpaksa, semenjak cerai dengan Rizal aku harus menghidupi diriku dan Reza. Sekarang aku jadi guru bahasa Inggris, my English is good enough, isn’t it?”

“Rizal kenapa?” kataku lirih, sebenarnya tak tega ku tanyakan ini.

“Dia ternyata sudah punya istri. Ah, semua laki-laki sama saja. Kecuali kamu.”

Kamu lalu bercerita tentang Romeomu. Tentang lelaki yang menyelamatkan hidupmu dalam artian sebenarnya. Mengawinimu, membiayai kuliah, memberi makan, dan selalu berada di sisimu untuk melindungi. Hal ihwal yang mustahil ku beri waktu itu. Semua yang ku bisa lakukan untukmu hanyalah jadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu, menyajikan simpati dan senyum di akhir setiap kisahmu, lalu menceritakan bualan-bualan pemancing senyummu. Bodohnya, dulu aku merasa itu semua cukup bagi wanita.

Tapi ternyata wanita tak selugu dan semulia itu. Wanita butuh uang untuk membiayai rias cantiknya. Perlu pria tangguh untuk menjaga keamanannya. Ingin kepastian lebih dari semua gombal rayu. Aku tak bisa beri semua itu dulu. Aku butuh waktu. Jika wanita butuh bukti dari laki-laki, maka laki-laki butuh waktu untuk memberi bukti.

Dahulu, ketika aku tengah meyakinkan diri bahwa ketulusan cinta akan memudahkan segala ketidakmungkinan, aku diuji dengan kehilangan. Engkau menghilang tanpa kabar. Nomormu tak dapat dihubungi. Kau pun tak pernah lagi datang di meja nomor lima kedai ini, tempat kita menghabiskan malam. Tak pula ke rak buku-buku fiksi tempat kita pertama bertemu. Tololnya aku tak pernah tahu rumahmu.
Lalu kau datang lagi dengan singkat, tapi hanya untuk pamit, dengan kalimat selamat tinggal pahit.

“Aku akan menikah. Eksekutif muda bernama Rizal meminangku. Dia berjanji akan menanggung seluruh kehidupanku,” kau mengguman lirih dalam sambungan telepon.

Aku tak ingin menangis, tapi air mata bukan kehendak. Ia akan mengalir ketika hati tak kuasa lagi menahan sayat. Kesedihan terdalam adalah ketika diacuhkan orang yang kita yakini sangat bergantung pada kita. Karena itu mendedah ketololan kita.

“Maaf, aku memang salah. Tapi kita berdua lebih pantas disalahkan. Kita sama-sama membiarkan yang tidak mungkin bersatu bercampur. Air dan minyak hanya saling merusak jika bersama,” kau juga terisak.

“Kau bukan Romeo. Kata-kata indahmu lebih mencerminkan Sharkespeare. Aku juga bukan Juliet. Aku hanya satu dari pengagum semenjana Sharkespeare. Lagipula, Sharkespeare tak perlu Juliet. Ia lebih butuh wanita macam De Beauvoir-nya Sartre, yang saling memahami isi kepala.”

Aih, kamu selalu pintar berdalih, dan aku selalu kalah. Aku selalu salah.
Selanjutnya kau pergi, dan aku menghabiskan hari-hari dengan separuh energi, setengahnya lagi tersita untuk menahan getir-getir di hati. Pagiku banyak terbuang hanya untuk melupakan mimpi yang terlalu sering menghadirkan dirimu sebagai lakon. Belajarku banyak terganggu dengan bayangan wajahmu yang tiba-tiba menyela diantara teori-teori. Tidurku sering telat karena aku tak jua mampu menjawab pertanyaan  yang selalu terngiang menjelang malam, “Jika kita sama-sama salah, mengapa kau renda bahagia saat ku rajut duka? “

Matahari lagi dan lagi terbit, burung bahagia bercicit, aku malu jika sebagai manusia tak jua bangkit. Waktu membawa perkara-perkara baru, tapi bagiku bukan ia yang mengobati nestapa, memori sempit manusialah yang berjasa. Otak manusia pada akhirnya tak kuasa menampung semua, lalu lamat-lamat terlupalah kenangan, suka dan dukanya. Aku bersyukur dicipta Tuhan sebagai manusia yang fitrahnya lupa.

Luka juga terobati karena hari-hari membuat kita makin tua. Lambat laun idealisme romantis masa muda tergerus kenyataan praktis kehidupan. Lagipula, aku belum sudi menyerahkan hidup sampai di sini. Aku tak tahu, apakah ini adalah kekuatan hati, atau keputusasaan paripurna.

Aku memutuskan untuk melangkah. Tuhan mempertemukanku dengan Ratih, gadis polos yang awalnya tak pernah terpikir di benakku untuk jatuh hati padanya. Keangkuhan intelektualku membutuhkan wanita-wanita cerdas sepertimu. Sedangkan Ratih hanya wanita penuh sahaja. Dia lebih cocok menjadi istri Kyai yang penurut daripada jadi pasangan petualang sepertiku. Tapi, seperti yang sudah-sudah, aku selalu salah menilai wanita.

Ratih memang bersahaja, tapi ia tiada dungu. Ia mungkin tak mampu membantah ide-ide liarku, tapi dia mengerti. Bedanya dengan kau, dia tak pernah meledak-ledak. Ratih menyatakan ketidaksepakatan dengan santun, menimpali ketidaksetujuan dengan anggun. Di hadapannya, aku bukan lagi sosok bestari berilmu tinggi, tapi seorang temperamen yang diajari budi pekerti. Karena itu, aku luluh.

Maka, ketika tadi  kau sampaikan, “Faza, Reza tampak menyukaimu. Aku kira inilah saatnya cinta kita bersatu. Ia telah mengalir berliku. Melewati gunung, bukit, lembah. Inilah muaranya. Ini waktunya, menikahlah denganku.”

Ah, sebenarnya tak tega kukatakan ini, “Bukan lantas karena cinta semuanya usai. Cinta tak membawa keniscayaan. Ia datang dengan pilihan. Sementara kita menentukan, mana yang lebih mungkin dalam menghadapi perubahan-perubahan. Aku telah putuskan, Ratihlah yang kuyakini mampu bertahan.”

Kau menangis, air mataku pun jatuh. Tapi jika air mata adalah senjata pamungkas wanita, maka martabat adalah perisai lelaki yang paripurna.

Semua masih sama, tapi tak benar-benar serupa. Sejatinya, aku masih mencinta, tapi keadaan terkadang memaksa kita bersikap beda pada kasus yang sama.

Senin, 22 April 2013

Wanita yang Mati Menggendong Bayi




Malam ini aku ingin bercerita. Dengan pembukaan yang datar saja. Tak ada kata pengundang kejut, tanpa kalimat penyebab peranjat. Ini hanya kidung masa lampau yang ingin ulang kurajut. Pasalnya, hati ini terisak pilu setiap ingat.

Ya, aku ingin berkisah tentang wanita yang mati menggendong bayi. Tapi ini bukan tentang mayat berjubah putih, yang wajahnya gelap dan mulutnya menyebur darah berbuih-buih. Bukan hantu berambut panjang, yang kerap difilmkan jadi penunggu terowongan. Tak ada deskripsi tentang punggung berlubang yang konon akibat kena teluh dukun seberang. Ini bukan cerita kuntilanak.

Hikayat ini tentang guru sekolahku dahulu sekali. Waktu aku masih masih malas-malasan belajar tata bahasa Indonesia. Waktu itu kupikir ilmu ini sama sekali tak berguna. Pengetahuan ini tak mengantarkan pada skillyang bisa dijadikan pekerjaan. Tak seperti mata pelajaran IPA yang bisa mewujudkan muridnya jadi ilmuwan. Bahkan, masih kalah gengsi dari pelajaran olahraga yang bisa membuat kita dapat medali. Ya, cerita ini mengenai guru SD-ku.

Ibu guruku cantik sekali. Aku masih ingat, potongan rambutnya sangat stylish untuk ukuran saat itu. Waktu itu, jilbab belum populer seperti sekarang, gadis-gadis kebanyakan berpotongan pendek sebahu. Tapi tidak sekedar tergerai lurus, melainkan ikal bergelung-gelung macam ombak pasang pantai sanur. Ya, aku ingat, itu pula gaya biduanita dangdut kampung dan artis-artis ibukota.

Guruku juga semampai. Berjinjit pun tak juga tubuh cebolku sampai. Jika hidup saat ini barangkali beliau masuk kriteria jadi pramugari, atau jadi model yang kerjaannya lenggak-lenggok kanan kiri. Wajahnya berseri, senyumnya indah tak terperi. Lesung pipi di kanan kiri bak celah-celah biji bunga matahari. Ah, tidak. Lebih merupa bidang tanah yang rajin disapa tetes-tetes hujan limpahan atap seng rumah pedesaan kami, sedikit berceruk.

Tapi matanya sayu, kantung bola matanya menggantung berkerut. Kata ibuku itu akibat Bu Yanti, nama guru itu, terlalu sering bersedih. Karena penjelasan Ibu yang belum ku mengerti di masa mudaku, aku tak pernah mau menonton sinetron. Sedari kecil aku memang melankolis. Baru menonton thriller sinetron terbaru saja aku menangis. Lucunya, waktu itu aku sebarkan propaganda bodoh ke teman-teman, “Jangan sekali-kali kalian menonton sinetron kalau tidak mau kesehatan mata kalian terganggu.” Bodohnya, teman-temanku percaya, hanya karena aku selalu dapat nilai sepuluh dalam pelajaran matematika. Aku selalu tergelak bila mengingatnya.

Aku baru mengerti dewasa ini apabila mata sayu dan kantung mata menggantung orang-orang adalah karena terlalu banyak menangis. Yang menyulitkanku adalah seketika memandang orang berkantung mata, aku selalu teringat penderitaan Bu Yanti.

Dari penuturan yang kudapat dari Ibuku, kutahu bahwa Bu Yanti adalah perempuan yang hidupnya selalu dirundung malang. Sejak kecil ia sudah tinggal di panti asuhan. Ia bahkan tak pernah tahu nama ayah dan ibunya. Namun Yanti kecil, meski sering menangis di malam hari, sangat riang dan rajin siang harinya. Nilai-nilainya di sekolah selalu bagus. Aktif pula membantu pengurus panti mengurusi yatim piatu yang lain. Yang menarik dari cerita ibuku adalah, katanya Yanti kecil juga pendongeng ulung. Anak-anak panti tak pernah bisa tidur sebelum ia mengisahkan hikayat. Anak-anak pantjuga tak pernah bisa membedakan mana cerita Yanti mana bunga tidur, karena mereka terlelap di antara penuturan. Cerita Yanti selalu mengalir indah hingga semua anak terlelap dan malam kembali menjemput Yanti untuk menangis.

“Ah, bu, sesakti itukah pendongeng?” Aku menyela, Ibu hanya tersenyum. Aku lalu bertekad menjadi pendongeng yang sakti.

Kembali pada Bu Yanti kecil. Karena keriangan, kerajinan dan tentunya kecerdasannya, Yanti kecil selalu mendapat beasiswa. Ia yang suka berbaur dengan anak-anak kecil pun memutuskan mengambil jurusan pendidikan guru. Pendek kata, Yanti lulus sebagai lulusan terbaik IKIP. KataIbu juga, skripsinya sampai membuat guru besar tercengang kagum. Serta merta ia ditawari menjadi pengajar di almamaternya. Tawaran yang menggiurkan bukan?

Tapi, taukah kalian, apa yang dilakukan Bu Yanti? Ia menolak, ia memilih mengikuti program transmigrasi pemerintah ke Bengkulu, propinsi antah berantah. Ia ingin menikmati sisi-sisi lain dari negara ini, katanya. Ia memang seorang petualang sejati. Lagipula, bukankah anak-anak pelosok lebih perlu pendidikan? Katanya dikutip ibu.

Di daerah transmigran, kesulitan-kesulitan baru muncul. Tempatnya terpencil dan sangat tertinggal. Terpisah 40 kilometer dari kota terdekat. jalan penghubungnya adalah hutan rimba yang ditebas. Tak ada aspal. Untuk mencari air bersih saja, penduduk harus naik turun bukit. Yang mengerikan, setiap sore, ketika warna merah senja mulai menyelimuti dunia, semua orang harus menutup pintu rapat-rapat . Karena hewan-hewan liar masih menganggap itu daerah kekuasannya. Bukan cuma musang atau ular, beruang madu dan harimau kumbang juga mengintai di sela-sela gelap.

Di daerah pelosok itu, Bu Yanti mengajar anak-anak. Siangnya ia keliling kampung jualan kue-kue. Aku masi hingat, aku selalu menghambur keluar rumah setiap melihatnya membawa rantang kue. Lidahku selalu ketagihan kue donat buatannya. Ah, sayang, sekarang sudah tak mungkin lagi kukecap.

Karena pesona alamiahnya, kecantikan pekerti, Bu Yanti menjadi primadona kampung. Di sana pula Bu Yanti menemukan pria yang membuatnya menghentikan kebiasaannya sejak kecil, menangis di malam hari. Kata ibuku, pemuda beruntung itu bernama Indra. Selama mereka memadu kasih, masih menurut Ibuku, Bu Yanti semakin cantik saja. Matanya tak lagi sayu, tapi berbinar-biar bak berlian. Kantung matanya pun tidak ada lagi. Ia tampak segar dan semakin bersemangat mengabdikan diri pada anak-anak desa. Dia mendirikan taman kanak-kanak untuk mereka yang belum dapat masuk SD. Diajarnya anak-anak dengan tekun bersama Indra yang bersedia turut membantu. Ia tak pernah meminta bayaran. Karena itu, penduduk kampung semakin menghormatinya. Tapi..

Dengan pesona yang semakin terpancar dari Bu Yanti, semakin banyak pemuda yang menaruh hati. Salah satunya adalah putra juragan beras di kampung itu, sebut saja namanya Yono. Juragan beras itu sudah tua, janda pula, sebut saja namanya Yanah. Ia berasal dari Jogja, seperti halnya Bu Yanti. Karena sentimen kedaerahan itu, Bu Yanti sangat akrab dengan sang juragan beras. Tidak hanya sekali dua kali silaturrahim, tapi Bu Yanti juga sering bermalam di rumah juragan. Juga tentu saja akibat perlakuan baik dari sang juragan yang menganggapnya seperti anak sendiri. Bahkan, suatu ketika, ketika Bu Yanti terjangkit malaria –penyakit daerah tropis- dan harus di opname, sang juragan pula yang merawatnya dan membiayainya.

Namun, demikianlah sifat manusia, ketika segolongan dari mereka tak pernah bisa mengikhlaskan kebaikan yang diperbuat, sebagian lain selalu tak enak hati dengan kebaikan yang diperbuat orang lain. Meski terkadang harus mengorbankan kepentingan.

Masalah datang ketika Yono meminta ibunya, Yanah, untuk mempersunting Yanti untuknya. Yanah, yang sangat menyayangi anak semata wayangnya tak bisa menolak permintaan itu. Pernikahan mereka menjadi kebahagiaan sepihak dan kesedihan banyak pihak. Dan dua orang yang paling menderita dari pernikahan itu adalah Yanti dan Indra.

Semenjak hari pernikahan, Yanti kembali pada kebiasaan lamanya, menangis di malam hari. Matanya kembali sayu, matanya kembali berkantung. Pesonanya sedikit demi sedikit memudar. Energinya meredup. Semangatnya untuk mengajar anak-anak sempat jatuh ke titik nadir. Apalagi Indra juga enggan membantunya lagi di taman kanak-kanak. Ia juga harus mengurus anak-anaknya sendiri.

Hingga suatu ketika, ketika mengajar pelajaran bahasa Indonesia di kelasku, Bu Yanti nampak sakit. Ronanya memerah, ia lalu meminta izin untuk pulang terlebih dahulu. Kami sekelas tidak terlalu memperhatikan saat itu. Hingga saatnya kami berbaur keluar saat lonceng jam terakhir dibunyikan, woro-woro dari corong masjid membahana, innalillahiwa inna ilaihi rajiun.

Bu Yanti terjengkang dari motor. Kepalanya terbentur batu. Tapi bayi di pelukan Bu Yanti selamat. Dan kalian tahu bagaimana raut Bu Yanti ketika telah menjadi mayat, ia tersenyum. Aku yakin, kala itu malaikat tengah menunjukkan rapor hidupnya yang bernilai mulia hingga tiada kesedihan di wajahnya.

Ibu selalu mengatakan ini tentang Bu Yanti, “Dia adalah wanita yang hidup dan matinya selalu disia-siakan.” Tapi aku yakin, di surga sana, amal perbuatannya tidak sia-sia. Bagiku, dia adalah wanita yang hidup dan mati tiada penting baginya. Karena satu-satunya pamrihnya dalah ridha sang kuasa. Oh, iya, aku ingin bertanya pada kalian, dimanakah aku bisa temukan wanita seperti itu?

Kamis, 18 April 2013

Menyombonglah dengan Berlaku Tanpa Buku


Kehidupan kita masih sama. Malam-malam musim panas banyak tersita dengan rapat-rapat koordinasi untuk acara kongkow-kongkow besok malam. Paginya, eh maaf,  siangnya, kita akan melipat-lipat surat undangan atau memfotokopi proposal untuk kemudian kita edarkan. Hari-hari musim dingin yang pendek –menjadi semakin pendek dengan buruknya manajemen kehidupan kita-  banyak terbuang dengan kegiatan yang mirip, ngobrol-ngobrol untuk siding-sidang  lusa depan. Paginya, eh sekali lagi maaf, siangnya, kita sibuk melipat-lipat proposal atau memfotokopi surat mohon kehadiran untuk selanjutnya kita sebarkan.

Kita adalah komunitas organisatoris yang sangat dinamis. Setiap generasi berusaha menerjemahkan progresifitas dalam kegiatan yang benar-benar lebih baik dari generasi selanjutnya. Kita mengerti –tanpa memahami- sebuah tuntutan naluri untuk bersosialisasi. Untuk melaksanakan itu, kita bahkan tak perlu tahu bahwa dalam pembukaan karya besar al-‘Ibar-nya, Ibnu Khaldun mengutip ucapan filosof: manusia adalah makhluk sosial. Kita juga tak merasa perlu membaca ‘Arâ’u al-Madînah al-Fadhîlah-nya al-Farabi untuk mengekspresikan bahwa manusia adalah makhluk yang tak bisa menuntaskan kebutuhan primernya tanpa hidup berkelompok. Apalagi untuk tahu bahwa buku politik al-Farabi lain –yang oleh sebagian pemerhati disebut lebih penting dari buku pertama- punya dua nama, al-Siyâsah al-Madaniyyah dan Mabâdi’ al-Maujûdat, sama sekali tak perlu.

Barangkali dengan begitu kita terlihat setara dengan kecerdasan al-Farabi, juga dalam orisinalitasnya. Namun, nanti dulu, ada yang luput. Bagi al-Farabi, tujuan bergabung dengan sesama manusia bukan sekedar pemenuhan kebutuhan material. Kalau hanya begitu, kita tak beda dengan hewan. Sapi contohnya, yang melenguh-lenguh bersama disela-sela memamah rumput. Aih, kenapa mirip sekali dengan kita yang sama-sama terbahak di antara kunyahan-kunyahan syibsi?

Karena itu, menurut al-muallim al-tsani, tujuan bermasyarakat adalah juga pemenuhan kebutuhan spiritual, kebahagiaan. Bagi al-Farabi, jiwa lebih mulia dari jasad. Untuk itu, pemuasan hajat rohani lebih utama dari desakan-desakan syahwat jasmani. Salah satu bentuk hajat spiritual adalah ilmu. Karena itu, membaca, dalam sudut pandang al-Farabi, lebih penting dari kongkow-kongkow.

Kemudian, segelintir dari kita, karena menganggap usulan jujur tadi terlalu semena-mena dan sinis –ah, komunitas macam kita yang tak punya banyak waktu untuk membaca memang selalu terlalu sentimentil- akan bereaksi keras, mereka mengerjakan fungsi antithesis dialektika Hegel. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang membaca buku itu kolot, tidak adaptif dengan keadaan sosial, dan terlalu terkekang dengan pola-pola buatan para penulis buku. Mereka berdalih bahwa ilmu tak cuma didapat dengan buku. Sekilas, alasan mereka terlihat mirip dengan konsep empirisme Locke –tabularasa yang ditulis Locke dalam risalahnya, An Essay Concerning Human Understanding- yang mengatakan bahwa ilmu didapat melalui pengalaman. Tapi saya rasa tidak, tidak juga selaras dengan konsep sufistik tentang ilmu batin.

Buku, tidak ditulis untuk kesewenang-wenangan, ia –kecuali buku-buku komersil kontemporer- datang dari ketulusan niat para pendahulu untuk memperbaiki masa depan. Buku berisi pengalaman-pengalaman lalu, berhasil dan gagalnya, untuk pedoman generasi selanjutnya. Buku adalah satu langkah lebih maju dari pembacaan-pembacaan acak manusia atas dunia ini, ia adalah rangkuman kontemplasi. Ia merupakan perkakas yang memudahkan pekerjaan, tapi ia tidak memanjakan pemakainya, buku justru membawa pembaca pada petualangan-petualangan kreatif baru untuk menuntaskan pertanyaan yang belum terjawab. Buku adalah wahana permainan yang tak ada habisnya.

Karena itu, adalah langkah mandek bila komunitas kita ini masih menaruh buku dalam rak-rak berdebu. Terlebih bila meneruskan kongkow-kongkow saat ini tanpa mengajak serta buku untuk ikut andil. Yang dihasilkan nanti hanya berupa spekulasi-spekulasi acak tak berpola, hanya menghantarkan kita pada kesalahan dan kegagalan selanjutnya.

Kita, merujuk pendapat tamu besar kita belum lama ini, Taufik Ismail, adalah komunitas nol buku. Maka, ketika dia mengatakan, “Saya melihat masa depan dalam diri kalian!” sebenarnya saya miris. Saya menerjemahkan kata-kata itu sebagai sindiran. Maka, ketika kemarin saya ikut tepuk tangan bersama, itu bukan perayaan, tapi saya menamparkan telapak tangan satu ke yang lain selaku isyarat wanti-wanti, karena saya tak tega melakukannya sebagai sarkasme komunitas saya sendiri.