RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 29 Mei 2014

Doa Membawa Hadiah

Berdoa adalah kepasrahan yang men(y)enangkan

Tulisan ini akan dengan klarifikasi bahwa kabar saya dapat temus itu tidak benar. Tapi saya ingin memulai dari sedikit kelumit tentang doa.

Kemarin teman serumah saya yang paling rajin berdoa, menyapu kamar tengah, mencuci piring, dan rajin-rajin lainnya (bukan anti-pencitraan ini zul, :p) mendapatkan undian tenaga musiman ibadah haji. Saya mesti senang karena setidaknya akan ada satu jamuan makan gratis, hehe. Tapi lebih dari itu, karena dia menulis tentang doa, dan kebetulan ujian libur seminggu, saya ingin mengungkapkan uneg-uneg saya tentang ihwal yang sama.

Saya juga pernah mengalami sendiri keajaiban sebuah doa. Tentunya teman-teman juga punya pengalaman masing-masing. Meski doa tidak menjamin keberhasilan, tapi di sanalah kepasrahan terletak. Berdoa adalah kepasrahan yang menenangkan, juga menenangkan. Barangkali tidak semua doa terkabul. Tapi berdoanya saja, bagi kita, adalah kebahagiaan tersendiri. Dengan berdoa kita berlindung dari bayang-bayang obsesi buta yang tak kenal kompromi.

Manusia, seberapa pun hebatnya, akan menemukan masa dimana kelebihannya tak berfungsi, atau terbentur rintangan. Pada saat itu mereka yang terlampau bersandar pada diri sendiri akan limbung karena tak tahu harus menyandarkan kemana lagi harapan. Manusia, seberapa kuat pun hatinya, tak akan mampu selamanya bertahan dari tuntutan selalu sukses, selalu sempurna. Itulah mengapa tak sedikit orang sukses yang akhirnya gila.

Karena itu kita berdoa, kita pasrahkan semuanya. Dan uniknya kepasrahan itu mengandung optimisme. Kita percaya ada hal yang lebih efektif dari usaha, lebih mujarab dari prinsip-prinsip hidup, yang kelak menentukan hasil semuanya.

Tapi sikap pasrah ini bukan keberserahan yang murung. Itu adalah keyakinan yang menggembirakan. Terutama karena kita percaya bahwa semuanya, terlepas bagaimana hasilnya, adalah bagian dari proses yang lebih besar.

Sikap pasrah yang optimis ini. Ini adalah kebalikan dari sikap kaum eksistensialis. Mereka melihat dunia melulu sebagai kesengsaraan yang tak usai. Karena itu, menurut Camus, untuk menikmati kesengsaraan ini kita mesti berontak, terhadap segala batasan normative, plus mengonyolkan diri dengan menertawakan diri sendiri.

Sebagai muslim kita berbeda. Kita tidak melihat ketidaksempurnaan dunia dengan segala luka, air mata dan nestapanya melalui kacamata pesimis, tetapi lebih menghargainya sebagai bagian dari proses yang lebih besar. Dunia, bagi muslim adalah ladang beramal, untuk alam yang lebih utuh, dan mulia, akhirat.

Kita pasrah, tapi dalam kepasrahan itu pun kita –sebagai muslim- memiliki secercah harapan. Kita berserah, dan dalam keberserahan itu kita tersenyum.

Oh iya, tulisan ini diakhiri dengan klarifikasi bahwa saya tidak dapat temus.