RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 26 September 2012

Alasan


Aku mengerti sepenuhnya jika  terkadang (bahkan sering) aku memang terlalu banyak omong besar. Jika aku memberikan orang kesempatan untuk memberikan masukan,  mungkin banyak orang akan menganjurkan aku untuk mengurangi semua itu. Karena menurut mereka, polahku yang demikian justru bisa mempersulit diriku sendiri. Aku tahu, terkadang aku terlalu idealis. Dan logikanya, terlalu idealis itu utopis dan tidak realistis.

Kehidupan yang aku khayalkan mungkin terlalu utopis dan lebai bagi banyak orang. Aku ingin kehidupan yang besar dan penting. Aku ingin eksistensiku di dunia ini memainkan peran penting bagi dunia dan umat manusia. Aku tak mau menjalani sekedar perang pendukung. Seperti biasa, visi besar selalu mengundang reaksi pesimistis.

Nada-nada pesimis memang selalu mengiringi ritme perjalanan hidup. Tapi dalam hidup ini, kita memiliki banyak sekali  alasan untuk terus maju. Alasan-alasan itu adalah apa yang pernah terjadi dalam hidup kita dan yang sangat berkesan dalam. Kita bisa mejadikannya alasan untuk terus berjuang di samping alasan utama hidup ini, menggapai ridha Allah semata. Dan, diantara banyak alasan itu kita bisa memilih beberapa yang patut dijadikan alasan istimewa.

Alasan pertama bagiku adalah karena aku adalah seseorang yang istimewa di mata ibuku. Ibuku selalu memperlakukanku layaknya anak raja. Semua inginku selalu diturutinya sebisanya. Anehnya, Ibu juga tak pernah menuntut banyak hal dari diriku. Saat para orang tua menuntut anaknya berprestasi tinggi, beliau hanya bilang: belajarlah sewajarnya saja! Beliau cuma ingin agar aku menjadi diriku, apa adanya.

Tapi, perlakuan beliau yang bisa dibilang memanjakan itu justru membuatku berazzam, “Aku harus membuktikan bahwa aku memang istimewa”.

Alasan selanjutnya adalah karena guru mengajiku, Pak Saliman, pernah bilang: “Anak ini bisa bersaing.”

Ya, kata-kata itu selalu ku kenang. Kata-kata itu yang membuatku yakin bisa lolos ke Gontor 1, meski sainganku di Gontor 2 adalah 2000an capel, yang berasal dari sekolah-sekolah berkualitas di kota-kota besar. Sementara aku, hanya lulusan sebuah sekolah dasar yang keberadaannya sekedar formalitas di pelosok Sumatra.

Kata-kata Pak Saliman pula yang membuatku yakin bisa naik kelas meski duduk di kelas 1G (kelas ketiga paling bawah) di Gontor dulu. Akhirnya, aku malah langsung naik kelas tiga karena nilaiku di kelas satu sangat tinggi.

Alasan berikutnya adalah egoisme dan egosentrisku. Ya, karena aku terlahir bukan sebagai anak raja, bukan pula ahli waris orang kaya. Aku bukan keturunan orang penting, bukan juga putra ulama. Maka setidaknya, aku harus berbuat sesuatu yang berharga.

Sebenarnya sangat sederhana untuk menjadi orang penting dan mulia dalam hidup ini, kita hanya perlu memiliki orientasi yang mulia. Semakin mulia visi kita, semakin penting dan mulia hidup kita.

Alasan lain adalah tentang seorang sahabat. Dia yang begitu tidak beruntungnya dalam kehidupan ini. Dia yang semua kesulitannya membuat aku malu jika memutuskan berhenti. I promise I will never turn back, buddy! See you at the top!

Alasan selanjutnya, emm, oia, perkataan seseorang. Seseorang pernah mengatakan: “Antum itu orang hebat, Akh. Antum harus terus maju.”

Well, itulah sebagian alasan-alasanku. Itu semua yang membuatku selalu mengusir jauh-jauh rasa bimbang, mengubur dalam-dalam rasa ragu. Itu yang membuatku merangkai kata-kata penyemangat daripada menuliskan keluh kesahku. Itu semua yang membuatku lebih memilih untuk terus berjuang dari pada berhenti.

Lakon Penting

Dahulu sekali, saat kita belum terlahir di dunia ini, saat kita belum berbentuk sempurna, kita sudah mengucap sumpah di hadapan Tuhan. Waktu itu, kita masih berada dalam rahim ibunda, dan ruh pun baru akan ditiupkan. Sumpah itu adalah tentang kesiapan kita menjadi manusia. Sumpah itu mengenai kesombongan kita menerima sebuah amanah berat, menjadi pemimpin di muka bumi ini.

Aku bilang kita –manusia- sombong karena menerima amanah itu, mengapa? Karena malaikat yang konon makhluk suci saja tak punya nyali untuk mengatakan “iya” pada tawaran sulit ini. Mereka –para malaikat- adalah makhluk yang sudah membuktikan mampu mengemban semua amanah mereka selama ini tanpa cacat, tapi untuk tawaran ini, malaikat tahu diri. Nah, kita, manusia yang punya nafsu setan, berani-beraninya ambil resiko ini? Tapi, semuanya memang sudah tersurat demikian.

Sumpah itu, kebersediaan kita memegang amanah itu, sudah terucap. Dan sekarang kita sedang menjalaninya dalam kehidupan ini. Tapi, tak ada satu orang pun tahu seperti apa detailnya sumpah yang telah kita ucap. Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai bentuk tanggungjawabnya?

Tanggungjawab itu, Kawan, adalah tentang bagaimana membuat dunia yang lebih baik. How to make a better world. Dengan modal yang telah dianugrahkan dalam diri kita – panca indra, akal, bakat, dll- Tuhan ingin melihat apa yang bisa kita lakukan di kehidupan ini. Tuhan ingin kita menjalankan sebuah lakon dalam skenario besar milik-Nya.

Lakon itu, Kawan, demokratisnya, bisa kita pilih dengan suka-suka (mungkin itu rahasia Tuhan membuat kita “amnesia” setelah bersumpah, agar kita bebas memilih peran masing-masing semaunya). Anda boleh memilih menjadi tokoh protagonis dalam sandiwara besar ini atau sebaliknya, menjadi sang antagonis yang dibenci. Bukan itu saja, Anda juga boleh memilih untuk menjadi salah satu dari aktor utama sinema akbar ini atau lebih suka sekedar pemeran pembantu. Fantastisnya, Anda bahkan boleh memilih “gaji” yang akan anda dapatkan setelah pentas. Mau surga atau neraka?

Lihatlah, atas semua kemurahan hati Tuhan pada hamba-Nya, betapa Tuhan begitu baik hatinya pada kita sekalian!

Lalu, mengapa masih saja ada orang yang memilih menjadi pelengkap berjalannya dunia daripada menjadi penggerak utamanya? Mengapa masih ada orang yang berpikiran sempit dan memilih hidup ala kadarnya? Bukankah kesempatan sudah Tuhan buka selebar-lebarnya? Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau hendak sangsikan?

Aku tahu, karena aku sudah menemukan dengan mata kepalaku, bahwa segelintir orang berkata: “kita sudah tertakdir menjadi pelengkap, dan sebagian orang telah tercipta menjadi penggerak.”

Hei, bukankah semuanya juga telah ditentukan. Sudah tertulis di buku-Nya sana apakah aku di surga atau kau di neraka. Tapi sekarang, siapa yang tahu? Dia begitu pemurah untuk tidak membocorkan sedikitpun suratan takdir milik-Nya. Kita masih bisa memilih, Kawan.

Dan bukankah perkataan itu sama dengan perkataan seorang pencuri: “aku sudah ditakdirkan menjadi pencuri?” Kita semua tahu, Kawan, perkataan seperti itu tak bisa dikemukakan di hadapan-Nya. Wa huwa la yus’alu ‘amma yaf’al fahum yus’alun.

Karena itu, marilah kita memilih takdir kita ditulis oleh apa yang telah Tuhan anugrahkan dalam diri kita –potensi-, bukan membiarkannya rusak karena membiarkan alam, orang lain dan keadaannya mendiktenya. Mari kita berdecak kagum dengan ini, kehebatan kita, potensi kita. Karena ini adalah juga sebagian dari kebesaran yang Tuhan anugrahkan pada kita. Bukan cuma berdecak kagum dengan kebesaran Tuhan yang ada di sekeliling kita.

Mari, Kawan, bersama-sama kita kita memilih kehidupan yang besar lagi penting, hidup yang mulia serta berpengaruh. Karena itu juga yang Tuhan inginkan dari eksistensi kita di dunia ini.

God calls on us to shape our uncertain destiny (Obama)

Wanita Cantik


Sebetulnya, aku tak bermaksud menulis tentang ini. Hanya saja, ketika membaca tulisan seorang kawan dengan tema yang “menarik” ini, tiba-tiba aku tak bisa melawan godaan untuk menulisnya. Kebetulan ada faktor pendukung lain, suasana hatiku memang sedang merona merah belakangan. Jika wajah bisa merona merah darah saat malu, maka hati bisa merona merah muda kapan saja ketika asmara datang menyapa, hehe.

Bila harus diwujudkan dalam bentuk permisalan, mungkin hati ini layaknya air muka anak baru gede kemarin sore ketahuan gurunya menuliskan surat cinta, lalu diberdirikan di lapangan untuk membacakan isi surat yang amat pribadi itu lantang-lantang. Lihatlah! bagaimana kalutnya emosi sang remaja ketika euforia terhebatnya harus direcoki dengan malu, marah, kesal sekaligus takut. Begitulah ibaratnya.

Mari kembali pada laptop, eh salah, wanita cantik, hehe.

Dalam pengembaraan hidup, aku sudah banyak bertemu dengan wanita cantik. Mereka –para wanita- memang diciptakan dengan keindahan. Every woman has her own beauty. Ya, setiap wanita memiliki kecantikannya masing-masing. Kecantikan itu terletak dalam titik-titik berbeda dalam setiap wanita. Ada yang berupa pesona fisik, kecemerlangan ide, keanggunan pribadi, keunikan karakter, dlsb.

Perkara-perkara di atas bagiku termasuk kriteria “cantik”. Cantik –dalam otakku- sudah tidak lagi sekedar bermakna ortodoks, yaitu semua karakterisktik rupa seperti kulit putih, hidung mancung, bulu mata lentik, atau lainnya. Cantik dengan definisi paling akhir menurutku hanyalah dimensi terendah sebuah kecantikan, dimensi fisik. Sementara sebuah kecantikan –masih menurutku- memiliki dua dimensi lagi, intelektual dan emosional.

(Karena kecantikan adalah relatif, tentunya apa yang aku ungkapkan di sini adalah cantik dari sudut pandang subyektif seorang aku. Anda boleh-boleh saja tak sepakat dengan kriteriaku.Tapi jika Anda setuju, mari kita bersulang untuk itu! hehe.)

Kecantikan intelektual adalah bagaimana seorang wanita mampu mempesona dengan otaknya. Tapi, pesona intelektual itu bukan sekedar luasnya pengetahuan. Wanita akan terlihat cantik karena otaknya apabila keluasan wawasan juga didukung dengan orientasi kreatif dan jelas, namun tetap dalam koridor kewanitaan. Adalah penting bagi laki-laki untuk memiliki wanita yang tetap berorientasikan kewanitaan. Para lelaki menginginkan ibu untuk anak-anak mereka, pelengkap mereka, bukan rival yang selalu adu argumen dalam kehidupan berumah tangga.

Dimensi selanjutnya adalah kecantikan emosional. Dimensi ini bukan sekedar sikap murah hati, murah senyum dan rajin menabung (emangnya dasa darma, hehe). Tapi lebih pada sifat-sifat emosional yang mencerminkan kewanitaan. Bagaimana seorang wanita legowo atau memiliki jiwa besar, sabar dan tidak mudah begitu saja mengikuti perasaan dan yang lain coba tanya pada para wanita, karena merekalebih mengerti, hehe. Oia, dimensi emosional juga meliputi ranah spiritualitas. Meski dalam banyak versi sering dibedakan antara EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient), tapi aku lebih suka menggabungkannya. Karena berdasarkan penjelasan psikologis, ternyata spiritualitas termasuk kecerdasan intrapersonal yang bersama interpersonal membangun kecerdasan emosional secara komprehensif.

Demikianlah kriteria wanita cantik menurutku, hehe. Dari masing-masing dimensi ada kredit poin tersendiri. Dimensi pertama (fisik) memiliki kredit poin terendah, sementara dimensi kedua (intelektual) dan ketiga (emosional) berkredit poin seimbang sekaligus lebih tinggi dari dimensi pertama. Wanita yang cantik secara fisik saja belum bisa dijadikan prioritas untuk menjadi pasangan hidup. Karena jika kecantikan fisik yang dicari, sebentar kemudian Anda akan menyadari bahwa ada rumput tetangga yang lebih hijau.

Tidak mudah memang menjadi sosok yang ideal. Tapi aku menulis ini bukan untuk meminta wanita menjadi sempurna, namun lebih pada untuk membangun kesadaran bersama bahwa ada nilai kecantikan yang tidak melulu bersandar pada fisik.

Mengenai bagaimana menjadi pribadi yang diharapkan? Aku percaya setiap wanita memiliki rumus tersendiri. Mereka mengerti sepenuhnya bagaimana harus bertindak dan bersikap. Karena, ya, salah satunya itu tadi, mereka memiliki keindahannya masing-masing. Selain itu karena mereka telah dianugerahi Tuhan perasaan yang lebih lembut sehingga lebih peka bagaimana menjadi cantik. Tentunya mereka yang cerdas tidak hanya akan mengekplorasi kecantikan fisikal, namun juga mengerti bagaimana menjadi cantik secara intelektual dan emosional.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholihah” (al-Hadits)

Nasehat Nenek


Hari itu, perasaanku berdebam. Paginya, senangku bersayap dan terbang membubung tinggi, menembus langit ke tujuh. Keringat dingin mengkristalkan getar-getar bahagia dan tegang hatiku. Kupastikan sudah meminang pujaan hati. Kini, Vita Marshanda, resmi menjadi istriku.

Sorenya, jantungku macam tersengat listrik tegangan tinggi. Nenek meninggal tiba-tiba, tanpa sakit. Air mata yang tadi pagi karena senang gemilang, kini kembali mengucur akibat duka nestapa.

Aku membawa setangkai mawar, tapi kali ini bukan untuk istriku yang baru kemarin kunikahi. Bunga lambang cinta dan kecantikan itu aku beli tadi di toko bunga samping pemakaman umum “Masa Depan”, untuk kemudian kutancapkan di pusara nenekku.

“Pulang, Mas! Sudah malam!” Vita menggamit lenganku, mengajakku pulang. Aku rasa bukan egoisme pengantin baru saja yang mendasari ajakannya itu. Ini memang sudah hampir gelap, matahari sudah megap-megap di ufuk barat.

“Pulang saja dulu, Dek! Mas masih ingin di sini. Sekalian jamaah Maghrib dan Isya di masjid dekat sini. Selepas Isya mas sudah di rumah, ko.” Aku tersenyum, berusaha semanis mungkin. Tapi kesedihan ditinggal nenek tak bisa dihapuskan begitu saja.

“Gung, hantar mbakmu pulang! Mas masih ingin di sini,” perintahku pada Agung yang disuruh Bapak Ibu menjemputku pulang.

Mereka berdua lantas melenggang pergi. Aku kembali menatapi pusara makam nenek, terfokus pada bunga mawar yang kutancapkan tadi. Menancapkan bunga mawar di pusara adalah salah satu dari cerita-cerita nenek di sela-sela mengaji yang kuingat.

Ngger, dulu Rasulullah SAW menancapkan pelepah kurma pada kuburan seseorang. Beliau lalu bersabda, ‘semoga mereka diringankan siksaannya, selama pepepahnya belum kering.’” Ya, karena disini tidak ada pelepah kurma, maka kugantikan dengan bunga mawar merah.

Aku menguatkan diri, berusaha untuk tidak menangis. Itu juga salah satu petuah nenek yang kuingat. Musibah bisa datang dan pergi, tapi kesedihan yang diratapi hanya dengan tangisan adalah kesedihan yang tak bermartabat.

Begitulah kenangan tentang nenekku, sekaligus guru mengajiku. Menyisakan kekuatan-kekuatan yang aku juga tak mengerti berasal darimana. Tapi, tanpa bisa kujelaskan bagaimana, suara-suara nenek nampak nyata, wajahnya jelas terbayang, mengatakan petuah yang tepat sekali aku perlukan. Dia adalah nenek paling bijaksana yang beruntungnya aku miliki.

Dan, diantara seabreak petuah-petuah itu, ada satu yang paling aku kenang.

Ngger, mengalah itu bukan berarti kalah. Ngalah iku pusakane poro ksatrio.”

Nasehat itu pada awalnya tak pernah ku dengar. Maklumlah, anak kecil siapa pula yang suka mendengar nasehat. Begitu beranjak dewasapun, aku tumbuh menjadi pria keras kepala. Jangankan mengalah, menangpun tiada aku pernah puas.

Namun, selain karena nenek tak bosan-bosannya mengulang nasehat itu, kehidupan juga mengajariku sedikit demi sedikit tentang kesaktian petuah itu.

Pitak di kepalaku ini, yang tak tumbuh rambut sampai sekarang, ya akibat melanggar nasehat itu. Waktu kelas 4 SD aku nekat meninju muka seorang anak kelas 6 karena mengambil paksa bakwan milikku. Emosiku memuncak padahal aku masih punya uang jajan lebih. Tak pelak, kepalakupun bocor karena dia membalas dengan hantaman batu sebesar kepalan tangan.

Waktu SMP, kasus mirip terulang lagi. Aku dikeroyok anak-anak geng sekolah. Penyebabnya sederhana, aku tak terima di tekel dari belakang waktu pertandingan futsal. Aku balas menendang lawan mainku, Beni Esoknya, habislah aku dikeroyok Beni dan komplotannya. Akibatnya fatal, selain luka-luka lebam, ususku mengalami pendarahan. Untung masih bisa diobati setelah opname dua minggu di rumah sakit.

Menginjak dewasa, salah satunya karena trauma akibat kejadian di atas, pelan-pelan aku belajar menahan ego. Dan, kalian tahu, apa akibatnya?

Saat menjemput adikku dari Ponorogo pulang ke Jogja lewat Wonogiri, marahku sudah di ubun-ubun. Pasalnya, Toyota Avanzaku yang baru dua bulan keluar dealer, diserempet dan ditelikung sebuah Honda Jazz dari belakang. Mobilku sempat keluar jalan. Untungnya ada sedikit tanah lapang di sisi jalan. Aku lantas mencak-mencak, bernafsu mengejar mobil tadi lalu menghajarnya. Tapi Nenek memintaku istirahat sejenak, shalat dua rekaat mohon keselamatan di perjalanan. Akupun menurut.

“Sudah ngger, sing penting selamet!” Ujarnya.

Setelah suasana mereda, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa ratus meter dari situ kerumunan orang berkumpul di tepi jurang. Setelah mencari tahu apa yang terjadi, aku mendapati kabar sebuah Honda Jazz merah terperosok jurang.

Ada lagi kasus perebutan tender sebuah lahan batubara di Bengkulu. Aku sudah mencium bau-bau tak sedap konspirasi. Aku dicurangi. Sebenarnya cara klasik, pemenang tender membayar berapa ratus miliar kepada pemerintah. Bukti-bukti sudah aku kumpulkan. Tapi saat hendak mengajukan ke pengadilan. Tiba-tiba aku teringat nasehat nenekku.

“Orang lain nggak akan mengambil rezeki kita, Ngger!” Dan kali ini, akupun mengalah.

Ternyata, selang beberapa waktu setelah itu. Perusahaan tambang itu gulung tikar. Batubara yang diisukan berlimpah, ternyata cuma ada sedikit kelumit di bawah permukaan tanah. Selebihnya, hanya batu cadas dan batu bara muda yang baru bisa dipanen puluhan tahun lagi. Dan lagi, penduduk pribumi banyak yang tidak terima karena lingkungan mereka dirusak. Aksi sabotase pun sering terjadi. Alhasil, belum juga perusahaan meraup untung, mereka terpaksa menghentikan operasi penambangan.

Tapi, diantara semua mengalah yang pernah aku lakukan. Merelakan cinta gadis yang kucintai adalah yang paling berat.

Gadis itu sudah seperti aku versi wanita saja, semuanya begitu sama. Melihatnya, seperti memandang diriku sendiri di cermin. Jalan pikiran, karakter, bahkan cara jalannya yang gontai dan acuh mirip sekali dengan aku. Bola mata yang hitam dengan lirikan tajam seperti elang gurun, cerocos lugas tanpa tedeng aling-aling, tapi juga diam sambil curi-curi lirik macam kucing mengintai ikan kala berada di komunitas baru, semua itu benar-benar aku. Hingga akhirnya aku berpikir, dia memang tercipta untukku.

Tapi, Kawan. Wanita memang makhluk paling aneh. Menjelaskan bagaimana logika mereka berjalan sama rumitnya dengan menerangkan bagaimana mekanika alam semesta. Dulu, hukum gerak Newton seperti menjelaskan semuanya, tapi lantas runtuh dengan datangnya teori relatifitas Einstein. Namun teori Einstein juga mandeg di beberapa kasus. Seperti itulah, berputar-putar. Rumit, dan tak terduga.

Bahkan, wanita yang menyadari sepenuhnya apa yang kita pikirkan tentang dirinya, dan juga mempunyai persepsi sama tentang diri kita, masih saja tak sudi menerima kita. Dia lebih memilih orang lain yang aku anggap tak lebih baik dari diriku.

Hatiku hancur bukan kepalang, hampir saja aku kalap karenanya. Tapi, lagi-lagi, nasehat nenek mendinginkan suasana.

Ngger, orang yang baik itu untuk orang yang baik juga. Jadi, orang yang nggak mengerti kehebatanmu, memang tak pantas untukmu.”

Aku lagi-lagi mengalah, meskipun sakit hatinya seperti tak akan bisa disembuhkan. Hingga aku bertemu Vita, istriku sekarang, dan hilang sudah semua duka lara itu. Vita begitu sempurna sebagai pelengkap diriku. Dan kini, aku tak pernah menyesal kehilangan cinta-cinta semuku.

Vita memang bukanlah refleksi diriku. Di beberapa sisi, kami justru bertolak belakang. Tapi justru karena itu, dia adalah missing link-ku. Dia melakukan pekerjaan yang tak bisa ku tangani. Ketenangannya mengimbangi ketergesa-gesaanku, wibawanya menentramkan jiwa berontakku, kesabarannya mendinginkan nafsu amarahku.

Kemudian, karena aku merasa sudah waktunya untuk menikah –usiaku sudah 27-, juga karena tabungan dari gajiku selama ini sudah lumayan, aku memutuskan untuk meminangnya. Alasannya, akan sulit menemukan orang seperti Vita yang menerimaku apa adanya. Apalagi nanti jika aku semakin sukses. Meskipun, itu artinya aku harus menunda janjiku pada nenek. Dulu, aku berjanji padanya bahwa membiayai nenek naik haji adalah pekerjaan yang pertama kali aku lakukan jika tabunganku cukup.

“Nek, Rafi minta maaf. Rafi izin untuk menikah dulu, baru tahun depan nenek akan Rafi daftarkan haji,” pintaku mengiba kala mohon restu nenek.

Aku tahu nenek sangat ingin naik haji. Dan karena ku tahu Bapak-Ibu tak mungkin bisa membiayainya, aku lantas berjanji akan mendaftarkan beliau naik haji begitu aku mampu. Meskipun nenek tak pernah meminta itu padaku.

“Ngger, kamu nggak perlu mempersulit dirimu dengan janji-janjimu. Kalau rezeki nenek naik haji, biayanya bisa datang dari mana saja.” Begitu respon nenek dulu kala aku berikrar di hadapannya. Tapi aku tetap saja ngotot bahwa aku pasti akan membiayai nenek naik haji.

Lantas, ketika aku meminta izin menunda janjiku itu, nenek juga kembali hanya tersenyum dengan jawaban sangat singkat.

“Iya, nggak apa-apa, Ngger.”

Seminggu kemudian pernikahanku dilangsungkan. Meskipun nenek sudah tua, nenek tetap giat membantu acara hajatan. Beliau berbaur dengan ibu-ibu muda mengurusi tetek bengek perdapuran. Kondisi fisik nenek memang sangat prima meski sudah berusia 65 tahun. Bahkan ibuku yang berumur 47 tahun lebih sering sakit-sakitan daripada nenek.

Aku yang sedang dilanda euforia cinta tentu saja tak sempat berpikir mengenai keadaan nenek. Fokusku tercurah pada bagaimana melafalkan ijab kabul dengan benar. Jangan sampai, salah satu momen paling sakral ini malah membuatku malu.

Akhirnya, semuanya berjalan lancar. Aku mengucap akad denga fasih, berbahasa Arab pula.

“Qabiltu nikâhaha bi mahrin madzkûr, hâlan.” Lalu hadirinpun serentak berkata, “Sah, sah.”

Aku sangat gembira, kakiku seperti tak menginjak tanah, atau layaknya penerjun payung berterbangan di udara. Hingga malam harinya, aku menemukan nenek terduduk di kursi. Tak biasanya nenek begitu, akupun membangunkannya. Dan ternyata, ketika aku berusaha membangunkannya, nenek malah roboh ke lantai. Innalillahi wa inna ilaihi râji’ûn, nenek wafat.

Nenek telah pergi, membawa serta mimpinya tertinggi, naik haji. Juga bersama pusakanya, jiwa besar untuk mengalah. Sedangkan aku, untuk pertama kalinya semenjak dewasa, aku tak mampu melawan egoku. Akankah setelah ini Tuhan akan menghukum keegoisanku?

Jumat, 21 September 2012

Lakon Penting



Dahulu sekali, saat kita belum terlahir di dunia ini, saat kita belum berbentuk sempurna, kita sudah mengucap sumpah di hadapan Tuhan. Waktu itu, kita masih berada dalam rahim ibunda, dan ruh pun baru akan ditiupkan. Sumpah itu adalah tentang kesiapan kita menjadi manusia. Sumpah itu mengenai kesombongan kita menerima sebuah amanah berat, menjadi pemimpin di muka bumi ini.
Aku bilang kita –manusia- sombong karena menerima amanah itu, mengapa? Karena malaikat yang konon makhluk suci saja tak punya nyali untuk mengatakan “iya” pada tawaran sulit ini. Mereka –para malaikat- adalah makhluk yang sudah membuktikan mampu mengemban semua amanah mereka selama ini tanpa cacat, tapi untuk tawaran ini, malaikat tahu diri. Nah, kita, manusia yang punya nafsu setan, berani-beraninya ambil resiko ini? Tapi, semuanya memang sudah tersurat demikian.

Sumpah itu, kebersediaan kita memegang amanah itu, sudah terucap. Dan sekarang kita sedang menjalaninya dalam kehidupan ini. Tapi, tak ada satu orang pun tahu seperti apa detailnya sumpah yang telah kita ucap. Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai bentuk tanggungjawabnya?

Tanggungjawab itu, Kawan, adalah tentang bagaimana membuat dunia yang lebih baik. How to make a better world. Dengan modal yang telah dianugrahkan dalam diri kita – panca indra, akal, bakat, dll- Tuhan ingin melihat apa yang bisa kita lakukan di kehidupan ini. Tuhan ingin kita menjalankan sebuah lakon dalam skenario besar milik-Nya.

Lakon itu, Kawan, demokratisnya, bisa kita pilih dengan suka-suka. Mungkin itu rahasia Tuhan membuat kita “amnesia” setelah bersumpah, agar kita bebas memilih peran masing-masing semaunya. Anda boleh memilih menjadi tokoh protagonis dalam sandiwara besar ini atau sebaliknya, menjadi sang antagonis yang dibenci. Bukan itu saja, Anda juga boleh memilih untuk menjadi salah satu dari aktor utama sinema akbar ini atau lebih suka sekedar pemeran pembantu. Fantastisnya, Anda bahkan boleh memilih “gaji” yang akan anda dapatkan setelah pentas. Mau surga atau neraka?
Lihatlah, atas semua kemurahan hati Tuhan pada hamba-Nya, betapa Tuhan begitu baik hatinya pada kita sekalian! 

Lalu, mengapa masih saja ada orang yang memilih menjadi pelengkap berjalannya dunia daripada menjadi penggerak utamanya? Mengapa masih ada orang yang berpikiran sempit dan memilih hidup ala kadarnya? Bukankah kesempatan sudah Tuhan buka selebar-lebarnya? Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau hendak sangsikan?

Aku tahu, karena aku sudah menemukan dengan mata kepalaku, bahwa segelintir orang berkata: “kita sudah tertakdir menjadi pelengkap, dan sebagian orang telah tercipta menjadi penggerak.”

Hei, bukankah semuanya juga telah ditentukan. Sudah tertulis di buku-Nya sana apakah aku di surga atau kau di neraka. Tapi sekarang, siapa yang tahu? Dia begitu pemurah untuk tidak membocorkan sedikitpun suratan takdir milik-Nya. Kita masih bisa memilih, Kawan. 

Dan bukankah perkataan itu sama dengan perkataan seorang pencuri: “aku sudah ditakdirkan menjadi pencuri?” Kita semua tahu, Kawan, perkataan seperti itu tak bisa dikemukakan di hadapan-Nya. Wa huwa la yus’alu ‘amma yaf’al fahum yus’alun.

Karena itu, marilah kita memilih takdir kita ditulis oleh apa yang telah Tuhan anugrahkan dalam diri kita –potensi-, bukan membiarkannya rusak karena membiarkan alam, orang lain dan keadaannya mendiktenya. Mari kita berdecak kagum dengan ini, kehebatan kita, potensi kita. Karena ini adalah juga sebagian dari kebesaran yang Tuhan anugrahkan pada kita. Bukan cuma berdecak kagum dengan kebesaran Tuhan yang ada di sekeliling kita.

Mari, Kawan, bersama-sama kita kita memilih kehidupan yang besar lagi penting, hidup yang mulia serta berpengaruh. Karena itu juga yang Tuhan inginkan dari eksistensi kita di dunia ini.
God calls on us to shape our uncertain destiny (Obama)