RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 15 Oktober 2010

Energi Positif Ramadhan

Jujur saya katakan, ramadhan selalu menjadi bulan yang spesial buat saya. Saya pribadi merasa jika hawa selama bulan ramadhan berbeda dari bulan-bulan yang lain, seperti ada aura lain dari bulan ini.
Secara puritan, kita hanya tahu bahwa ramadhan adalah bulan yang mulia. Doktrin seperti itu memang tak salah jika kita yakini, karena pada hakikatnya benar tidaknya sesuatu selalu berbanding lurus dengan seberapa besar keyakinan kita. Bahkan Al quran membedakan antara orang yang beriman (yakin) dan tidak beriman (tidak yakin).
Namun sebagai manusia berakal, sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan mengapa ramadhan itu menjadi mulia dilihat dari sisi ilmu pengetahuan. Meskipun kita tidak akan perrnah mengetahui semua rahasia tentang itu, namun bagaimanapun keyakinan yang berdasar (ittiba’) jauh lebih kuat daripada yakin karena doktrin (taqlid).
Akhir-akhir ini ada sekelompok ilmuwan yang tergabung dalam neotic science melakukan penelitian mengenai mitos-mitos dari sudut pandang science. Mereka mencoba menemukan missing link yang menghubungkan hal-hal yang selama ini cukup kita yakini dengan fakta-fakta ilmiah. Dan dari beberapa hal yang berhasil mereka simpulkan, ternyata luar biasa.
Salah satu contoh adalah kesimpulan mereka bahwa pikiran mempunyai masa, dan berat masa pikiran tergantung pada konsentrasi. Gampangnya, semakin fokus seseorang, semakin berat masa pikirannya. Dan semakin banyak orang yang berkumpul dalam suatu ruangan berkonsentrasi dalam satu hal semakin berat pula masa pikiran tersebut. Dan semakin berat masa pikiran, semakin besar pula efeknya bagi alam nyata.
Di bulan ramadhan, kita menyaksikan banyak masjid penuh sesak dengan jamaahnya. Semua individu berkonsentrasi sehingga masa pikiran mereka pun menjadi berat, hal itu berefek pada memancarnya energi positif sehingga suasana ramadhan dipenuhi deangan aura positif.
Dalam bulan ramadhan ada suatu malam bernama lailatul qadr, dan selama ini kita hanya tahu bahwa malam lailatul qadr lebih baik dari seribu bulan dan konon doa pada malam itu pasti dikabulkan.kita harus mengajukan pertanyaan mengapa malam lailatul qadr lebih baik dari seribu bulan?
Al Quran selalu menarik untuk dibahas, Dalam hal ini al Quran memberi porsi tersendiri bagi pembahasan Lailatul Qodr dengan adanya satu surat yaitu Al Qodr. Dan jawaban dari pertanyaan diatas tercantum dalam surat ini. Diawali dengan pernyataan bahwa Al quran diturunkan pada lailah qodr, kemudian berlanjut deangan pertanyaan yang menggelitik keskeptisan pembaca: Wa maa adraa ka maa lailatul qodr? Dilanjutkan dengan keterangan bahwa lailatul qodr itu lebih baik dari seribu bulan. Kemudian beranjak pada jawaban pertanyaan tadi: tanazzalulmalaikati warruhu fiiha biidzni robbihim min kulli amrin. Salamun hiya hatta mathla’i alfajr.
Karena pada malam itu turunlah malaikat-malaikat yang turut berdoa, sehingga energi positif itu bukan hanya dari manusia tetapi juga berasal dari malaikat-mailaikat yang memenuhi langit dan bumi ketika malam itu. Bisa dibayangkan kumpulan masa dari pikiran semua yang berdoa tersebut, tentunya amat berat sehingga efeknya di dunia nyatapun amat besar. Seehingga barangsiapa berdoa di malam itu, kemungkinan besar akan terijabah.
Saya mengalami pengalaman pribadi mengenai dua ramadhan yang telah saya lalui. Dari dua ramadhan yang bertepatan dengan tahun lalu dan tahun sebelumnya itu saya mendapatkan pelajaran. Betapa apa yang kita lakukan selama ramadhan ternyata menggambarkan perjalanan hidup kita setahun kedepan.
Ramadhan dua tahun lalu, saya begitu bersemangat untuk beribadah. Hampir setiap malam saya lalui dengan qiyamullail. Intinya, pada bulan ramadhan itu saya berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan ibadah saya. Ramadhan yang satunya tahu lalu, saya tidak terlalu bersemangat untuk beribadah. Ibadah yang saya lakukan hanya sekedarnya.
Dari dua ramadhan yang berbeda itu saya mendapatkan pelajaran, betapa hidup saya secara umum setelah ramadhan pertama begitu damai, seolah banyak keajaiban terjadi yang memudahkan hidup saya. Sedangkan setelah ramadhan kedua (tahun ini), saya merasa banyak cobaan berat yang harus saya lalui, seperti tiada henti kesulitan menghampiri. Semua itu menjaddi pelajarran buat saya agar ramadhan saya berikutnya khususnya tahun ini harus lebih baik dari sebelumnya.

Ke Mesir, Apa yang Kau Cari?

“Tapi pak, kita kan tidak harus jadi ulama nantinya! Kita bisa jadi pengusaha, politisi, anggota dewan, dll,” seloroh seseorang penuh semangat. Dari nada bicaranya, sepertinya orang ini sangat terobsesi untuk menjadi politisi, politikus, atau apalah semacamnya.
Orang yang diajukan kepadanya pernyataan setengah pertanyaan ini kemudian tersenyum, dan kemudian dengan tenangnya menjawab:
“lha memangnya kamu sekolah disini mau jadi apa? Kalau mau jadi camat ya sekolah aja di STPDN, kalau mau jadi pejabat ya masuk STAN, kalau mau jadi politisi kuliah fakultas politik di UGM.” Jawaban itu begitu menghentak seisi ruangan.
Hmm, yang bertanya adalah salah satu mahasiswa yang juga merupakan salah satu “pejabat” dalam dinamika politik masisir. Sedangkan yang menjawab adalah bapak A.M. Fakhir, duta besar berkuasa penuh republik Indonesia untuk republik arab mesir.
Menilik jawaban pak dubes, seharusnya pernyataan itu menjadi cambuk penyadar kita. Bahwa jauh disana, ada orang-orang yang lebih piawai dari kita jika berurusan dengan masalah bisnis, politik, dll, karena mereka memang dicetak untuk itu. Sedangkan kita, seharusnya mengusai bidang kita karena kita memang dicetak untuk hal berikut, menjadi orang yang mengetahui agama. Dan yang perlu ditekankan, bidang kita adalah bidang yang mulia, bukan hanya di dunia, di akhiratpun kemuliaan itu sudah terjamin adanya.
Tak ada salahnya berbisnis, belajar keorganisasian, atau bahkan menjadi “politisi gadungan” di bumi kinanah ini. Apalagi Al azhar seolah memberikan toleransi seluas-luasnya dengan peraraturan kuliah yang terkesan kendor. Namun yang perlu digaris bawahi tentu saja pertanyaan diatas, apa yang kau cari disini?
Meskipun tidak menafikkan kemungkinan lain untuk berkecimpung di berbagai bidang selepas kuliah usai, namun tujuan utama kita merantau jauh ke negri orang adalah untuk ber tafaqquh fiddin. Ya, untuk belajar agama.
Liyatafaqqohuu fiddin waliyundziru qoumahum idza rojau ilaihim laallahum yadzaruuna.
Untuk memperdalam ilmu agama agar mereka mengingatkan kaum mereka agar mereka dapat menjaga diri.
Sehingga kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan kebutuhan primer kita ini harus masuk barisan terdepan dalam skala prioritas. Yang lainnya, bagaimana kita mengatur waktu supaya jangan sampai yang sekunder mengalahkan otoritas primer. Jangan sampai urusan eksternal kita diluar belajar, dijadikan alasan untuk menutupi kegagalan belajar kita.
Belajar memang bukan hanya di bangku kuliah, namun bukankah orang tua membiayai kita hingga sejauh ini masih untuk ruang lingkup pembelajaran yang konotasinya akademis. Dan bukankah jika kita rosib, tetap saja konotasinya “kita tidak belajar” dengan benar. Sampai disini ulasannya, mengenai bagaimana menyikapinya, saya serahkan kepada pembaca sekalian bagaimana menyiasatinya.