RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 26 Desember 2011

Pahlawan Tangkas, Buku pertamaku



“Minggir! Awas, kena bola!” Kemudian sisa-sisa pecinta bulu tangkis pun benar-benar minggir, benar-benar ke pinggir sampai di rel kereta api dan bermain di sana. Untuk selanjutnya berlari tunggang langgang menyelamatkan diri jika datang sang pemilik jalan, kereta api. Tanpa sempat menyelamatkan kok yang jatuh di tengah rel, dan mendapatinya sudah hancur ketika kereta sudah berlalu. Tak ada salahnya bermain bola, namun kita harus tetap menghargai bulu tangkis. Mempertahankan kejayaannya. Jangan sampai kita seperti layaknya pepatah: mengharapkan hujan turun, air di tempayan ditumpahkan.

Bagi yang berminat, ini link situs untuk pemesanan
http://www.leutikaprio.com/produk/10041/novel/1112384/pahlawan_tangkas/11102490/kurniawan_saputra

Rabu, 14 Desember 2011

Menyebarkan Kebaikan

“ Kamu masih menulis kan?” tanya seorang teman.



Haha, tentu saja, menulis adalah caraku untuk hidup selain makan dan minum, batinku. Entah kenapa semenjak aku sering menulis aku merasa semakin hari menjadi semakin baik. Alhamdulillah untuk ini dan terimakasih untuk orang-orang yang membantu. Dari tulisanku aku menemukan orang-orang yang memiliki semangat yang sama maka aku merasa satu perjuangan dan tidak sendiri di dunia ini. Aku juga mendapatkan suplai semangat tambahan dari komentar-komentar mereka yang inspiratif. Dari menulis aku merasa berharga dan hidup.



Sungguh, manusia tidak selalu bisa menjadi baik. Dan tidak selamanya bisa memotivasi dirinya sendiri. Ada kalanya sisi buruknya lebih dominan. Sehingga, adalah kewajiban kita sebagai manusia untuk saling mengingatkan yang lainnya bila lalai.



Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran ( Al Ashr 1-4)



Dalam ayat diatas disebutkan bahwa kita harus saling nasehat menasehati dalam kebaikan.



Manusia memiliki nurani yang secara naluriah dari Tuhan selalu baik. Sehingga setiap orang dari kita, seburuk apapun, pasti memiliki sisi baik. Kebaikan tersebut bermacam-macam. Beragam bentuk di setiap orang. Di sisi lain, manusia juga punya hawa nafsu yang selalu membisikkan kejahatan di setiap detak nadi. Karenanya pula manusia, sebaik apapun, mempunyai sisi buruk dan bentuknyapun berbeda dalam satu manusia dengan manusia yang lain. Percampuran antara kebaikan dan keburukan itulah yang membentuk pribadi seseorang. Dan pertarungan sisi baik dan buruk itu yang menyebabkan ketidakonsistenan pikiran, emosi, dan tindakan kita.



Allah swt berfirman dalam Al Qur’an yang artinya;



Kalian adalah sebaik-baik umat yang di lahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah.” (ali imran: 110)



Karenanya, aku ingin selalu menulis. Mengungkapkan apa adanya diriku. Baik buruknya, semuanya. Agar dipetik manfaatnya bila baik, sekaligus agar diingatkan dan diperbaiki bila salah. Banyak dari kita yang terlalu takut untuk itu. Kita memiliki kebaikan namun menyimpannya untuk diri sendiri, membiarkan orang lain bekerja keras menemukan cara berhasilnya sendiri. Padahal, bukankah dengan saling berbagi kita akan lebih mudah menuju keberhasilan yang sama.

Semua orang punya cerita keberhasilan. Semua orang punya karakter unik. Mengapa tidak kita eksplorasi hal itu? Bukankah manfaatnya akan lebih besar bila diketahui lebih banyak orang, diteladani kemudian ditiru. Bukankah kita akan mendapatkan amal jariyah dari perbuatan baik yang kita tanam?



Ada yang berpendapat bahwa mengabarkan yang baik-baik dari diri sendiri adalah riya, benih kecil syirik yang dosanya tak terampuni. Mungkin paradigma ini yang membuat banyak orang lebih memilih diam atau berkata;



“ Ah, ana ga bisa apa-apa ko.” Ketika ditanya rahasia keberhasilannya. Bukankah akan lebih baik bila jawabannya adalah;



“ Allah memerintahkan kita untuk bekerja keras, istiqomah, dengan lebih dahulu memperbaiki niat.”



Hati kita adalah sepenuhnya milikNya, Allahlah yang lebih tahu apa yang kita niatkan dan terbersit di hati kita. Maka berbagi kebaikan tak selamanya mengarah kepada riya, karena Allah swt juga berfirman yang artinya;



Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya ( Ad Dhuha 11)



Untuk itu, marilah kita mempercerdas niat demi manfaat yang lebih besar.

Galau

Begitulah cinta, deritanya tiada akhir.



Kali ini aku tidak sedang menyitir quote-quote orang hebat. Kalimat diatas hanya kalimat yang sering diucapkan oleh Pat Kay, kakak kedua dari rombongan para pencari kitab suci ke barat, dalam cerita masyhur legenda agama Budha. Kemungkinan edisi filmnya sudah mendapatkan ‘intervensi’ penulis skenario atau sutradara sehingga kalimat diatas hadir begitu sering.



Well guys, im gonna talk about love. Are you interested in?



Sering aku mendengarkan cerita cinta teman-temanku, dalam hal ini mereka yang bermain hati di luar nikah. Entah itu pacaran, TTM, hubungan tanpa status, LDR ( kalau kata raditya dika Long D*** Reduction), dan status status tak resmi lainnya.



Kebanyakan (sebenarnya aku ingin menulis semuanya) cerita itu berakhir sad ending. Bahkan prosesnyapun rumit, berbelit, melelahkan, penuh lika-liku. Ko kayak jalan ya? Hehe. Memilukan, menyedihkan, mengenaskan, dan yang paling pasti, penuh kegalauan. Anyway, aku cuma ingin bilang kalau hubungan seperti itu lebih banyak sisi negatifnya.



“ Kalau melihat kegalauan mereka yang berpacaran, rasanya aku bersyukur menjadi jomblo.” Komentar seorang jombloer melihat nasib mereka, orang orang yang mengatasnamakan pejuang cinta, yang ibarat orang sekarat, hidup segan mati tak mau.



Im not saint, aku tak sedang menghakimi mereka yang terjebak dalam labirin perasaan. Aku juga pernah merasakan peliknya polemik hati. Beberapa kali aku dikecewakan orang. Ketika mengalami hal tersebut, aku merasa aku adalah orang paling menderita di dunia ini. And life seems like has no justice anymore. But, tak usah terlalu mendramatisir, everybody’s hurt. Ada kalanya hal-hal demikian terjadi tanpa ada niatan dari masing-masing pihak untuk menyakiti. Akupun yakin ada kalanya aku atau sikapku menyakiti hati orang lain, meskipun aku mungkin tak sadar melakukan hal itu.



Namun, setelah beberapa kali mengalami demikian, juga dengan melihat pengalaman teman-teman. Marilah kita kembali pada logika agama dalam hal ini. Islam, sebagai agama rahmatan lil’alamin sudah memberikan jawaban atas setiap persoalan dunia. Dan jawaban islam untuk kasus ini adalah menikah.



Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat.´(HR. Bukhari dan Muslim)



Yang aku simpulkan bahwa memang apa yang ditawarkan islam untuk hubungan pria-wanita adalah bentuk terbaik. Memang tak selayaknya kedua belah pihak berhubungan dengan nama apapun di luar ikatan resmi, yaitu menikah. Diluar nikah, seseorang melampiaskan perasaannya dalam batasan yang abu-abu, tidak jelas. Batasan itu terkadang tanpa disadari mereka langgar karena keterikatan batin. Bersamaan dengan berjalannya waktu, keterkaitan perasaan dan saling ketergantungan itu semakin dalam hingga membuat batasan batasan tadi semakin hari semakin samar dan tak berarti. Dan ketika batasan batasan itu dilanggar, kita sudah masuk dalam muqaddimah zina, salah satu dosa besar. Naudzubillah min dzalik.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah dengan memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan, lalu farji (kemaluan) yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari & Muslim).



Pacaran atau apapun itu yang merupakan hubungan saling bertautnya hati dalam ikatan tak resmi hanyalah pelampiasan nafsu dari ketidakmampuan seseorang untuk bertanggungjawab atas cintanya. Karena jika kita sudah mampu, seharusnyalah menikah. Namun bila belum mampu, berpuasa akan menjadi pelindung terbaik. Serta jagalah pergaulan kita dengan tidak membiarkan kita jatuh kedalam keterkaitan perasaan yang akan selalu dalam.

Selasa, 27 September 2011

Keep Kicking !

Saya melihat ada kemiripan antara hidup dengan bermain sepakbola. Seperti sepakbola yang memiliki rumus besar “bola itu bundar” dalam artian kita tak pernah bisa memastikan hasil akhir sebuah pertandingan, hiduppun seperti itu, penuh dengan kejutan.
Terkadang kita mendapati fakta aneh bahwa perjalanan kita begitu berbeda dari perencanaan-perencanaan kita sebelumnya. Terjadi kebetulan kebetulan yang sebetulnya tidak terjadi karena kebetulan. Tetapi merupakan efek domino dari hal hal kecil yang terjadi di luar rencana kita. Itulah campur tangan Allah. Itulah sunnatullah.
Allah swt berfirman;
“ Dan tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi, tidak pula yang terjadi atas diri kalian, kecuali sudah tertulis dalam kitab”
Seperti permainan sepakbola, seorang pemain terkadang tak menyangka akan bisa menyarangkan gol ke gawang. Tapi ketika datang bola muntah tepat di kakinya ketika gawang kosong, ia akan belajar mengerti bahwa dalam bermain ia hanya perlu terus bergerak mencari ruang kosong.
Pun begitu dalam hidup, kita tak pernah tahu keberuntungan apa yang akan kita dapat di masa depan. Kita benar benar tidak tahu. Karena semua itu tertutupi oleh kungkungan misteri waktu. Dan Allah tidak akan membuka tabir misteri ghaib itu kecuali sedikit saja. Dengan sebagian besar tetap tidak bisa kita raba.
Seperti yang tersurat dalam firman Allah;
“Dan kalian tidak diberi pengetahuan (tentang hal ghaib) kecuali sedikit saja.”
Dengan ketidaktahuan kita itu, ternyata kita hanya perlu melakukan hal yang sederhana, sangat sederhana. Terus berjalan di jalan kita meski tertatih, terus berusaha melakukan yang terbaik meski berat, terus membuat kemungkinan kemungkinan baru meski sepertinya mustahil. Mudahnya, kita hanya perlu untuk berusaha dan mencoba.
Allah swt berfirman dalam ayat lain yang artinya;
“Sesungguhnya manusia tidak memiliki apa-apa kecuali usahanya, dan sesungguhnya (hasil) usahanya akan diperlihatkan.”
Mencoba sebenarnya adalah usaha untuk membuka tabir misteri takdir yang dikungkung sang waktu. Dengan mencoba, kita akan mengetahui apakah usaha kita gagal atau berhasil. Jikapun gagal, kita menjadi lebih mengerti mengapa kita gagal dan semakin dekat dengan keberhasilan. Tanpa mencoba, kita tidak akan pernah berhasil. Karena selamanya takdir kita akan tertutup tabir ghaib.
Selamanya orang tidak akan bisa menjelaskan bagaimana takdir itu. Namun karena sama-sama tidak bisa ditebak, bagi saya takdir ibarat sebuah bola. Kita tidak pernah tahu pasti kemana arahnya, namun kita hanya perlu menggerakkannya ke arah yang kita inginkan. Dan jadilah rumus sederhana untuk menjalankan hidup ini, kita hanya perlu menendang bola kita. All we need is just to keep kicking !
Lalu biarlah hal hal lain memainkan peran dalam hidup kita. Biarlah Allah memberikan kejutan kejutan hebatNya.

Sabtu, 30 Juli 2011

Cintaku, Prinsipku

Pyuh, akhirnya kuhempaskan badanku pada kursi bus. Setelah berjalan lumayan jauh dari rumahku di daerah Saqor menuju pertigaan mutsallast, berdiri sekitar 15 menit menunggu bus, rasanya kaki ini berhak untuk diistirahatkan barang sebentar. Dan lagi pundak dan punggung inipun ingin sejenak melepas beban berat tas punggungku.



Pukul 13.45, jarum di jam tanganku menunjukkan waktu saat ini. Siang ini cuacanya lumayan sejuk untuk ukuran musim panas, 38 derajat celcius. Dengan rata-rata suhu beberapa hari ini berkisar di angka 39,40,41,42 derajat celcius. Hari ini adalah hari terdingin. Mungkin karena musim panas akan segera menghilang. Namun tetap saja panas, apalagi di dalam kotak besi rongsok bermesin ini. Sifat konduktifitas besi membuat panas terkonsentrasi dalam bus ini. Ditambah dengan panas tubuh yang dikeluarkan dari 30 sosok manusia di bus mini ini. Pengap adalah hasil akhirnya.



Kuhela nafasku dalam-dalam tanda puas setelah berhasil memenangi perebutan sebuah kursi panas dengan para sainganku, tubuh-tubuh tambun pria mesir. Kalian boleh lebih kekar, tapi kali ini aku lebih gesit, batinku.



Kutoleh kesamping kanan, di sebelah jendela bus seorang pemuda mesir terlihat asyik mengayun ayun kan kepalanya. Headset besar yang menutupi telinganya mungkin telah membuatnya tak sadar. Suara paraunya terlalu keras dan amat buruk untuk dinikmati.



I want it that way, lagu hit Backstreet Boys. Hmm, globalisasi memang telah merasuk ke semua sendi kehidupan di daerah manapun di muka bumi ini. Tak terkecuali Mesir, negeri yang diklaim pribuminya sebagai Ummuddunya, ibu bagi peradaban-peradaban dunia. Di satu sisi lantunan ayat suci Al Qur’an masih banyak terdengar di toko-toko, masjid-masjid masih lumayan ramai jika dibandingkan dengan suasana surau-surau di Indonesia. Namun disisi lain, lagu-lagu musisi barat mulai menggantikan posisi lantunan ayat qur’an dalam playlist-playlist mp3 pemuda-pemudi. Modis pakaianpun ikut terwarnai. Meskipun sebagian besar kaum wanita masih berjilbab, tapi sebagian besar pula pemudi mengenakan baju yang modifikasinya menunjukkan lekuk tubuh mereka. Sementara baju lebar khas mesir semakin sedikit pemakainya, semakin terkhusus bagi ibu-ibu yang berusia lanjut. Inilah yang terjadi di Kairo, miris.



Saat kutolehkan kepalaku kesebelah kiri, seorang wanita asia tampak berdiri menghadap ke depan. Sepertinya aku kenal,



“ Elisya!” teriakku spontan setelah memastikan bahwa wanita itu adalah orang yang kumaksud. Wanita itupun menoleh, meskipun bercadar, aku bisa melihat matanya menyipit tanda ia tersenyum dan berucap:



“ Salamualaikum Akh!”



“ Waalaiksalam,” jawabku. Jiwa kelaki-lakianku membuatku merelakan tempat dudukku yang nyaman itu.



“ Tafaddhol [1]Lis, duduk aja!”



Wanita itu adalah Elisya Wardah, teman satu kelasku dulu di pondok An Nur, di pedalaman jawa tengah. Dahulu kami adalah rival, posisi terbaik di marhalah selalu menjadi giliran. Terkadang aku, kali lain dia. Dan di akhir tahun ajaran, aku boleh berbangga karena akulah yang menjadi pemenang secara kumulatif.



“ Mau kemana lis?” tanyaku.



“ Ke Wisma Zal,” tumben dia memanggil namaku.



“ Excuse me?” aku ingin kembali mendengar namaku terlontar dari mulutnya.



“ Iya, ke wisma Rizal, nama kamu Rizal kan, Rizal Rahmatullah?” selorohnya diakhiri dengan tawa kecil.



Hahaha, akupun tertawa. Untuk beberapa saat kami larut dalam tawa itu. Bagiku ini lucu, sudah lama sekali ia tak memanggil ku dengan nama. Semenjak ia mengenakan cadar dua tahun belakangan, ia selalu memanggilku dengan sebutan Akhi.[2]



“ Mau ke Sosialisasi calon juga?” tanyaku mencoba meredakan suasana.



“ Iya, memangnya ada acara lain di Wisma?” jawabnya masih dalam suasana cair. Tak biasanya dia seperti ini.



“ Ukhti [3] kan aktifis wihdah[4], barangkali aja ada acara wihdah gitu,” jawabku sekenanya.



“ Ukhti? Semenjak kapan aku jadi saudara kamu?” kembali pertanyaan itu membuat kami tertawa sejenak.

Kamipun larut dalam obrolan selama perjalanan. Siang ini kutemukan sosok Elisya Wardah yang dulu. Sosok supel, cerdas, riang, dan pastinya charming. Kepribadian yang sempat membuatku menaruh hati padanya. Tapi itu cerita lama, kini aku telah menemukan kehidupanku. Akhirnya nampak gedung dengan reklame besar NSGB, menandakan kami harus turun.



“ Ala ganb yasthoh law samaht!”[5] teriakku.



“ Ahad nazil hina?” [6]sang sopir berusaha memastikan.



“ Ayyuah![7]” teriakku lagi, kali ini lebih keras. Dan mobilpun berhenti. Kamipun turun. Kali ini aku biarkan ia berjalan mendahuluiku, setelah sebelumnya mengucap salam. Aku harus lebih dahulu memeriksa isi tasku, ada beberapa dokumen penting yang harus dicek keberadaannya sebelum menginjakkan kakiku di gedung wisma nusantara. Alhamdulillah semuanya lengkap.



Akupun melangkah gontai, seakan tanpa beban.



Hey, mengapa aku seperti ini. Ada acara penting dihadapanku, aku harus serius.



Damn, aku tak bisa kabur dari euforia ini. Euforia kebahagiaan karena aku bisa kembali bersenda gurau dengan Elisya, meski sekejap. Euforia yang membawa kembali memori-memori indah masa lampau, cinta.



“ Nggak, nggak boleh! “ aku berguman sendirian. Aku tidak boleh kembali jatuh cinta kepadanya. Dia itu sekarang musuhmu zal, orang yang mungkin saja membencimu, meskipun tadi ia terseyum.



Tidak, tidak ada kalimat cinta lama bersemi kembali dalam kamus pribadiku.



@



Auditorium Wisma Nusantara sore itu nampak cerah. Cahaya putih lampu neon putih nampak serasi dengan warna dinding yang hijau muda. Meskipun cuaca musim panas sedikit mengganggu kenyamanan, membuat orang-orang yang berdandan perlente tak henti-hentinya mengusapkan tissue untuk menyeka peluh yang bercucuran.



Acara verifikasi calon presiden PPMI telah dimulai. Kini memasuki sepatah kata dari pemangku jabatan lama, saudara Amir. Kembali sifat curiosity ku membuatku memandang sekeliling.



Memang tak ada pemisah yang nyata, tapi kumpulan orang dalam ruangan ini terpisahkan oleh sebuah daris imajiner menjadi dua buah kubu.



Kubu pertama adalah orang-orang yang mengusung calon pertama. Dandanannya mudah dikenali. Jika laki-laki bercelana kain, potongan rambut pendek, dan sejumput janggut tipis yang menghiasi wajah-wajah penuh sahaja mereka. Kebanyakan berasal dari luar jawa.



Sejenak kulihat diriku sendiri, aku memang berjanggut, mengikuti sunnah Rosulullah untuk memeliharanya. Namun terkadang aku masih mengenakan jeans kebanggaanku. Jeans merk Lea yang merupakan produk dalam negri. Aku juga terkadang membiarkan rambutku tumbuh panjang tak berarturan.



Wanitanya berjilbab lebar, menutup rapi bagian termulia manusia, kepala, hingga terulur menutupi sebagian besar tubuh mereka. Dengan rok yang juga lebar. Sebagian mengenakan cadar. Dan jika berjalan menundukkan pandangan. Benar-benar memenuhi kriteria wanita sholihah yang kudambakan. Aku tak tahu ini untung atau buntung, Elisha Wardah adalah salah satu dari mereka.



Sementara kubu yang kedua lebih sekuler. Tidak nampak eksklusif dengan dandanan. Gaya berpakaian mereka macam-macam. Ada yang menjadi korban hair style dengan potongan rambut neko-neko, bahkan diwarnai. Yang menyatukan mereka adalah keadaan bahwa mereka bukanlah kubu yang pertama.



Dinamika organisasi masisir memang kelewat aktif. Memang konsekuensi logis dari system perkuliahan Al Azhar yang cenderung longgar. Sisi positifnya, militansi mahasiswa Indonesia boleh jadi semakin terasah. Kegiatan demi kegiatan yang datangsilih berganti membuat kami belajar banyak tentang etos kerja, kerjasama dan seni kepemimpinan. Sesuatu yang insyaallah akan berguna bagi nusa bangsa kelak.



Dilain sisi, perputaran yang amat dinamis tadi membawa efek negative. Dunia PPMI yang seharusnya hanyalah wadah persatuan pelajar, bertransformasi menjadi ladang percaturan politik. Menjadi semakin pragmatis dengan tujuan pangkat dan jabatan. Dan semakin sempit karena kini ada kubu kita dan kubu orang luar. Mahasiswa terpecah.



Kubu pertama tadi, adalah komunitas kader partai politik. Aku mencoba memandang dari perpektif mereka. Tujuannya bagus, mengislamkan semua nilai kehidupan, salah satunya politik. Selaras dengan konsep islamisasi ilmunya Naquib Al Attas. Mungkin bagi mereka, orang-orang sepertiku adalah preman-preman urakan berkedok mahasiswa yang mengacaukan tujuan mulia mereka.



Sementara kubu kedua, adalah aku dan konco-koncoku, kaum organisatoris. Menurut teman-temanku, sisi partai telah mengubah tujuan awal PPMI menjadi melenceng dan tidak obyektif. Itu juga membuat PPMI menjadi tidak efektif dan efisien, bahkan tumpul. Alasan lain untuk selalu melawan kubu pertama adalah, karena cara-cara yang dilakukan mereka kotor. Jauh dari nilai murni yang diagung-agungkan. Politik memang seperti itu, bagai lumpur yang kotor.



Mengapa aku disini? Aku hanya ingin bergerak. Menimba pengalaman sebagai tambahan diluar akademis. Keadaanlah yang mempertemukanku dengan teman-teman kelompokku. Soal politik, aku hanya ingin belajar. Karena aku yakin suatu saat aku akan jadi pemimpin besar.



Acara beranjak kepada verifikasi persyaratan calon.



Berkas-berkas milik kedua pasangan calon presiden telah diperiksa keabsahannya oleh panitia di hadapan audien. Lengkap, saat pemimpin siding hendak mengetuk palu menyatakan keabsahan kedua bakal calon pasangan presiden PPMI, inilah saatku beraksi seperti yang telah direncanakan sebelumnya.



“Interupsi, saudara pimpinan siding!” aku berdiri dari tempat dudukku.



“ Berdasarkan pengamatan saya, pasangan Yusuf dan Salman masih kurang persyaratannya. Setahu saya saudara Yusuf Ali masih menjabat sebagai menteri dalam cabinet PPMI tahun ini. Dan Saudara Yusuf belum menyertakan surat tanda pengunduran diri. Berarti pasangan Yusuf dan Salman tidak sah sebagai calon karena tidak memenuhi persyaratan.” Kataku dengan lugas.



“ Berdasarkan AD ART PPMI tentang persyaratan calon presiden-wapres pasal 15 ayat b menyatakan bahwa calon presiden tidak diperkenankan memangku jabatan lain dalam PPMI, Kekeluargaan, maupun organisasi afiliatif lainnya. “ lanjutku.



Hadirinpun kini tegang. Suara riuh rendah mulai terdengar. Aku tahu ini adalah pukulan yang amat menohok untuk kubu mereka. Kemudian setelah debat beberapa saat mengenai hal ini. setelah beberapa orang dari masing masing kubu berusaha menguatkan posisinya. Pimpinan siding memutuskan bahwa pasangan Yusuf-Salman tidak lolos verifikasi. Artinya kini hanya ada satu pasangan untuk pemilihan Presiden PPMI tahun ini, pasangan yang kami usung, Bambang-Satria. Ini juga berarti kemenangan untuk kubu kami tinggal di menunggu waktu.



Aku menghela nafas lega, tugasku terlaksana dengan sukses.



@



Sore itu nampak begitu indahnya, di depan gerbang Wisma aku memandang kea rah timur menyaksikan matahari yang malu-malu merona merah, pertanda ia minta undur diri dari siangnya. Sementara sang bulan telah muncul meski belum bersinar. Dunia memang indah, apalagi ketika kita sukses menjalankan misi.



Disekelilingku teman-teman tampak asyik ngobrol, tentu saja masih dalam tema kasus tadi. Mereka tampak sumringah,tiba-tiba;



“ Permisi!” seorang wanita menyela jalan. Kami tampaknya memenuhi ruangan di gerbang keluar.



“ Silakan!” jawabku spontan. Saat kulihat siapa yang menyela. Aku terkejut, itu Elisha.



“ Lis!” aku memanggilnya. Dia hanya menoleh kemudian membuang kembali mukanya. Dari tatapannya aku melihat raut kebencian di mukanya.



Hmm, aku bisa mengerti. Kini aku kembali menjadi sosok antagonis di hadapannya. Dan sepertinya ia akan kembali menutup hatinya dan bersikap dingin lagi kepadaku. Sepertinya kejadian di bus tadi akan sulit terulangi. Ah, seandainya Elisha mengetahui apa yang ada di pikiranku, alasan-alasanku untuk melakukan ini semua. Dan seandainya aku mengungkapkan isi hatiku selama ini. Aku yakin dia akan mengatakan ya untuk cintaku.



Namun, beginilah aku. Akan selalu keras kepala. Meskipun hatiku rapuh, namun egoku terlalu tinggi untuk mengalah. Aku tak perlu menjelaskan dan mengungkapkan apapun kepadanya atau siapapun juga. Karena aku akan selalu cinta dan setia kepada cinta terbesarku setelah Allah, Rasulullah, dan orang tuaku. Yaitu cinta kepada diriku sendiri dan prinsipku.





[1] Silakan! (Arab)



[2] Saudara (laki-laki)



[3] Saudari (perempuan)



[4] Organisasi kewanitaan di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir.



[5] Miggir (ungkapan amiyah mesir untuk menandakan bahwa kita hendak turun saat naik kendaraan)



[6] Ada yang mau turun?



[7] Ya

Kamis, 14 Juli 2011

Envy

Awas jangan salah tangkap, bukan Enbi Sabi’ ya, tapi Envy, hehe.

Jujur saja, sebenarnya aku seorang temperamental. Hal ini bertambah buruk karena menurut psikolog aku adalah seorang melankolis yang emosinya tidak stabil. Aku bisa tiba-tiba kehilangan kontrol karena amarah. Kalau sudah begitu, tinggal ambil batu lempar ke kepalanya, haha. Pernah aku menghancurkan lemari yang baru kubeli sebulan karena kesal dengan tumpukan pakaian yang tak rapi-rapi, haha. Untungnya selama ini belum menemukan hal-hal yang begitu memancing emosi, sehingga semuanya masih terkendali.

Sedikit tentang karakter, lagi lagi ini subyektif. Pendapatku tentang diriku sendiri, jadi tak perlu diperdebatkan, terserah bagaimana anda menilaiku. Apalagi karakter adalah hal abstrak yang tidak bisa didefinisikan dengan pasti. Ibu menurunkan sikap kesahajaannya, serta kesederhanaan berpikir dan bertindak, tipikal orang jawa. Nggak usah neko neko, begitu kata Ibu. Tapi aku juga mewarisi sikap keras kepala ayahku, plus cuek kebonya (lebih cuek ari bebek). Sifat terakhir inilah yang tetap membuatku PD meski tampang lecek gak karuan. Apapun itu jika aku merasa nyaman, aku akan menikmatinya, tak peduli kata orang. Mungkin itu sisi eksentrikku, dan bukankah semua orang punya keeksentrikan masing-masing?

Hal yang paling membuatku naik darah adalah jika melihat seseorang lebih baik. Rasanya darah mendesir naik ke ubun ubun seperti disedot pompa dari alam tak kasat mata. Dengki, nanti dulu. Bagiku selama rasa ini tidak berwujud pada praktik menyelakakan orang lain, selama itu pula sifat ini akan aku jaga. Karena ternyata, rasa inilah yang telah mengantarkanku sejauh ini. Dengan tantangan hidup yang semakin hari semakin nyata, dan dengan saingan-saingan baru (orang-orang baru, hehe) yang semakin hebat. Rasa ini yang memancingku untuk berpikir keras bagaimana cara mengakali supaya bisa tetap bersaing dengan orang-orang yang selalu lebih baik.
Dulu, waktu kelas satu KMI, aku minder besar. Ya, berada di kalangan anak-anak pintar dari sekolah-sekolah unggulan asal kota-kota besar sedikit banyak membuatku keder. Jika flashback ke sekolah SD ku yang hampir roboh dan hanya diisi belasan pasang kaki manusia tanpa alas dulu, ini semua seperti sebuah antonim. Akhirnya, aku bisa juga naik kelas ke kelas dua B setelah pontang panting syaharullail. Lalu di kelas 3 C, bisa juga kucicipi rasa menjadi juara kelas setelah tiap pagi mengunjungi wali kelas untuk memahami pelajaran Nahwu Sharf.

Kini, rasa iri itu tumbuh lagi. Sebenarnya perasaan ini sudah membuncah hebat semenjak ujian, sehingga karenanya aku begitu tersiksa selama ujian. Kalau diibaratkan, mungkin seperti magma yang sudah memuncak di mulut gunung. Tinggal satu gerakan tektonik saja, maka habislah sekeliling gunung dilahap lahar.

Sebabnya, tentu saja ketidakmampuan diri menyesuaikan kemauan serta kemampuan dengan karya. Teriris hati ini rasanya melihat teman-teman yang jauh lebih muda sudah berhasil menelorkan karya mereka. Buku-buku bagus mereka yang bertebaran, atau karya-karya hebat mereka di dunia cyber membuatku kembali tersiksa. Sepertinya aku harus kembali berpikir keras, bagaimana untuk bisa kembali bersaing dengan orang-orang hebat itu.

Jagalah perasaan tersiksa melihat sebuah keberhasilan, karena itulah yang memacu anda untuk berbuat lebih baik (Poetra)
Ceracau Rajawali, pagi ini, Kamis 14 Juli, 2011.

Minggu, 12 Juni 2011

Fight !

Soal fasilitas, apalagi yang kurang. Kiriman lancar tiap bulan, nominalnyapun terbilang besar dibandingkan dengan kepunyaan rata-rata teman teman. Namun bagaimanapun, rupiah tetap tidak bisa membeli hal hal abstrak seperti semangat.

Kalau alibinya masalah, tidak bisa dibenarkan, semua orang punya problematika masing masing. Dengan tingkat kepelikan yang relatif, berbanding terbalik dengan kebijaksanaan menyikapinya.

Everybody’s hurt, you are not alone

Semua analisaku sampai pada konklusi bahwa tidak ada toleransi untuk kemalasanku kali ini, tidak juga setelah ini. Well, namun yang namanya kemalasan tak jua mau pergi dari pribadi payah ini.

Seharusnya aku malu pada teman teman yang jauh lebih tidak beruntung dariku. Dengan semua keterbatasan mereka, mereka selalu punya semangat untuk bertahan dalam kerasnya hidup. Mereka selalu bergerak, they refuse to let their journey end.

Satu contoh, teman baikku. Dia harus “istirahat” dari bangku kuliah karena lebih mementingkan sekolah adiknya. Aku pakai istilah istirahat untuk menghaluskan saja, karena sebenarnya sudah meninggalkan bangku kuliah dan hingga kini tidak yakin bagaimana kembali lagi, meskipun keinginan untuk kembali mengenyam suasana kuliah masih tetap tak berkurang sedikitpun.

Satu tahun perjalanannya setelah putus kuliah begitu miris. Sempat tersesat di pedalaman papua, bekerja di lingkungan yang sama sekali berbeda dari habitatnya. Berulang kali ia bercerita tentang majikannya yang atheis, juga bagaimana ia sembunyi sembunyi shalat. Mau pulang, ongkos kapal saja 800 ribu, baru bisa terbayar jika menabung uang gaji dan dengan amat berhemat tentunya. Itupun pulangnya jika badai tidak melanda laut.

Usai dari papua, lama aku tak mendengar kabar. Akhirnya ku tahu kalau kini ia sudah menemukan tempat kerja yang lebih baik, tapi tetap tidak dekat, jauh disana, Maluku. Setidaknya, dia bisa shalat dengan tenang disana. Dan lagi, dia membuka kursus bahasa arab setiap sore setelah usai bekerja. Paginya sebelum masuk kerja, dia menjadi loper koran. Luar biasa bukan.

Semua itu dilakukannya bukan sekedar demi lembaran lembaran rupiah. Tapi demi sesuatu yang jauh lebih bernilai, hidup yang berhiaskan mimpi-mimpi dan cita cita yang beterbaran pesona. Lebih lagi, untuk memberi tempat pada semangat, kerja keras, dan keyakinan untuk berbicara. Disaat orang-orang kebanyakan tertipu dengan gemerlapnya orientasi hasil. Dia adalah orang yang setara mulianya dengan para pejuang yang bertempur melawan penjajah. Dia begitu yakin dengan kebenaran firman Allah;

Laa taqnatu min rahmatillah

Ya, jangan pernah putus asa dengan rahmat Allah.

Well, karena aku punya teman yang dengan keterbatasannya selalu menolak untuk menyerah. Aku harus berjanji pada diriku untuk berjuang lebih keras.

Well then, let's fight !

Kamis, 05 Mei 2011

Cintailah Ia Untuk Meninggalkannya.

Jujur, penampilan luarnya jauh dari kata menarik. Sopannya, biasa biasa saja. Feminimitas seolah tersembunyi rapat dengan kekusamannya. Tiada pesona kelentikan kilau putih jika tertepa sinar, sangat udik. Pun tanpa keanggunan tebalnya karton yang biasanya menambah agung karisma buku buku. Hanya cover tipis, terkadang menggulung atau melipat lipat mengkhawatirkan.

Dia begitu menyulitkan tapi tiada menantang. Sekelumit baitnya terkadang mengandung berjubel banyak makna yang tidak lebih sederhana. Ah, amat membingungkan menurutku. Tebalnya menuntut kegigihanmu memperhatikan setiap huruf yang tersurat. Plus konotasi konotasi aneh yang tersembunyi di balik rumitnya bahasanya. Begitu ingin dipahami, persis seperti wanita.

Mengapa tiada menantang. Memang bukan doktrin. Hanya saja dia tak punya kejutan kejutan yang memacu adrenalin. Kreatifitas otakmu hanya diberi tempat pada pemahaman kehendaknya. Meskipun dia sedikit memberi keluangan dengan beberapa alternative lain, kamu tetap harus mengatakan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Bahkan tidak pula untuk alternative lain yang sudah ia utarakan.

Hanya saja, kau harus berlomba melawan waktu untuk mendapatkannya. Jika terlambat memutuskan, kau akan ditinggal pergi. Bagaimanapun, ia adalah jalan paling realistis untuk mewujudkan impianmu, naik tingkat. Karena ia ternyata membawa semua yang kau butuhkan untuk memperbaiki hidupmu. Semua rahasia masa depanmu tersimpan rapat dalam bisunya, maka kau harus sabar mengoreknya sedikit demi sedikit.

Mulailah dari sekarang untuk memberinya tempat dalam khayalmu. Bersegeralah bermesraan dengannya sepanjang waktu. Kalahkan kantukmu di pagi hari dengan memberinya perhatian lebih. Sejukkan sengat siang dengan berbagi dengannya. Dan isilah sunyi malammu dengan bercengkerama hanya dengannya. Temanilah ia bahkan hingga mata tiada lagi kuasa membuka, dan larut memintamu untuk undur diri dari hadapannya. Kalau bisa hingga kata-kata yang meluncur dalam igauan tidurmupun adalah yang tercurah darinya. Seperti itulah cinta.

Hmm, sebenarnya ia amat setia. Ia sudi menemanimu tahun depan dengan, pun dengan tulus menerimamu apa adanya, meski kau gagal menaklukkannya. Aku sih lebih memilih mencari yang baru tahun depan, pastinya lebih cantik.

Cintailah ia sekarang untuk meninggalkannya. Karena ia adalah muqorrormu.

Jumat, 15 April 2011

Kuncen Pengguncang Iman

Sepertinya aku harus mengganti beberapa hal dalam info facebookku, terkhusus pada kolom major yang sekarang kutulis Ushuludin Al Azhar University. Menilik aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk jalan jalan akhir-akhir ini, dimulai semenjak revolusi Mesir usai dan tahun ajaran Universitas Al Azhar memasuki termin kedua. Mungkin akan lebih jujur dan adil bila aku menulis fakultas Pariwisata jurusan site searcher, haha. Sedangkan untuk Universitas sepertinya Egyptian Land University akan terdengar ciamik.

Hari ini sebuah pengalaman unik kembali mengusik ketenanganku untuk tidak menuliskannya dalam kata-kata. Setelah puas terpukau dengan indahnya scene ukiran ukiran pada bebatuan di bukit Muqattham, dan takjub dengan keunikan arsitektur gereja yang bertempat di lorong lorong perbukitan, aku terguncang dengan obrolan santai namun menusuk dari sang penjaga kanisah. Jujur aku katakan jika keterangan dari bapak tua yang sepertinya tak berpendidikan tinggi itu mengusik keimananku. Walaupun kemudian tentunya aku tak menelan mentah semua ucapannya karena kukunyah dengan tambahan pengetahuanku yang lumayan. Setidaknya kini aku mengetahui satu sudut pandang baru tentang hal yang selama ini aku yakini.

Bermula dari mujamalah khas Mesir, ismak eih lah, min ain lah, dan lain lain. Tak beda dari basa basi biasa dengan siapa saja manusia di bumi Alexander the Great mendirikan kotanya ini. Perbincangan mulai beranjak ke hal hal yang lebih serius, entah disengaja atau tidak oleh sang kuncen. Kamipun (aku, Azmi, dan seorang kakak kelas) terbawa oleh ceritanya tentunya karena mulut sang kuncen yang tak bisa berhenti seperti kebanyakan orang Mesir jika berbicara, pastinya luas (hasil kali dari panjang dan lebar, haha).

Mengenai keyakinan sang kuncen bahwa mereka adalah kaum yang beruntung telah menemukan Yasu’ ibn Maryam (Yesus), sementara orang orang Yahudi tidak mengetahui itu padahal telah tertulis dalam Taurat mereka, dan kaum muslimin masih menanti kehadiran Isa As hingga kini. Well, meskipun aku sudah pernah mendengar hal ini sebelumnya. Namun mendengarkan dari seorang yang bercerita menggebu gebu dengan keyakinan yang bertolak dengan milik kita akan mejadi sangat berbeda. Sangat mengusik keyakinan. Allahumma ihdini fiman hadaita.

Beralih ke hal yang lebih mengguncang, yaitu kisah mengenai pindahnya jabal muqattham . Konon, Al Muiz Lidinillah, raja dinasti Fathimiyyah, menyangsikan Injil merujuk pada ayat pemindahan gunung. Dalam Injil (tepatnya nggak tahu, hehe) terdapat ayat yang isinya bahwa seseorang yang memiliki keyakinan sebesar butiran benih akan mampu memindahkan gunung.

Kisah berlanjut kepada penjelasan kuncen akan sosok Sam’an (Simon in English), seorang penyamak sepatu yang karena imannya membutakan matanya sendiri. Sam’an diceritakan membutakan matanya karena tak sengaja melihat paha wanita yang sedang menyamakkan sepatunya padanya. Sosok Sam’an digambarkan sebagai refleksi seseorang yang memiliki keimanan seperti yang tertulis dalam ayat injil diatas.

Disini sisi kontroversialnya, seorang pastur dengan bantuan Sam’an dikisahkan berhasil mengangkat gunung dan matahari pagipun bersinar di bawah naungan gunung tersebut. Sang kuncen juga menjelaskan bahwa setelah mendengar kesangsian Al Muiz Lidinillah terhadapt injil kaum masihy pada zaman itu berkumpul dan berdoa memohon keajaiban dari Tuhan.

“Robbuna Yarham, Robbuna Yarham.” Begitu kata sang kuncen kalimat yang dilafalkan masyarakat Kristen koptik dalam tirakat ibadah selama 3 hari 3 malam. Sebenarnya kalimat yang aslinya diucapkan bukan dalam bahasa Arab, tetapi dalam koptik, namun telingaku tak cukup peka untuk merekam kalimat kalimat baru dan tak biasa itu.

Mengenai pemberian nama perbukitan yang jabal muqattham diklaim dalam cerita sang penjaga gereja bahwa Al Muiz Lidinillah akhirnya mengakui kehebatan injil setelah melihat fenomena yang tak bisa dijelaskan oleh akal tersebut. Dan karena Al Muiz meminta agar diberhentikan pemindahan perbukitan maka berhentilah orang orang nasrani dari doanya dan terjatuhlah perbukitan itu berkeping keping dengan jarak 3 kilometer berpindah dari daerah asalnya di Kairo lama ke posisinya kini. Kepingan kepingan inilah yang dalam bahsa arab disebut Muqattham atau Muattham dalam logat Mesir.

Yang lebih menganggu ketenanganku adalah cerita sang kuncen bahwa setelah kejadian itu Al Muiz Lidinillah pergi meninggalkan Kairo dan meninggal dalam perjalanannya di daerah Libya karena gila, panas aku mendengarnya. Benar benar mengusikku terlepas dari keterangan subyektifnya yang masih bisa didebat oleh fakta sejarah.

Setelah sang Kuncen usai menceritakan semua hal tentang Sam’an dan peristiwa pemindahan perbukitan Muqattham. Ia membawa kami ke suatu ruangan kecil berisi kursi roda dan tongkat pembantu jalan yang ia sebut sebagai mu’jizat. Mengapa demikian, karena menurut ceritanya terdapat seorang yang telah lumpuh selama 12 tahun namun kembali bisa berjalan setelah datang ke gereja itu dan didoakan oleh jemaat. Hmm, aku hanya bisa menganguk-anguk dan tersenyum demi menghormati keterangannya yang panjang lebar. Namun tentunya aku tak mudah untuk percaya begitu saja.

Akhirnya kami meninggalkan kawasan perbukitan yang dikelilingi daerah daur ulang sampah itu karena matahari mulai lengser dari singgasana siangnya. Dan kamipun sudah dinanti seabrek kegiatan lain dengan pertimbangan perut keroncongan sebagai alasan utama. Dan aku menelusuri jalanan pulang sembari menata kembali keyakinanku, serta sesekali beristighfar. Sebuah peringatan bagiku yang selama ini sudah merasa pintar, ternyata keyakinanku sempat tergoncang mendengarkan keterangan lugas seorang kuncen.
Asyhadu Alla Ilaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah

Minggu, 10 April 2011

Chocolate Cake Pembuat Malu

Pagi ini aku agak terlambat bangun pagi, padahal malam harinya alarm sudah ku atur agar menjerit jerit heboh pukul 04.30 pagi hari. Apa mau dikata, jeritan alarm memang berhasil membangunkan tidurku, namun hanya untuk membungkam mulut alarm kemudian kulanjutkan pesta alam mimpiku. Mata ini terlalu berat untuk diajak bekerjasama bangun pagi, penelusuran pulau Belitong dan kebiasaan masyarakat melayu dalam Cinta dalam Gelasnya Andrea Hirata semalaman tak bisa dijadikan alasan. Hanya ada satu kata untuk ini, malas, penyakit kronisku rupanya masih dalam stadium tinggi.

Hingga akhirnya kutersadar ketika sinar fajar mulai menyilaukan mataku kala terjaga. Terpaksa kusingkirkan malasku demi menunaikan kewajiban. Setelah itu seperti biasa, tanganku mulai menyentuh tuts key board della, laptopku tersayang.

Baru beberapa saat berselancar, mobileku berdering. Kalian tentu masih ingat nadanya, instrument lagu kesayanganku, mockingbird. Kuangkat panggilan masuk itu.

Ternyata dari Zen, temanku sesama kru Informatika, mengabariku bahwa hari ini ada wawancara dadakan. Wawancara adalah hal paling menyebalkan diantara aktifitas jurnalistik amatiran ini, disamping transkrip rekaman hasil wawancara yang juga amat melelahkan. Namun, wawancara kali ini sepertinya menarik, kesempatan untuk berbincang dengan seorang jurnalis asal Amerika Serikat tak bisa kuabaikan. Terlalu menggoda, mungkin begitu istilah dalam dunia asmara.

Terpaksa kutunda keinginanku untuk mulai kuliah, padahal semalam aku sudah mencanangkan revolusi akademis yang mengharuskan diriku untuk selalu hadir dalam perkuliahan. Well, tak apalah untuk yang satu ini. Alibi bisa diterima.

Ketika sampai di wisma nusantara, sesuai dengan rencana awal tempat interview, ternyata si bule tidak datang. Kamipun memutuskan untuk mengikuti perkuliahan terlebih dahulu, hari ini pelajaran Tauhid, momok paling menyeramkan mahasiswa tingkat satu fakultas ushuludin di termin dua ini, dan aku belum masuk sekalipun.

Mengikuti perkuliahan, ternyata masih seperti yang dulu, membosankan. Bangku kayu yang keras tak mampu mencegah kantuk yang dengan kejam memupuskan semangatku yang tadi begitu menggebu-gebu. Uapan uapan malas mulai memenuhi detik demi detik yang terasa amat lama. Akhirnya kelas yang membosankan itu kelar juga.

Kulangkahkan gontaiku ke Masjid, duduk di teras masjid yang ternaungi dari sinar matahari, aku melanjutkan penelitian Pulau Belitong. Novel Si Ikal terlalu menarik untuk dilewatkan setiap katanya. Analisa-analisa unik, parodi-parodi menarik, dan lelucon lelucon ciamik atas segala sisi negatif kehidupan memberiku banyak inspirasi dalam cara pandangku tentang hidup ini. Sekali lagi, terimakasih bung Andrea.

Akhirnya sampai saat lepas dzuhur, aku bersama zen harus menuju Dokki untuk melaksanakan tugas yang tadi tertunda, interview dengan seorang bule.

Buta arah, aku tak pernah mendengarnya. Aku hanya pernah tahu buta warna, penyakit tidak membedakan warna warna tertentu. Namun itulah yang dikatakan Zen menjangkit dirinya, susah menghafal daerah daerah yang pernah dilaluinya. Dan itulah alasan mengapa dirinya selama ini sering tersasar, katanya. Aku hanya tertawa mendengarkan penjelasan penjelasan masuk akal namun aneh darinya. Akhirnya hal ini kumasukkan dalam daftar penyakit aneh, nomor 2, setelah dualisme kepribadian karena kelabilan anak muda yang lebih dulu menduduki nomor 1. Sedikit tambahan, akibat penyakit anehnya itu, kami terpaksa luntang lantung di depan toko kebab menunggu datangnya sang bule. Padahal ternyata si bule berada di seberang jalan di Sekolah Indonesia Kairo. Aku yang belum pernah datang ketempat inipun menggerutu kesal padanya, karena dia kenyatannya sudah pernah datang ke tempat ini.

Akhirnya, kami bertemu sang bule, namanya Julia Simon. Ia adalah seorang jurnalis dari sebuah radio amerika, pernah juga bekerja di BBC dan kini menjadi wartawan NPR. Yayasan Henry Luce Foundation memberinya kesempatan untuk melakukan riset mengenai kehidupan masyarakat Indonesia di Kairo pasca revolusi Mesir.

Melalui obrolan santai kami, kutahu bahwa ia adalah seorang yahudi. Namun ketika kita tanya mengenai opini pribadinya tentang islam ia berkata;

“ Islam is complicated, just like others.”

Ya, harus kita akui fakta bahwa Islam begitu kompleks dengan berbagai macam perbedaan dan permasalah di dalamnya, tak berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun itu mungkin hanyalah jawaban diplomatis darinya.

Kemudian perbincangan beranjak ke bahasan-bahasan lain. Aku yang tak ada persiapan sebelumnyapun asal nyerocos saja. Kutanyakan tentang Indonesia, Jogja, gudeg, Obama yang pernah tinggal di menteng dan hal hal ringan lainnya. Oh iya, makanan Indonesia yang ia gemari adalah nasi goreng.

Sebelum berpisah ada hal memalukan kami, ternyata uangku tak cukup untuk membayar makanan yang kupesan. Padahal sebelumnya telah kupilih kopi dengan harga paling “murah”; 9,25 Le. Ternyata kami berdua menghabiskan 50 Le untuk makanan dan secangkir kecil kopi kami. Padahal uang di kantongku hanya 40 Le, sisa ongkos transport ketempat ini. Parahnya, uang Zen tak tersisa sedikitpun. Terpaksa kami (dengan malu yang tak terlukis lagi) meminta bantuan Julia untuk membayarkan kekurangan ini. Alamak, mimpi apa aku semalam sampai harus menanggung malu sebesar gunung galunggung hamil ini (bagian ini lebay).

Setelah kutelusuri ternyata akar masalahnya ada pada desert alias makanan penutup. Cuci mulut yang berupa sepotong cocholate cake ini ternyata sepotongnya berharga 14.5 Le, sial. Padahal sudah kuperkirakan untuk memesan yang termurah. Kami kecolongan disini karena tak mau kelihatan malu ketika sang waiter menanyakan;

“ What should the desert be? A chocolate cake or cheese?”

Karena kami pikir kue coklat lebih murah dan lebih bisa ditolerir lidah kami, kamipun mengangguk untuk pilihan pertama. Apa mau dikata, ternyata itu justru menjadi biang keladi ngutangnya kami.

Kamipun melenggang pulang setelah sebelumnya meminta maaf. Zen bilang tak bisa melupakan hal sangat memalukan ini. Aku sih santai, tak terlalu ambil pusing. Kubilang ke Zen, mereka itu kaum yang menjarah harta kekayaan harta kita. Jadi tidak ada salahnya kalau kita mendapatkan sedikit yang seharusnya memang kita nikmati, haha. Pelajaran mental dari kejadian ini :

Jangan pernah menyesali kesalahan yang telah kita lakukan.

Sedangkan pelajaran moralnya :

Bawalah uang secukupnya (baca: banyak) jika anda berhubungan dengan bule. Apalagi bila sang bule mengajak masuk ke coffee shop.

However, hari ini begitu spesial karena begitu spicy meskipun merupakan hari yang melelahkan. Dan hari ini membantuku untuk kembali bangkit dari keterpurukan, Rajawali telah membubung kembali.

Akhirnya, kuakhiri hari ini dengan sebuah kaliamat syukur.

Alhamdulillahirabbilalamin.

Sampai jumpa di episode berikut.

Kamis, 31 Maret 2011

Mesir Undercover (Part 1)

The Story Behind My Subliminal Campus

Pagi itu aku kembali bolos kuliah, aku tertarik dengan ajakan temanku untuk jalan-jalan. Belakangan, aku memang lebih banyak menghabiskan waktuku diluar kampus. Bahkan semenjak revolusi mereda dan kuliah dibuka kembali secara resmi, baru dua kali aku menginjakkan kaki di kampus (semoga aku segera) yang kucintai. Itupun baru masuk kelas sekali, dengan membawa buku yang salah pula. Lengkap sudah kemalasan seorang Kurniawan Saputra.

So then, a big question mark occurs, what is the title concerning about?

Mungkin aku kurang bersukur karena menyia-nyiakan kesempatan kuliah yang amat mahal harganya. Harga dengan konotasi sebenarnya maupun makna majas. Banyak orang orang pintar dan kaya yang tidak diberi kesempatan mengecap pengalaman masa muda berharga ini. Dan yang membuatku sedih, beberapa temanku mengalami nasib naas ini. namun aku hanya bisa bersimpati, tak bisa berbuat lebih.

Namun semua itu tak bisa mengubah opiniku bahwa kuliah (masuk kelas) di Al Azhar adalah membosankan, tidak efektif, dan membuang-buang waktu.

Dahulu aku memang sudah sering mendengarkan selentingan-selentingan miring seperti ini sebelum terbang ke negeri seribu menara ini. Aku sudah tahu bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang rosib karena ketidakteraturan regulasi kampus. Namun aku tak pedulikan hal itu, bagiku kata luar negri terdengar terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Ketika itu aku berpikir apapun yang akan terjadi dengan kuliahku, pengalaman untuk melanglang buana akan jauh lebih berharga. Tidak sepenuhnya salah memang pendapatku, namun tidak bisa dibenarkan untuk orang orang yang benar-benar ingin masuk kuliah.

Sedikit informasi bagi yang membutuhkan, kuliah di Al Azhartan ada absensi kehadiran, jadi anda bisa masuk atau tidak sesuka perut anda, atau lebih tepatnya sesuka mata anda (masalah utama mahasiswa Indonesia dengan mengesampingkan factor-faktor lain adalah factor perbedaan waktu dan suasana Mesir yang ternyata begitu kondusif bagi para pemimpi dalam arti sebenarnya).

Cuaca dingin winter saya jamin akan menggoyahkan semangat keluar rumah anda. Jaket tebal, slayer, rompi, jas, sarung tangan, kaos kaki, penutup kepala adalah perlangkapan yang akan membantu anda mellindungi badan dari hawa dingin yang menusuk di satu sisi, namun sekaligus menimbulkan dilema. Semua itu akan setidaknya membuat pergerakan anda tidak sebebas biasanya. Bedak, lipstick dan minyak yang harus dioleskan ke bagian-bagian kulit terbuka untuk mencegah peradangan menimbulkan keribetan lainnya. Apalagi untuk para laki-laki yang tak mau ribet, dan saya adalah salah satunya.

Musim panas memang menghilangkan kasus diatas. Tetapi datang dengan masalah baru yang tak kurang kompleks. Jam malam yang pendek tentunya sangat mengganggu waktu tidur anda. Di puncak musim panas, adzan isya baru berkumandang pukul 21.30 malam. Beberapa keperluan harian akan mengantarkan anda pada pukul 12.00 tanpa terasa. Dan dengan sedikit obrolan pasca santap malam selepas menunaikan shalat, tanpa sadar jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Dan jika anda tidur pada jam segitu, saya kira saya tak perlu menjelaskan pukul berapakah anda akan bangun pagi. Jikapun anda bangun pagi untuk menunaikan shalat shubuh berjamaah di masjid terdekat. Anda akan kebingungan hendak melakukan aktifitas apa setelahnya, karena rata-rata toko-toko (juga rumah-rumah) orang mesir baru buka pukul 09.00 waktu setempat. Kembali menggelar kasur adalah alternatif paling realistis. Saya tidak menutup kemungkinan adanya kreasi segelintir orang orang gigih yang menghafal Qur’an, membaca buku, atau hal-hal positif lainnya. Namun kata segelintir tentu sudah membuat anda mengerti berapa jumlah kepala yang keukeuh seperti demikian. Dan lagi yang tentu anda tahu, mayoritas adalah lingkungan yang sulit anda lawan. Sekaligus habit yang sukar anda ubah. Mungkin dalam Kristen kasus seperti ini mampu membuat bapa mengirimkan anaknya untuk mati demi memutus lingkaran setan. Karena yang saya tahu dari mereka, tuhan memiliki kemungkinan untuk pusing dengan konsekuensi titahnya sendiri.

Transportasi menjadi poin saya selanjutnya. Saya tidak tahu apakah setelah revolusi putih 25 januari kemarin yang sukses melengserkan diktator tua dari kursi empuknya akan memperbaiki lancarnya transportasi. Tanpa melihat sisi optimism maupun pesimismenya, saya memiliki firasat buruk bahwa buruknya transportasi di Mesir adalah cerminan sifat mereka yang original sekaligus susah diatur. Tanpa rambu-rambu, pengatur jalannya lalu lintas adalah polisi amatir jebolan wajib militer bermuka culun punya. Mobil penyok hampir menjadi identitas karena gemarnya para pengemudi Qibthy bersenggolan di jalanan. Kemacetanpun sering terjadi akibat kekonyolan berbumbu ketololan para supir yang berdebat serius panjang lebar akibat saling senggol body mobil tadi di tengah lalu lintas yang sedang berjalan. Robbuna yaghfir! Aku hanya bisa mendoakan agar ini tak termasuk dosa besar mereka karena ini bisa bermakna Qoth’utthariq, haha.

Mengerucut ke armada pengantar mahasiswa ke kampus, kasus baru muncul. Hanya ada sekitar tiga nomor bus yang beroperasi dari kawasan luber orang Indonesia, Al hay al Asyir, ke arah Darrosah, distrik dimana kampus kuno Al Azhar bertempat. Hanya ada bus nomor 353, 65 plat kuning, dan yang paling umum adalah bus angka 80 bercoret. Selain tiga itu anda bisa mencari rute baru dengan berpindah pindah bus yang tentunya mengakibatkan ongkos lebih membengkak dan waktu perjalanan yang relatif lebih lama.

Bus-bus tersebut diatas hanya datang pada waktunya. Kembali bergantung pada nasib memang, tapi rata-rata setengah jam sekali baru nongol. Itupun dengan penumpang yang sudah berjibun melebihi kapasitas. Satu bus 80 coret yang idealnya diisi 40-50 orang biasanya dijejali 60-70an manusia. Akibatnya anda ibarat berada dalam kerumunan orang yang sedang menyaksikan konser musik atau antri mengambil dana BLT, berdiri dan berhimpitan. Saya jamin tak ada yang merasa nyaman berada di dalam bus jika sudah begini. Ditambah fakta bahwa orang-orang mesir memiliki postur tubuh yang relative gemuk dan tambun. Otomatis keringat akan keluar lebih intens dari tubuh-tubuh demikian. Bayangkan bagaimana ‘harum’ nya membuai hidung anda.

Mari kita beranjak ke kelas. Oh iya, penggunaan kata kelas untuk ruangan Al Azhar sepertinya tidak tepat. Lebih cocok aula bagi saya karena memuat banyak orang. Bisa menampung sampai 2000 orang. Lebih besar dari tribun stadion kecil di Indonesia, PSSI memang payah (lho?). Haha, saya hanya ingin menjelaskan betapa ruangan belajar tidak lagi cocok dinamakan kelas sekaligus mengekspresikan kekecewaan saya atas amburadulnya prestasi dan manajemen sepakbola Indonesia karena saya adalah orang Indonesia yang menggemari ‘nonton’ sepakbola.

Dengan ruangan belajar seperti itu, efektifitas proses belajar mengajarpun sudah barang tentu sangat minim. Perhatian dosen harus terbagi ke500an mahasiswa (minimal yang hadir) sehingga pemahaman anda tentang pelajaran lebih sering luput dari tanggung jawab dosen. Ditambah kebiasaan para dosen yang lebih memilih menerangkan dengan bahasa arab gaul musy wadhih mereka, jam masuk kelas bagi saya adalah sebuah penyia-nyiaan waktu yang nyata. Sedikit tambahan informasi, bahasa gaul Mesir amat jauh dari kaidah bahasa arab formal yang kalau saya boleh sombong sudah saya kuasai. Rumus bahasa mereka adalah kesederhanaan gramatikal dengan kerumitan vokal. Klop sekali dengan karakter mereka yang sederhana namun berperilaku kompleks, haha. Bahasa menunjukkan karakter suatu bangsa, begitu kata pepatah.

Inilah fakta yang saya coba utarakan sejujurnya, camkan baik-baik sebelum anda memutuskan terbang kesini dan menyesal kemudian. Namun anda juga perlu tahu bahwa semua hal bisa dilihat dari sisi yang berlawanan, ulasan saya adalah negatifnya. Lagipula bagi saya, all the nuisances means nothing to me.

Rabu, 23 Maret 2011

Revolusi yang Lucu



Perseteruan politik memang tidak hanya ditemukan di Mesir, namun humor yang mereka ciptakan menimbulkan keunikan tersendiri.

Mesir identik dengan Damm Khafif, sebuah guyonan ringan yang membuat kita bisa melewati masa-masa sulit. Revolusi pemuda 25 januari menjadi bukti teraktual. Kalau anda tidak percaya, silakan ketik #whymubarakislate atau #themanbehindomarsuleiman di kolom serach situs microblogging twitter, akan ditemukan banyak lelucon, kreativitas, dan guyonan unik yang mengemuka dan masuk ranah politik.

Orang-orang semakin menyadari selera humor mesir yang tak ada bandingannya saat pemberontakan 18 hari muncul, dan saat-saat setelahnya. Dari benda-benda yang melambangkan perlawanan model lama seperti simbol, slogan, gambar, grafity, lagu, dan humor humor kuno mesir sampai media teknologi kontemporer seperti tweets, SMS, note facebook, video, status facebook, dan obrolan Blackberry, kejenakawan orang-orang mesir menyebar ke seluruh dunia. Karenanya, orang mesir boleh berbangga - sekaligus malu – karena kekonyolan mereka yang membuat media melabeli beberapa kejadian dengan “Hanya ditemukan di Mesir”. Tentu saja, karena mengundang selera tawa.

A Past's Glance, It inspires, perhaps!

Lucu. Begitu kesan terkuat yang muncul ketika aku mengobrak abrik kembali buku agendaku. Lembaran demi lembaran seolah menjadi cermin akan diriku yang dulu. Kurniawan Saputra 2 tahun yang lalu. Tepat setelah menjadi alumni serta hari hari berikutnya.

“Buku kamu ko penuh gini?” guman temanku beberapa tahun yang lalu. Ketika ia (sengaja atau tidak) membolak-balik halaman demi halaman buku agendaku. Ya, buku
tulisku memang penuh.

Minggu, 20 Maret 2011

Trimurti dan Rekonstruksi Sistem Pendidikan Nasional

Trimurti dan Rekonstruksi Sistem Pendidikan Nasional
Oleh: Kurniawan Dwi Saputra / PA II
A. Menilik sistem pendidikan nasional
Kalau kita jeli dalam memperhatikan sistem pendidikan di tanah air, kita akan menemukan banyak fenomena janggal. Hal itu dikarenakan sistem pendidikan kita saat ini adalah produk rekayasa barat, untuk membuat kita terus berkutat dalam lubang kebodohan. Sehingga mereka bisa terus melangsungkan ekploitasi sumber daya alam yang kita miliki. Dikotomi ilmu (dalam hal ini barat memisahkan agama dari ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan), penstrataan tingkatan sekolah (dalam SD, SLTP, SLTA), merupakan contoh ternyata dari usaha barat yang bisa dibilang sukses besar sampai saat ini.

Sabtu, 26 Februari 2011

Akibat Impolite Words

“Shut up your f**king mouth! Son of b*t*h!”

Dalam perjalanan menuju Qoah aku mengoceh seenaknya. Akhir-akhir ini intensitas belajar bahasa inggrisku memang sedang on fire. Dibantu dengan banyaknya buku rujukan belajar bahasa inggris yang memang bertebaran di kantor CLI, juga dengan semakin seringnya aku mendengar conversation dan terutama lagu-lagu berbahasa inggris. Aku mulai percaya diri melafadzkan kata-kata bahasa asing ini. Kini aku sering asyik berguman sendirian memperlancar pronounciationku, sayangnya banyak kata-kata kotor yang juga lepas dari mulutku.

Kalimat diatas adalah salah satunya, anda tahu apa akibatnya?

Jumat, 25 Februari 2011

ALI / C

Pagi itu Tasji’ Ust Daniel benar-benar membakar semangatku.
“ Kalian tahu, apa yang membuat negara Amerika serikat begitu maju?” jelasnya dengan menggunakan metode Tajahul Siqroti. Dengan suara lantang beliau meneriakkan kata-kata tersebut dihadapan kami, santri kelas 1 G. Meskipun suaranya melangking namun tak mengurangi kewibawaannya, terutama karena setiap kata yang terucap dari bibirnya nampak bersumber dari hatinya.

Janjiku Untuk Ibu


500 mililiter, jumlah yang sedikit jika ukurannya adalah banyaknya asupan air putih yang dikonsumsi tubuh dalam sehari. Karena tubuh memerlukan minimal 1600 ml air putih demi lancarnya system metabolism tubuh. Namun itu menjadi jumlah yang besar, jika ukurannya adalah cairan kotor dalam rongga paru-paru.
Karena air dengan volume sebanyak itulah yang menyebabkan aku kesulitan bernafas akhir-akhir ini. aku baru mengetahuinya ketika dokter menyedot keluar cairan kotor itu. Berwarna kuning kemerahan seperti air seni. Aku terkejut ketika menyadari air yang dikeluarkan dari dalam dadaku mencapai satu setengah botol infus. Mungkin ini juga alasan mengapa ketika tidur aku selalu mengeluarkan banyak keringat.
“ Sebenarnya cairan ini wajar. Seperti kotoran hidung dan telinga, dan bisa menghilang bersama keringat jika volumenya wajar. Namun jika berlebihan cairan ini akan menekan paru-paru,” begitu penjelasan sang dokter.
Setelah pengambilan cairan yang lumayan melelahkan. Karena aku harus menahan sakit jarum yang menembus dada kananku. Akupun terlelap, bersama mimpi-mimpi yang kembali menghiasi.
Today’s dreams are tomorrow’s reality
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Terbangun. Dalam sayunya pandangan mata, kulihat sesosok berkacamata duduk di sisi ranjangku. Aku buru-buru menyegarkan pandangan begitu mengetahui bahwa sosok di sampingku adalah Ust Imanuddin, staff KMI yang pernah menjadi wali kelasku dua kali, 1G dan 5B.
“ Ustadz,” aku menyapa lirih, kucoba untuk bangun dan duduk namun beliau melarangku. Tubuhku lemah katanya.
Setelah beberapa saat menasehatiku, beliau meminta nomor orang tuaku yang bisa dihubungi. Aku sempat tak memberikan, karena tak ingin menjadi beban. Dalam beberapa sakitku sebelumnya, aku memang tak pernah mengabari orang tua, dan semuanya baik-baik saja.
“ Bagaimanapun, orang tuamu masih punya tanggung jawab wan,” nasehat beliau, beliau juga mengatakan bahwa keadaanku sudah amat kritis, sehingga orang tuaku perlu tahu.
“081267232867,” akhirnya kusebutkan juga nomor itu. Dan aku bisa menebak, setelah ini akan terjadi kehebohan besar di rumah.
Aku tak tahu kapan kelopak mata ini tertutup, saat tersadar Ust Imanuddin sudah tak ada di sisiku. Mungkin efek obat tidur yang membuat kantuk terus datang menyerang.
Oh, iya, aku juga ditemanin adik kelas satu daerah. Disini sensitifitas kedaerahan cukup membuat kami akrab. Dia begitu menikmati perannya, makan dengan lahab makanan yang tak kusentuh, dan tentu saja dia senang karena bisa meninggalkan kegiatan rutin pondok. Namanya Rifdhal, beberapa saat aku bercanda dengannya,mencoba melupakan ketakutanku akan kenyataan bahwa ujian akhir kelas enam tinggal dalam hitungan jari.
Al imtihanu fi atabati al baab.
``````````````````````````````````````````````````````````````````````
Suara-suara itu menyadarkanku. Sepertinya aku kenal, tiba-tiba sesosok tubuh memelukku,
“Nak!”
Saat kubuka mataku, wajah ibuku Nampak berlinangan air mata.
“ Ko sampai jadi begini,” masih dalam isaknya.
Aku hanya tersenyum, kulihat kakak perempuanku juga tiba. Ini tengah malam, jarum jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Selang beberapa saat kemudian ibuku melepaskan pelukanku. Benar tebakanku, ibuku pasti langsung kemari begitu mendengar kabar bahwa aku sakit. Kini aku yang tersenyum getir, bersama airmata yang sedikit menetes karena haru.
Untuk bisa sampai disini dalam waktu yang tak sampai satu hari, tentunya ibu sudah melakukan apa saja demi ini semua. Paginya meninggalkan pekerjaannya sebagai Guru SD di sekolah pelosok, berangkat menuju ibukota propinsi Bengkulu yang berjarak 140 Km dari rumah kami, sore langsung terbang menuju Jogjakarta. Langsung menuju Ponorogo meskipun hari sudah gelap, dan tiba disini dini hari begini.
Kuteringat pepatah masa kecilku,
Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang Jalan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sudah seminggu aku belum beranjak dari ranjang rumah sakit ini, dan ibu masih setia menemaniku. Kini sang waktupun memburuku, waktu praktek mengajar tinggal tersisa satu minggu.
Aku tak menyangka keadaanku akan seburuk ini, hasil rontgen terakhir masih belum menunjukkan perbaikan. Kata Pak Dokter berkacamata yang akhirnya kutau bernama Wisnu, memang sudah tak ada lagi cairan yang membahayakan paru-paruku, namun kini paru-paruku tak terkembang sempurna. Ibarat balon, patu-paruku mengempis sehingga dibutuhkan terapi untuk mengembalikannya ke bentuk semula. Rupanya bakteri bernama Mycobacterium Tubercolosis sudah terlalu banyak menghancurkan Aveolus paruku.

Kini aku ibarat robot. Jarum infus masih terpasang di tangan kiri. Sudah beberapa kali jarum infus itu ngambek minta ganti tempat. Kata perawat agar tidak terjadi infeksi. Jadilah tangan kiriku penuh tusukan bekas infus. Dan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, kini dalam dadaku ditanam sebuah selang, yang tersambung dengan tabung seberat 2 kilogram. Dokter wisnu menjelaskan, bahwa itu semua untuk membantu pengembangan paru-paruku yang sudah tak bisa dilakukan secara manual. Dengan keadaan seperti ini, aku tak bisa bergerak banyak.
Dengan berhati-hati tangan kananku mencoba mengangkat buku, mencoba membaca buku Masail Fiqhiyyah yang konon menjadi momok dalam ujian lisan kelas 6. Baru beberapa menit, tanganku sudah gemetaran. Aku hanya bisa menitikkan air mata.
“Sudahlah nak, yang penting kamu sehat dulu.” Ibuku mencoba menenangkanku yang terisak. Aku menjadi bertambah sedih ketika ingat perkataan Ust Masyhudi dalam pengarahan praktek mengajar . Dalam pengarahannya, Ust Mashadi selaku direktur KMI menekankan bahwa praktek mengajar amat penting. Tidak ada alasan bagi siapapun yang tidak mengikutinya. Hukumannya adalah skorsing satu tahun ajaran.
Pikiranku jauh melayang. Bagaimana jika aku harus mengulang kelas 6 tahun depan. Bagaimana aku bersikap nanti bila melihat teman-teman seangkatanku, Hilmi, Fathan, Aziz, menjadi pengajarku. Bagaimana pula bila Hilmi memanggilku karena aku telat mengajar pelajaran sore, atau Fathan menghukumku karena aku absen saat acara bahasa. Aku tidak habis pikir, bagaimana kebersamaan selama ini jika harus berakhir demikian. Namun yang terpenting, akankah usaha kerasku selama ini berakhir seperti itu. Tangisku semakin membesar. Kini air mata ibupun jatuh.
“Sabar ya nak!” Kupaksakan menghentikan tetes air mata ini agar ibukupun berhenti menangis.
Aku mulai pesimistis dengan keadaanku. Ujian lisan tinggal beberapa hari lagi, dan aku belum melakukan persiapan apapun. Semenjak Murojaah terakhir aku belum belajar serius karena demam yang ternyata gejala penyakit ini. Kalaupun bisa sembuh dan mengikuti ujian, nampaknya misiku untuk menjadi yang pertama di Yudisium kelas 6 takkan kesampaian. Aku mencoba untuk mulai menghadapi semua kemungkinan.
Man purposes, but God disposes
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ini hari kesebelas tabung itu menjadi bagian tubuhku. Badanku sudah terserang gatal-gatal. Namun hasil rontgen ke 5 dalam dua minggu terakhir ini belum menunjukkan hasil yang membuat dokter mengizinkan kepulanganku.
Aku ibarat anak kecil lagi. Makan minum disuapin, bahkan buang airpun ibuku dengan sabar membantuku.
Malam itu sebuah kejadian benar-benar membuatku terenyuh,
Seperti biasa ibu tidur dengan menaruh kepalanya pada pinggir ranjang. Karena terlalu lama mungkin, semut-semut pencari zat manis akhirnya berhasil menemukan obyek makanan baru berupa lukaku, dan merayap keselang tabung, kemudian mulai menggerogoti lubang tempat ditanamnya selang. Akupun mengerang kesakitan, ibu terbangun dan kemudian mengambil kapas untuk mengusir semut-semut kecil itu. Ketika ibuku mulai tertidur, semut semut itu datang lagi. Akupun kembali mengerang kesakitan, ibu kembali terjaga dan kembali mengusir semut-semut nakal itu. Begitulah sepanjang malam.
Allahumma Ighfir walidayya, Ya Allah engkau memang selalu mengirimkan malaikat yang selalu melindungiku.
Semenjak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak boleh mati sebelum melihat Ibuku tersenyum bangga kepadaku. Dan aku berjanji akan memberikan permata terindah untuk pelipur hatinya. Dan akan memberinya malaikat terbaik yang akan selalu membuatnya tersenyum.

Kasih ibu, kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya member, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Rabu, 19 Januari 2011

Just Go On!



I know,
this way maybe a rugged path,
full of difficulties and barriers,
just go on sister! go on!

I know,
this way may be so odd,
full of madness, and it is weird
but just go on sister! go on!

i know
in this way, there are something
hard to listen
hard to see
hard to feel
but just go on sister! go on!

I know
in this way,there are some people
unreasonable, irrational,
and self centered
but just go on sister! go on!

It is never about others,
it is always about you
and what is within

(dedicated to my sister, Rubba akhin lam talidhu walidatun)