RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Sabtu, 26 Februari 2011

Akibat Impolite Words

“Shut up your f**king mouth! Son of b*t*h!”

Dalam perjalanan menuju Qoah aku mengoceh seenaknya. Akhir-akhir ini intensitas belajar bahasa inggrisku memang sedang on fire. Dibantu dengan banyaknya buku rujukan belajar bahasa inggris yang memang bertebaran di kantor CLI, juga dengan semakin seringnya aku mendengar conversation dan terutama lagu-lagu berbahasa inggris. Aku mulai percaya diri melafadzkan kata-kata bahasa asing ini. Kini aku sering asyik berguman sendirian memperlancar pronounciationku, sayangnya banyak kata-kata kotor yang juga lepas dari mulutku.

Kalimat diatas adalah salah satunya, anda tahu apa akibatnya?

Jumat, 25 Februari 2011

ALI / C

Pagi itu Tasji’ Ust Daniel benar-benar membakar semangatku.
“ Kalian tahu, apa yang membuat negara Amerika serikat begitu maju?” jelasnya dengan menggunakan metode Tajahul Siqroti. Dengan suara lantang beliau meneriakkan kata-kata tersebut dihadapan kami, santri kelas 1 G. Meskipun suaranya melangking namun tak mengurangi kewibawaannya, terutama karena setiap kata yang terucap dari bibirnya nampak bersumber dari hatinya.

Janjiku Untuk Ibu


500 mililiter, jumlah yang sedikit jika ukurannya adalah banyaknya asupan air putih yang dikonsumsi tubuh dalam sehari. Karena tubuh memerlukan minimal 1600 ml air putih demi lancarnya system metabolism tubuh. Namun itu menjadi jumlah yang besar, jika ukurannya adalah cairan kotor dalam rongga paru-paru.
Karena air dengan volume sebanyak itulah yang menyebabkan aku kesulitan bernafas akhir-akhir ini. aku baru mengetahuinya ketika dokter menyedot keluar cairan kotor itu. Berwarna kuning kemerahan seperti air seni. Aku terkejut ketika menyadari air yang dikeluarkan dari dalam dadaku mencapai satu setengah botol infus. Mungkin ini juga alasan mengapa ketika tidur aku selalu mengeluarkan banyak keringat.
“ Sebenarnya cairan ini wajar. Seperti kotoran hidung dan telinga, dan bisa menghilang bersama keringat jika volumenya wajar. Namun jika berlebihan cairan ini akan menekan paru-paru,” begitu penjelasan sang dokter.
Setelah pengambilan cairan yang lumayan melelahkan. Karena aku harus menahan sakit jarum yang menembus dada kananku. Akupun terlelap, bersama mimpi-mimpi yang kembali menghiasi.
Today’s dreams are tomorrow’s reality
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Terbangun. Dalam sayunya pandangan mata, kulihat sesosok berkacamata duduk di sisi ranjangku. Aku buru-buru menyegarkan pandangan begitu mengetahui bahwa sosok di sampingku adalah Ust Imanuddin, staff KMI yang pernah menjadi wali kelasku dua kali, 1G dan 5B.
“ Ustadz,” aku menyapa lirih, kucoba untuk bangun dan duduk namun beliau melarangku. Tubuhku lemah katanya.
Setelah beberapa saat menasehatiku, beliau meminta nomor orang tuaku yang bisa dihubungi. Aku sempat tak memberikan, karena tak ingin menjadi beban. Dalam beberapa sakitku sebelumnya, aku memang tak pernah mengabari orang tua, dan semuanya baik-baik saja.
“ Bagaimanapun, orang tuamu masih punya tanggung jawab wan,” nasehat beliau, beliau juga mengatakan bahwa keadaanku sudah amat kritis, sehingga orang tuaku perlu tahu.
“081267232867,” akhirnya kusebutkan juga nomor itu. Dan aku bisa menebak, setelah ini akan terjadi kehebohan besar di rumah.
Aku tak tahu kapan kelopak mata ini tertutup, saat tersadar Ust Imanuddin sudah tak ada di sisiku. Mungkin efek obat tidur yang membuat kantuk terus datang menyerang.
Oh, iya, aku juga ditemanin adik kelas satu daerah. Disini sensitifitas kedaerahan cukup membuat kami akrab. Dia begitu menikmati perannya, makan dengan lahab makanan yang tak kusentuh, dan tentu saja dia senang karena bisa meninggalkan kegiatan rutin pondok. Namanya Rifdhal, beberapa saat aku bercanda dengannya,mencoba melupakan ketakutanku akan kenyataan bahwa ujian akhir kelas enam tinggal dalam hitungan jari.
Al imtihanu fi atabati al baab.
``````````````````````````````````````````````````````````````````````
Suara-suara itu menyadarkanku. Sepertinya aku kenal, tiba-tiba sesosok tubuh memelukku,
“Nak!”
Saat kubuka mataku, wajah ibuku Nampak berlinangan air mata.
“ Ko sampai jadi begini,” masih dalam isaknya.
Aku hanya tersenyum, kulihat kakak perempuanku juga tiba. Ini tengah malam, jarum jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Selang beberapa saat kemudian ibuku melepaskan pelukanku. Benar tebakanku, ibuku pasti langsung kemari begitu mendengar kabar bahwa aku sakit. Kini aku yang tersenyum getir, bersama airmata yang sedikit menetes karena haru.
Untuk bisa sampai disini dalam waktu yang tak sampai satu hari, tentunya ibu sudah melakukan apa saja demi ini semua. Paginya meninggalkan pekerjaannya sebagai Guru SD di sekolah pelosok, berangkat menuju ibukota propinsi Bengkulu yang berjarak 140 Km dari rumah kami, sore langsung terbang menuju Jogjakarta. Langsung menuju Ponorogo meskipun hari sudah gelap, dan tiba disini dini hari begini.
Kuteringat pepatah masa kecilku,
Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang Jalan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sudah seminggu aku belum beranjak dari ranjang rumah sakit ini, dan ibu masih setia menemaniku. Kini sang waktupun memburuku, waktu praktek mengajar tinggal tersisa satu minggu.
Aku tak menyangka keadaanku akan seburuk ini, hasil rontgen terakhir masih belum menunjukkan perbaikan. Kata Pak Dokter berkacamata yang akhirnya kutau bernama Wisnu, memang sudah tak ada lagi cairan yang membahayakan paru-paruku, namun kini paru-paruku tak terkembang sempurna. Ibarat balon, patu-paruku mengempis sehingga dibutuhkan terapi untuk mengembalikannya ke bentuk semula. Rupanya bakteri bernama Mycobacterium Tubercolosis sudah terlalu banyak menghancurkan Aveolus paruku.

Kini aku ibarat robot. Jarum infus masih terpasang di tangan kiri. Sudah beberapa kali jarum infus itu ngambek minta ganti tempat. Kata perawat agar tidak terjadi infeksi. Jadilah tangan kiriku penuh tusukan bekas infus. Dan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, kini dalam dadaku ditanam sebuah selang, yang tersambung dengan tabung seberat 2 kilogram. Dokter wisnu menjelaskan, bahwa itu semua untuk membantu pengembangan paru-paruku yang sudah tak bisa dilakukan secara manual. Dengan keadaan seperti ini, aku tak bisa bergerak banyak.
Dengan berhati-hati tangan kananku mencoba mengangkat buku, mencoba membaca buku Masail Fiqhiyyah yang konon menjadi momok dalam ujian lisan kelas 6. Baru beberapa menit, tanganku sudah gemetaran. Aku hanya bisa menitikkan air mata.
“Sudahlah nak, yang penting kamu sehat dulu.” Ibuku mencoba menenangkanku yang terisak. Aku menjadi bertambah sedih ketika ingat perkataan Ust Masyhudi dalam pengarahan praktek mengajar . Dalam pengarahannya, Ust Mashadi selaku direktur KMI menekankan bahwa praktek mengajar amat penting. Tidak ada alasan bagi siapapun yang tidak mengikutinya. Hukumannya adalah skorsing satu tahun ajaran.
Pikiranku jauh melayang. Bagaimana jika aku harus mengulang kelas 6 tahun depan. Bagaimana aku bersikap nanti bila melihat teman-teman seangkatanku, Hilmi, Fathan, Aziz, menjadi pengajarku. Bagaimana pula bila Hilmi memanggilku karena aku telat mengajar pelajaran sore, atau Fathan menghukumku karena aku absen saat acara bahasa. Aku tidak habis pikir, bagaimana kebersamaan selama ini jika harus berakhir demikian. Namun yang terpenting, akankah usaha kerasku selama ini berakhir seperti itu. Tangisku semakin membesar. Kini air mata ibupun jatuh.
“Sabar ya nak!” Kupaksakan menghentikan tetes air mata ini agar ibukupun berhenti menangis.
Aku mulai pesimistis dengan keadaanku. Ujian lisan tinggal beberapa hari lagi, dan aku belum melakukan persiapan apapun. Semenjak Murojaah terakhir aku belum belajar serius karena demam yang ternyata gejala penyakit ini. Kalaupun bisa sembuh dan mengikuti ujian, nampaknya misiku untuk menjadi yang pertama di Yudisium kelas 6 takkan kesampaian. Aku mencoba untuk mulai menghadapi semua kemungkinan.
Man purposes, but God disposes
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ini hari kesebelas tabung itu menjadi bagian tubuhku. Badanku sudah terserang gatal-gatal. Namun hasil rontgen ke 5 dalam dua minggu terakhir ini belum menunjukkan hasil yang membuat dokter mengizinkan kepulanganku.
Aku ibarat anak kecil lagi. Makan minum disuapin, bahkan buang airpun ibuku dengan sabar membantuku.
Malam itu sebuah kejadian benar-benar membuatku terenyuh,
Seperti biasa ibu tidur dengan menaruh kepalanya pada pinggir ranjang. Karena terlalu lama mungkin, semut-semut pencari zat manis akhirnya berhasil menemukan obyek makanan baru berupa lukaku, dan merayap keselang tabung, kemudian mulai menggerogoti lubang tempat ditanamnya selang. Akupun mengerang kesakitan, ibu terbangun dan kemudian mengambil kapas untuk mengusir semut-semut kecil itu. Ketika ibuku mulai tertidur, semut semut itu datang lagi. Akupun kembali mengerang kesakitan, ibu kembali terjaga dan kembali mengusir semut-semut nakal itu. Begitulah sepanjang malam.
Allahumma Ighfir walidayya, Ya Allah engkau memang selalu mengirimkan malaikat yang selalu melindungiku.
Semenjak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak boleh mati sebelum melihat Ibuku tersenyum bangga kepadaku. Dan aku berjanji akan memberikan permata terindah untuk pelipur hatinya. Dan akan memberinya malaikat terbaik yang akan selalu membuatnya tersenyum.

Kasih ibu, kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya member, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia