RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 17 Januari 2014

Diam

Coelho bilang, bagi orang-orang yang tidak takut berada dalam kesepianyang menyingkap misteri-misteri,  hal-ihwal akan nampak (reveals) dengan rupa yang berbeda.

Saya mendengarnya pertama kali dari guru menulis, lebih dari setahun lalu, dalam sela-sela komentarnya terhadap cerpen milik saya. Ia bilang dengan kening berkerut. Nampaknya, kegusaran itu bukan sekedar basa-basi pelengkap pelajaran menulis sore itu.

“Sekarang ini, ruang komentar dalam dunia maya sudah menjadi ajang unjuk gigi. Tapi isi kepala tak pernah bohong. Orang-orang bodoh hanya akan mendedah ketololannya lewat komentar-komentar tak bermutu.”

Redaksi di atas milik saya, saya lupa bagaimana tepatnya. Intinya, beliau mencemaskan perkembangan budaya masyarakat Indonesia yang semakin vokal berkomentar. Sayangnya, sikap ini tanpa dibarengi tanggungjawab intelektual dan moral.

Barangkali spirit demokrasi turut membuka keran kecenderungan baru ini. Dengan kebebasan berekspresi yang sangat dijunjung tinggi, setiap orang dewasa ini dapat bertindak apa saja, tanpa perlu cemas ada peluru petrus yang tiba-tiba nyasar di kepala. Sekarang, semua orang dapat berpolah seakan-akan ahli, namun tanpa berpikir panjang akan konsekuensi.

Saya kemudian turut terjangkit kekhawatiran itu. Apa pasal? Di tempat saya hidup, Masisir mulai semakin cerewet. Setiap kejadian tak lepas dari tanggapan. Masalahnya, tidak semua respon disampaikan dengan bahasa akademisi yang menuntut renungan dan etika. Banyak kalimat-kalimat tak pantas mengotori kolom-kolom komentar.

Saya ingin mengatakan, bahwa dunia maya adalah pertaruhan integritas. Di saat karya-karya Masisir belum mampu menunjukkan potensi komunitas ini, orang-orang luar tetap dapat menilai dinamika kehidupan sosial-intelektual kita melalui dunia maya. Mereka tidak hanya mengendapkan pemikiran Masisir dalam menilai benar-salah suatu perkara, tetapi juga mencerna sikap dan budaya intelektual kita dalam berbeda pandangan, debat, dan cara menghadapi masalah.

Saya khawatir penyakit ini semakin serius. Baru-baru ini marak lagi akun-akun anonim yang mengumbar bola liar tentang isu-isu sensitif. Bukan benar salah kultwitnya yang utama, tetapi bagi saya, akun-akun yang tak bisa diidentifikasi adalah bentuk ketidakbertanggungjawaban. Melihat fenomena ini, saya takut nalar kita hanya mampu mencontek sikap-sikap buruk dari dinamika Indonesia, sementara di saat bersamaan, gagal memberi nilai positif pada diri sendiri.

Belum lama ini, di tengah sukarnya ujian, perdebatan kembali marak. Ada seorang kawan mencetuskan ide bagus. Fahmi Hasan, kawan itu, meminta saya memasang foto profil seragam, orang dengan telunjuk di bibir. Intinya pesan kepada siapa saja untuk lebih banyak diam daripada berkomentar yang tak dapat dipertanggungjawabkan.

Rupanya, masalah kita ini juga pelik di tanah air. Dalam pidato kebudayaan di DKJ beberapa waktu lalu, seorang kontestan, Karlina Supelli, mengusulkan satu solusi:

“Ruang-ruang publik sudah terlalu gaduh dengan komentar siapa saja yang bisa menjadi pakar apa saja di segala persoalan. Tugas kebudayaan para budayawan dan intelektual adalah menghidupkan kembali, pada aras praktek, perbedaan yang ketat antara komentar acak dan pemikiran yang berakar dari perenungan mendalam.”

Lebih jauh, budayawan Emha Ainun Najib ternyata sudah melek akan masalah ini. Karena itu dia seperti ditelan bumi, jarang sekali muncul di media. Dalam salah satu wawancara ia berkata:

“Tapi bahwa saya jarang bicara di media, itu karena saya melihat sebagian besar media saat ini sudah sangat tidak mengasyikkan. Terlebih di zaman yang salah satunya melihat ketenaran sebagai kebenaran, media berkontribusi besar menjadikan kebodohan menjadi milik masyarakat. Dan jujur saja, kenyataan yang terjadi pada media ini menjadikan saya tidak bahagia dan terangsang untuk kembali menulis.”

Barangkali kesadaran mental macam ini pula yang membuat saya semakin jarang menulis. Tetapi sepertinya hal ini tepat. Sekaranglah saatnya, orang-orang yang “benar-benar” berpendidikan dan berbudaya perlu memberi contoh bersikap cerdas. Meski sikap itu adalah diam.

Kafa bi al-mar’I kadziban an yuhadditsa bi kulli ma sami’a