RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 13 Desember 2012

Sepakbola




Bagi orang yang tidak cakap bermain bola seperti aku, wawasan sepakbolaku mungkin membuat orang mengernyitkan dahi. Pasalnya, aku mengetahui hingga detil-detil kecil informasi seputar olahraga paling masyhur ini. Dari yang mendasar seperti nama pemain, pelatih, warna kebesaran tim, kota tempat domisili, hingga perkara-perkara rumit seperti sejarah klub, rekor pemain, latar belakang pemain, serta sedikit tentang strategi permainan. Bagiku, memelototi dinamika persepakbolaan adalah refreshing activity yang punya kenikmatan tersendiri, setara dengan main game, nonton film atau ngupil bagi orang yang hobi demikian, hehe.

Terlebih lagi, sepakbola memberiku lebih dari sekedar kesenangan. Dari memelototinya saja, aku bisa merasakan timbal balik positif. Dari sana aku mengadaptasi ruh kompetisi, belajar memahami proses menuju keberhasilan, serta menemukan pentingnya kekuatan mental. Sepakbola bagiku lebih dari tertawa senang ketika Real Madrid menang atau tertunduk sayu saat Timnas Garuda lagi-lagi menelan kekalahan.

Sepakbola –menurutku- adalah ajang yang belum tersentuh kepentingan politik sehingga perhelatannya masih sehat. Dalam arena sepakbola, kita masih bisa melihat tim-tim yang tak diunggulkan bisa membungkam para jawara. Contoh paling dekat adalah ketika beberapa hari yang lalu Arsenal dikalahkan oleh Bradford.  Di atas kertas, sepertinya mustahil bagi Bradford bahkan untuk mencetak gol ke gawang Wojciech Szczesny. Tapi, dalam sepakbola dikenal istilah “bola itu bundar”. Artinya, segala kemungkinan bisa terjadi.

Sepakbola –lagi-lagi menurutku- sudah menjelma menjadi cermin kecil kompleksitas hidup. Di sana ada banyak drama, konflik, trik-intrik, dan alur yang tak selamanya bisa ditebak. Dari sana kita bisa menelaah bagaimana menjadi juara. Diantaranya diperlukan persiapan, kerja keras, kerjasama, kreatifitas, kecerdasan, kekuatan mental dan yang paling penting, keberuntungan. Pentas yang menyuguhkan miniatur lakon hidup seperti itu bagiku layak mendapatkan porsi perhatian yang lumayan. 

Dari kompetisi sepakbola yang terus bergulir, ada kalanya aku mendapatkan pelajaran yang amat sangat baik diterapkan dalam kehidupan. Contohnya, musim lalu, di awal musim Chelsea terseok-seok di liga Inggris, dikalahkan Napoli 3-1 di leg pertama perempatfinal liga Champion (hampir mustahil untuk lolos) lalu memecat pelatih. Siapa yang menyangka di akhir musim mereka mendapatkan dua gelar –piala Liga dan Champion Eropa-? 

Dari kisah Chelsea di atas, aku mendapaati sebuah pelajaran yang sepertinya sangat pas digambarkan oleh Winston Churchill dengan kata-katanya: “Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts.” Ya, kemenangan bukanlah pamungkas, dan kekelahan hari ini bukanlah  akhir dunia, masih ada kesempatan lain di hari esok.


Kisah di atas hanya satu diantara banyak pelajaran yang kupaksakan untuk dimengerti lalu dijadikan motivasi dalam hidup. Karena tersebarnya pelajaran-pelajaran penting semacam inilah mencermati sepakbola –bagiku- bukan sekedar buang-buang waktu. Entah, mungkin demikian pula eksotisnya bermain boneka dan merangkai bunga-bunga. Aku tak tahu.
Real Madrid, tim jawara pujaanku.

Senin, 10 Desember 2012

Teladan



“Be the CHANGE you want to see in the world.” (Mahatma Ghandi)


Kita bukan sesuatu yang benar-benar baru. Ada banyak prototipe yang mendahului edisi kita. Masing-masing model memiliki identitas tersendiri. Unik. Saling berbeda satu sama lain.

Di rimba biologi, ada sebuah teori kontroversial tentang evolusi bentuk fisik mahkluk hidup. Teori yang saat ini mejadi kurikulum sekolah ini ‘katanya’ sudah ada bibitnya sejak zaman Yunani Kuno. Bahkan beberapa ilmuwan Islam seperti punggawa Muktazilah, al-Jahidz, dan filosof sekaligus psikolog, Ibnu Miskawaih, disinyalir memiliki pendapat yang mirip. Definisi sederhana evolusi adalah perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Masih dalam penurunan sifat, mari kita mampir sejenak ke ranah metafisik. Dalam dunia teosofis ini masih terdapat debat panjang tentang asal mula alam semesta. Apakah alam itu qadim atau hadist? Ada satu masalah lagi yang sebenarnya juga menarik namun tidak menyita perhatian sebesar pertanyaan pertama, apakah alam semesta diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilio) ataukah ia tercipta dari bahan yang sudah ada sebelumnya (creatio ex material)?

Sebenarnya aku hanya ingin membincang perkara sederhana. Tidak dalam rangka memberikan antitesa terhadap teori Darwin yang “sepertinya” sangat kuat dengan dukungan penemuan Hugo De Vries tentang genetika. Tidak pula sedang “iseng” campur tangan dalam debat panjang antara filosof dan cendekiawan solastik muslim yang saling adu kuat referensi agamis. Pun tidak dalam proses pembuatan mobil berbahan air prototipe baru (saya bukan SBY). Mungkin bahasan ini lebih bersifat psikologis meski aku juga tak terlalu paham teori-teori ilmu psikologi.

Seorang seniorku pernah bilang, “kita hanyalah modifikasi dari orang-orang sebelum kita.”

Mendengar kalimat di atas, aku tersadarkan kembali tentang pentingnya memiliki teladan. Ibarat barang mekanik yang membutuhkan tambalan di sana-sini di setiap keluaran terbaru, manusiapun sama. Kita bukanlah produk komplet dengan segala orisinalitas kecuali sekedar potensi. Istilah “al-mar’u ibnu biatihi” memberi bukti lain bahwa meniru adalah keniscayaan manusia. Istilah itu juga bisa memiliki makna lain, semacam ancaman, “jika kita tidak memutuskan untuk memiliki teladan dan prinsip yang akan kita copy, maka lingkungan sekitar kitalah yang lambat laun membentuk kita; jika kita tidak aktif mendesain pribadi kita sendiri, kita akan jadi korban desainer alami bernama alam.”

Well, karena itu, marilah memiliki teladan. Carilah kepribadian yang sesuai dengan karakter Anda, berikan inovasi-inovasi yang lebih orisinil dari pribadi Anda sendiri, lalu jadilah diri anda yang sama sekali berbeda dari orang lain.



Here's some options you may take (they are my idol in some parts)


Obama


Jose Mourinho

Pray For Egypt


Sebenarnya selama kurang lebih dua tahun ini, keadaan Mesir tak pernah stabil. Kekacauan demi kekacauan tak henti-hentinya terjadi.  Unjuk rasa, bentrok, suara-suara tembakan silih berganti menambah ricuh Kairo –juga di daerah-daerah lain- yang normalnya sudah sumpek. Semenjak Revolusi Pemuda 25 Januari–dan kejadian-kejadian pra-revolusi-, Mesir ibarat sekam yang terjilat api, membara.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tank-tank tentara berpatroli di jalanan (menjelang penggulingan Mubarak),  mendengar desing-desing tembakan di malam hari, menyaksikan rakyat Mesir berbahagia dalam perayaan setahun revolusi 25 Januari 2012, aku menjadi saksi hidup bagi masing-masing tawa riang euforia masyarakat Mesir maupun buncah kengerian mereka selama hampir dua tahun ini.

Perayaan Revolusi 25 Januari 2012 lalu

Tapi, sejujurnya, aku tak pernah sekhawatir sekarang.  Dahulu, saat pelengseran Mubarak, meski juga terbersit rasa takut, dalam hatiku tumbuh rasa bangga –dan ini mengalahkan rasa takutku- karena melihat rakyat bersatu padu. Kala itu jelas siapa yang benar siapa yang salah, dan itu membuatku yakin bagaimana alur cerita akan berjalan.  

Kali ini, saat rakyat Mesir terbagi menjadi dua kubu (pro Mursi dan anti Mursi) aku lebih ketar-ketir. Pasalnya, sekarang keadaan lebih sulit ditebak. Jika pemerintah (Mursi) bergerak cekatan dan bijaksana serta rakyat tidak mudah terprovokasi, keadaan bisa kembali normal segera. Tapi entah kenapa, prediksiku mengatakan kekacauan akan berlarut-larut, meski sejujurnya aku tak ingin skenario buruk macam ini terjadi.

Aku tak mau berspekulasi lebih jauh mengenai kondisi Mesir selanjutnya. Aku hanya bisa berdoa, semoga keadaan bisa pulih seperti sedia kala selekasnya. Karena sayangnya, kekalutan ini terjadi ketika kesadaranku bahwa Mesir lebih berharga daripada yang aku bayangkan sebelumnya mulai muncul. Baru-baru saja aku tersadar bahwa talaqqi ternyata melatih otak penalaran-penalaran logis, sesuatu yang bahkan tidak bisa didapatkan dalam kongkow-kongkow komunitas sok gaul sekalipun. Dalam kajian-kajian itulah, keilmuan Islam yang kejayaannya pernah menerangi dunia terkubur.

Terlebih lagi, kericuhan ini memanas ketika sebagian dunia Islam mulai menaruh harapan pada kekuatan politik baru, Mesir. “Mesir sekarang bukanlah Mesir kemarin, dunia Arab sekarang bukanlah dunia Arab kemarin,” demikian kalimat Mursi berkenaan dengan sikap Mesir atas masalah Palestina. Mesir juga dianggap berhasil menjadi perantara perundingan Hamas-Israel belum lama ini.

Untuk alasan apapun, umat manusia tetap harus mendoakan saudaranya agar selalu dalam kedamaian. Cz when the rich wage war it’s the poor who die (LP).

Nowadays's condition

Rabu, 28 November 2012

Cermin


Cermin
Pernahkah kau berkaca selain kepada cermin? Bukan, bukan pada kubangan air jernih yang juga bisa memantulkan bayangan. Yang aku maksud, adakah kalanya di dunia ini kau menemukan dirimu dalam sosok yang lain?

Aku pernah. Suatu sore, saat duduk di tepi jendela bus, dan seperti biasanya mengedarkan pandangan ke luar, aku terkejut. Mataku menangkap sosok yang sangat familiar. Aku sangat mengenalinya. Tak salah lagi, itu aku. 

Aku melihat diriku berjalan menyusuri trotoar. Sendirian. Cuek sekali. Sesekali ia menyipitkan mata, memperhatikan sekeliling dengan muka terdongak. Orang bilang cara berjalan seperti itu angkuh. Akhirnya aku menyaksikan sendiri bagaimana langkah-langkah gontai yang biasa ku ayunkan menderap. Cepat dan pasti. Acuh dan sedikit congkak.

Lalu, ada momen yang kuanggap paling berharga dan berkenan dalam hidup. Ketika aku duduk bertatap muka dengan diriku. Waktu itu, kebetulan bulan sedang berpurnama, aku dan diriku dipertemukan Tuhan untuk menghabiskan separuh malam bersama. Di sebuah toko minuman, ditemani dua buah koktail yang dalam beberapa kesempatan saling tertukar. Aku rasa, tiada skenario yang lebih kebetulan dari malam itu.

Aku dan diriku saling berpandangan. Sama-sama menikmati setiap kerjapan mata yang begitulah cara kami berkedip, mengaguminya. Lalu lewat pintu bola mata itu, masing-masing mencoba menyelami apa saja yang menjadi misteri hati, menebak-nebak isi palung nurani. Begitulah cara kami semalaman berkomunikasi. Karena waktu itu, mengucapkan kata-kata seperti perbuatan terlarang. Tiba-tiba saja bibir ini seperti berada dalam freezer, beku. Dan lidah ini seperti diberi pemberat, kelu.

Malam itu, kata-kata terkebiri oleh sebuah ketakjuban. Aku tersentak dengan adanya "aku" lain di alam nyata. Anehnya, "aku" yang satu ini berbeda bentuk, walaupun sangat similar. Dan sejak saat itu, aku bersusah payah mengelak adanya sosok yang 90% refleksi diriku, meski dalam bungkus yang lain versi. Aku menahan diri untuk tidak mengungkapkan kekaguman secara gamblang, serta lucunya, menertawai kekurangan yang sebenarnya adalah nilai minusku.

Kemiripan itu bukan karena kami kembar. Tidak, bukan kembaran. Ibuku tak pernah cerita kalau aku punya saudara kembar yang terpisah. Lagipula, kami sebenarnya berbeda jika patokannya adalah fisik. Aku lebih tinggi belasan centimeter. Kemudian, jika kulitku benar-benar tipe melayu, sawo matang, maka kulitnya lebih mirip durian setengah matang, kuning keputih-putihan. Lalu, aku menemukan di beberapa bagian mukaku, antara hidung dan bibir, dagu hingga mendekati leher, rambut-rambut tipis tumbuh, sementara kulit wajahnya benar-benar mulus dari rambut-rambut nyasar seperti itu. Ya, kalian tahu, itu karena aku laki-laki dan dia seorang perempuan.

Persamaan antara kami lebih bersifat internal daripada tampilan luar. Kami sama-sama punya perasaan yang sensitif, mudah tersinggung tapi juga pengkhayal yang hebat. Dari tindak-tanduk, aku juga menyimpulkan keseragaman karakter dengannya. Kami sama-sama tak suka menjadi sorotan publik. Lebih suka duduk di belakang jika perkumpulan dan hanya berbicara sedikit saja jika diperlukan. Tapi kami juga sebenarnya bukan pendiam. Kami usil, iseng, ceroboh bahkan terlalu heboh jika bersama orang-orang yang membuat kami nyaman.

Tetang persamaan, dosenku pernah bilang, manusia cenderung mencintai apa yang mirip dengannya. Pak Mahmud, nama dosenku itu, juga bercerita. Suatu ketika ada dua ekor burung tak sejenis, gagak dan merpati, berbarengan selalu. Orang-orang takjub, bagaimana bisa burung yang tak ada persamaannya itu bersama-sama. Lalu, seketika dua ekor burung itu berjalan, nyatalah bahwa keduanya ternyata sama-sama pincang. Demikianlah, persamaan-persamaan seringkali menjadi awal sebuah kebersamaan.

Suatu ketika, karena kesamaan-kesamaan yang di mataku semakin gamblang terlihat, aku menceritakannya kepada seorang sahabat, Satria namanya. Tahukah kalian apa komentarnya?

“Itulah jodohmu, Ray. Dialah potongan puzzle yang akan melengkapimu.”

Semenjak mendengar pendapat Satria itu, aku banyak menghabiskan hari-hariku dalam sepi. Menyendiri memikirkan apa yang harus aku perbuat selanjutnya. Menghabiskan malam bersama bergelas-gelas kopi hanya untuk menuliskan puisi. Untuknya tentu saja, buat siapa lagi. Nyaris satu minggu aku tak keluar rumah. Lalu tibalah saatnya aku keluar, aku pura-pura siap mendengarkan apa saja yang akan menjadi jawaban dari pertanyaanku kepadanya. Oia, namanya Mary.

“Mary, will you marry me?”

Aku membawa setangkai mawar merah. Kubungkus tangkai bunga itu dengan kertas merah marun bertuliskan puisi terbaikku. Lututku bertekuk di hadapannya. Pandanganku menunduk. Hanya menengadahkan sang mawar.

“Ray bagunlah! Tataplah mataku!”

Hatiku sumringah mendengar jawaban itu. Segera saja lekat-lekat ku pandang bola matanya. Amboi, dia tersenyum.

“Aku rasa kita lebih baik menjadi sahabat. Persahabatan lebih suci dari cinta. Karena cinta adalah persahabatan yang telah dikotori nafsu.”

Aku tak kuat berkata-kata mendengar semua itu. Dia benar. Dan selalu benar. Jawabannya benar-benar telak menusukku. Menghujam tepat di jantungku. Aku kalah. Tapi setidaknya, luka itu tergores di dada. Para malaikatpun menyaksikan, aku sudah bertarung.

Tapi, nyatanya, dia tak sesuci yang mulut manisnya ucap. Beberapa hari setelah itu aku saksikan ia jalan berdua dengan teman yang ku kenal baik. Dan yang menyedihkan, dalam pandanganku, pria itu tak cukup baik untuknya. 

“Justru karena kita sama, maka kita tak mungkin bersatu. Dalam ilmu listrik, kita sama-sama positif. Kita butuh tegangan negatif untuk menghidupkan lampu-lampu kehidupan, untuk menerangi dunia.

Mungkin kata-katanya ada benarnya. Mungkin selama ini aku terlalu narsisnya, berlebihan mengagumi bayanganku sendiri. Mungkin ada baiknya kami terpisah. Terpencar ke arah angin berbeda, mencari pasangan yang tak sama. Untuk lebih berguna hidup di dunia. Tapi,

Apa yang Bisa Kita Lakukan Untuk Palestina

Produk Yahudi
Saya bukan peramal, tapi saya prediksikan kasus Palestina masih akan berlarut-larut. Sedihnya, masalah ini –menurut hemat saya- masih akan berkisar pada serangan-serangan membabi buta Israel, peluncuran satu dua roket balasan Hamas yang tak sebanding, debat tegang di PBB yang bagaimanapun hasilnya Amerika akan mem-vote, negara-negara muslim (khususnya Arab) yang masih setengah hati dalam membantu, dan kita (rakyat jelata) masih akan terjebak dengan menangisi nasib penduduk Palestina tanpa bisa berbuat apa-apa. Hal paling banter yang bisa kita lakukan hanyalah menghadiri konser musik amal serta menyisihkan sedikit uang kita setelahnya. Itupun dengan ketidakpastian apakah uang kita tersalurkan kepada rakyat Palestina karena akses menuju ke sana sangat terbatas. Respon lain yang sering kita lihat adalah unjuk rasa dengan membakar bendera Israel –mereka tetap tidak peduli-.

Keadaan yang demikian masih akan berlangsung dalam tempo yang cukup lama, lagi-lagi menurut saya. Mungkin ini adalah strategi Israel untuk menyiksa batin rakyat Palestina dengan sikap politik mereka. Mereka tidak akan menyatakan perang secara terbuka karena Israel tahu itu justru membahayakan eksistensi Negara Yahudi itu. Mereka lebih memilih melakukan serangan-serangan skala kecil dan sedang serta bertahap. Semua itu dilakukan untuk meneror psikologi rakyat Palestina hingga akhirnya mereka sendiri yang memilih pergi dari tanah leluhurnya. Rakyat Palestina hidup dalam kungkungan ancaman maut yang dengan tiba-tiba bisa saja merenggut nyawa mereka, atau nyawa anak istri tercinta mereka. Siapa yang tahan terus menerus hidup dalam kekhawatiran?

Rakyat Palestina sudah berjuang mati-matian untuk sebuah kemerdekaan. Hamas sebagai kekuatan politik terkuat sudah mengusahakan yang terbaik. Di dalam negri, Hamas mendapatkan banyak dukungan karena merakyat. Mereka bekerja keras membangun masyarakat dengan mental yang kuat. Hamas mengajak rakyat meramaikan masjid, mengajari mereka pendidikan, memberi pelayanan kesehatan, toleran terhadap kaum Kristen dan minoritas, semuanya demi memperjuangkan cita-cita Palestina Merdeka. Sementara di luar negri, mereka membina hubungan dengan Negara-negara lain, mengumpulkan dana dari simpatisan, serta terus menerus mengusahakan diplomasi kepentingan mereka di forum Internasional. Sesekali mereka memperlambat gerakan Israel dengan pemuda-pemuda berketapel atau juga sesekali membalas serangan Israel dengan roket jika keterlaluan. Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Kita perlu tahu, kerja keras berteman peluh dan darah dari para pejuang itu masih menemukan rintangan yang tak mudah. Di dalam negri, Hamas masih harus sering berdialog dengan Fatah, karena tak jarang muncul intimidasi yang bisa mengobarkan perang saudara. Selain dengan Fatah, mereka juga harus banyak duduk semeja dengan fraksi-fraksi lain seperti Jihad Islam dan semacamnya. Tidak mudah untuk menyatukan visi dari perspektif yang beragam. Itu belum termasuk masalah minimnya kekuatan finansial untuk operasional dalam negri Palestina.

Di forum internasional, kekuatan politik mereka yang mendukung Israel masih terlalu dominan. Di PBB ada veto 5 negara besar. Di Amerika ada lingkaran setan bernama sistem dualisme Republik dan Demokrat. Lobi-lobi Yahudi juga masih kuat di sana. Sementara masalah dalam umat muslim sendiri juga kompleks. Di antara negara-negara muslimpun sering terjadi ketidaksepakatan dalam menangani masalah Palestina. Juragan-juragan minyak Arab lebih suka menginvestasikan uang mereka untuk tim-tim sepakbola, atau membangun pulau-pulau impian dengan menimbun laut lepas.

Begitulah umat Islam saat ini, kita bukan saja tidak punya kekuatan untuk meringankan penderitaan saudara kita di Palestina, tetapi secara tidak sadar juga ikut mendukung serangan Israel. Mari kita mawas diri, apakah kita termasuk pihak yang demikian. Pasalnya, ternyata banyak sekali perusahaan-produsen barang-barang kebutuhan kita adalah mereka yang terang-terangan membantu Israel dengan memberikan bantuan finansial tiap tahunnya.

Pernahkah suatu hari Anda belanja di Carefour, lalu membeli celana jeans merk Calvein Klein atau George Armani di sana, kemudian membeli Johnshon & Johshon untuk kado bayi handai taulan, sebelum pulang menonton film Hollywood di 21 dan mampir mengisi perut di KFC, tak sadarkah Anda bahwa Anda sedang menyumbangkan pundi-pundi uang Anda untuk kepentingan Zionis. Masih banyak lagi produk-produk perusahaan penyokong Zionisme berada di sekeliling kita, Intel, Coca-Cola, Mc Donald, Pepsi, Danone, Nestle, Nokia dll. Produk-produk tersebut mendapatkan keuntungan yang sangat melimpah dari pola hidup konsumtif kita.

Produk-produk itu selain menunjukkan betapa lemahnya perekonomian kita juga menyatakan  bahwa kita belum bisa menjadi seorang muslim yang baik. Maksudnya adalah, bahwa pola hidup kita yang konsumtif bukanlah sikap seorang muslim seharusnya. Selayaknya sebagai seorang muslim hidup sederhana. Mengkonsumsi apa yang dibutuhkan serta lebih banyak bersedekah dengan rezeki kita.

Jika masing-masing dari kita paling tidak mempraktikkan dua hal di atas, hidup sederhana dan banyak sedekah, saya optimis keadaan Palestina tidak seburuk sekarang dan Israel tidak sekuat saat ini. Karena itu, Kawan, mari kita melakukan hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk Palestina. Bukankah kita hanya perlu berkorban sedikit mengekang nafsu konsumtif kita serta sedikit saja lebih dermawan?

Siapa yang Teroris?

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Amerika secara resmi menyatakan keberatan atas pernyataan Perdana Mentri Turki, Recep Tayyib Erdogan. Sebelumnya Erdogan mengecam keras serangan Israel di Gaza. Di antara kalimat Erdogan mengatakan bahwa Israel Israel sedang melakukan pembersihan etnis di Gaza. Erdogan juga menyebut Israel sebagai 'negara teroris'.

Sontak Amerika Serikat, yang jamak diketahui sebagai sekutu politik Israel, bereaksi keras atas pernyataan Erdogan.

“Saya ingin katakan bahwa beberapa retorika sangat keras yang datang dari Turki, kami anggap sama sekali tidak membantu," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, seperti dilansir Xinhua, Rabu (21/11/2012).

Sementara itu, sudah sejak lama AS secara resmi memasukkan Hamas sebagai organisasi teroris. Demikian seperti yang terlampir dalam situs resmi pemerintah Amerika Serikat, www.us.gov. Ketika secara tidak diduga Hamas memenangi pemilu Palestina pada 2006 lalu, AS pun kebakaran jenggot. Di satu sisi, AS punya konsekuensi atas usaha promosi demokrasi yang mereka pawangi.

Di lain pihak, AS harus berusaha melestarikan pemerintah Palestina “yang lunak” untuk memfasilitasi kepentingan sekutu dekat mereka, Israel. Walhasil, AS dan kompatriotnya –Israel dan negara-negara Uni Eropa- berusaha melemahkan pemerintahan Hamas dengan memblokade aliran dana untuk Hamas. Bantuan yang sebelumnya dijanjikan untuk Palestine Authority –pihak yang berwenang atas Palestina selama belum diakui kemerdekaannya- sebesar 50 juta dolar distop. Uang pajak rakyat Palestina dengan jumlah nominal yang sama pun dibekukan Israel. Tak hanya itu, AS menekan negara-negara Arab yang nampak hendak memberikan bantuan ke Palestina.

Akibat aksi blokade finansial tersebut, pemerintah Hamas sempat mengalami krisis moneter. Pemerintah tak punya dana membiayai operasional hingga sempat tidak membayar gaji 160.000 pegawainya selama tiga bulan. Akhirnya, berkat bantuan dari negara-negara liga Arab, Hamas sedikit demi sedikit bisa mengatasi krisis ini.

Dari data-data di atas, nampak jelas usaha AS dan sekutunya untuk melemahkan pemerintahan Hamas yang mereka anggap teroris. Ini belum termasuk usaha pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin Hamas yang berkali-kali terjadi. Terakhir, pembunuhan terhadap Ahmad Al Jabaari, pemimpin sayap militer Hamas, menyebabkan konflik militer selama seminggu antara Hamas vs Israel.

Definisi teroris memang sangat abu-abu. Tidak jelas bagaimana suatu golongan bisa dianggap sebagai teroris. Dalam kasus Palestina, apakah Hamas yang merepresentasikan suara rakyat Palestina bisa dikategorikan sebagai teroris. Selama ini, Hamas tidak pernah meluncurkan roket-roket peledak kecuali ada intimidasi dari Israel –termasuk peluncuran roket terakhir yang diawali oleh seranga Israel-. Lagipula, dari data yang bisa kita ketahui dari media manapun, korban jiwa yang jatuh di Palestina jauh lebih banyak daripada  penduduk Israel yang cuma terluka. Lalu, apakah usaha hamas untuk menunjukkan kedaulatan bangsa Palestina sekaligus melindungi rakyatnya adalah gerakan terorisme? Saya lebih sepakat dengan pernyataan Erdogan, Israel lah teroris yang sebenarnya.

Rabu, 17 Oktober 2012

Harga Cita-cita

“Pak Camat! Pak Camat! Ada warga dimakan macan, pak!”
Pak Harno sekonyong-konyong masuk ke ruanganku tanpa salam. Tergopoh-gopoh sekali ia, nafasnya naik turun tak karuan. Pikiranku masih belum fokus usai tertidur barusan.
“Ada apa, Pak?” Tanyaku memastikan, sembari mangusap-usap muka, menghilangkan bekas kantuk. Lalu ku letakkan dagu di atas tangan yang mengepal. Orang bilang ini memberi kesan wibawa.
“Ini, Pak Camat! Ada warga Gajah Makmur dimakan macan di ladangnya,” jawab Pak Harno panik. 
“Astaghfirullah, yang benar, Pak?” Sontak saja aku kaget, desa pelosok itu adalah kampungku. Aku lahir dan menamatkan SD di sana. Selepas SD, orang tuaku pindah ke desa Arga Jaya sedangkan aku merantau ke Jawa hingga tamat kuliah.
Kami pun hanyut membincang perkara nadir ini. Belakangan memang sering ada laporan warga melihat harimau Sumatra di Gajah Makmur, desa yang berbatasan langsung dengan hutan rimba. Tapi kejadian orang dimakan binatang buas seperti ini adalah yang pertama.
“Kita ke sana sekarang, Pak!” Ujarku pada Pak Harno. Dia pun manggut-manggut.
“Saya telpon Anas dulu, Pak Camat. Pradonya dibawa dia dari tadi pagi, nggak tahu kemana,” jelas ajudan kecamatan paling tua sekaligus paling lugu itu. Saking lugunya, dia tak pernah melewatkan jabatan camat setiap memanggilku.
Begitulah keseharianku sebagai Camat Kecamatan Air Rami ini. Pekerjaanku hanya pertemuan formal dengan gubernur dan bupati beberapa kali sebulan. Kumpul internal dengan bawahan juga bisa dihitung dengan jari. Tanda tangan beberapa surat. Inspeksi ke desa-desa seminggu sekali. Selebihnya, aku mendalihkan “tugas luar kota” untuk mengakomodasi hobi lamaku, pelesir.
Sebenarnya, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh camat sepertiku. Juga oleh para bupati, gubernur, anggota dewan, menteri dan presiden tentunya. Pekerjaan yang lebih membutuhkan fokus daripada aktifitas formal, juga lebih memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Pekerjaan tulus untuk rakyat, memperbaiki strata kehidupan mereka. Sayangnya, ketika hendak melakukan pengabdian ini, artinya aku harus melawan sistem yang selama ini menjadi lintah rakyat. 
Sistem itu membonsai rakyat menjadi kuli yang menghasilkan pundi-pundi uang bagi para pemilik modal. Sistem itu membayar orang-orang sepertiku untuk bertindak normatif, tapi juga harus melindungi kepentingan mereka habis-habisan. Terutama sekali dengan dalih undang-undang.
Tapi, karena aku mencari kenyamanan hidup. Tak usahlah cari masalah dengan para pengatur sistem itu. Lebih baik aku memikirkan bagaimana anak istriku bisa bahagia. Dan aku menikmati sekali jabatanku sebagai camat yang sudah periode kedua ini. Meskipun gajinya cuma 5 juta sebulan. Tapi, pemasukan dari proyek-proyek, uang pemulus  tender, juga bisnis-bisnis yang kubangun selama ini membuatku lebih kaya dari petani tersukses di kecamatan ini.
“Mobilnya datang, Pak Camat!” Pak Harno buru-buru mengabari ketika nampak Toyota Prado memasuki parkir Kantor Camat.
“Oke, mari kita berangkat!”
Kami kemudian melewati jalanan rumah-rumah penduduk. Selang tak berapa lama, tibalah kami pada wilayah ladang-ladang penduduk. Masih 30 kilometer lagi menuju tujuan. Kami menghabiskan waktu ngobrol sana-sini. Sebelum akhirnya kantuk menidurkan Pak Harno dan Anas harus fokus menyetir. Jalanan mulai berkelak-kelok, jurang menganga di kanan kiri jalan. Akupun lalu menikmati perjalanan dengan mengkhayal, membiarkan Anas menyetir ditemani sepi.
Nyamannya hidup seperti ini membuatku bisa melupakan cuap-cuap Soni dan Rudi, dua sahabatku di teknik sipil UI. Ketika itu masa depan dan pilihan hendak memisahkan kami.
“S2 dimana, Lim?” Tanya Soni sambil menutup Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk-nya Buya Hamka, mungkin ini kesepuluh kalinya si kutu buku itu menamatkannya. Lecek sudah lembaran-lembarannya. 
Rudi juga menatapku dengan air muka penasaran. Meski mulutnya tetap tak berhenti mengunyah permen karet.
“Aku sudah apply ke Leiden, Boi. Rudi lanjut di UI, dia nak besarkan dulu bisnisnya, baru lanjut di Europe, ” Kata Soni sambil  menaik-naikkan alis mata. Aktifitas itu mukanya yang berjidat lebar semakin lucu.
“Aku pulang ke Bengkulu, bro. Orang tua tidak mampu lagi membiayai,” aku jawab malas-malasan. Topik ini memang membuatku tak antusias.
“Lim, bukannya lo S1 juga sambil banting tulang kerja serabutan? Apa susahnya kerja dikit lagi. Semakin tinggi cita-cita membutuhkan kerja semakin keras,” Rudi nyerocos usai meletupkan bundaran permen karetnya.
“Cita-cita apalagi? Aku sudah jadi anak paling beruntung di rumah. Kakak-kakakku tak ada yang jadi sarjana,” aku mengambil daun yang jatuh, menusuk-nusuk dengan pensil. Sudah bosan aku dicerca pertanyaan-pertanyaan seperti ini dari mereka berdua.
“Cita-cita, Boi. Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar bekerja, kera juga bekerja. Kita manusia, Boi!” Soni manggut-manggut.
Aih, muak aku mendengar quote-quote Buya Hamka dari Soni lagi.
“Yoi, man! It's not who I'm underneath, but what I do that defines me, Bruce Wayne, Batman Begins,” sambung Rudi sambil menepuk-nepuk punggungku. Pria satu ini memang seorang movieholic
“Ah, kalian bisa bilang begitu karena kalian anak orang berada. Pada akhirnya, cita-cita besar hanya milik orang-orang yang mampu membiayai prosesnya,” aku menjawab bujukan mereka dengan cibiran. Kemudian ku alihkan pembicaraan kepada Rasya, gadis cerdas keturunan Uzbek primadona kampus. Dan semuanya segera hanyut pada debat kusir tentang warna mata, kulit dan rambut Rasya, serta perkara tak etis lainnya. Tema tentang wanita memang komoditas pengalih isu termanjur.
Gerbang bambu berhias kertas minyak warna merah putih menghentikan lamunanku. Sudah masuk kawasan desa Gajah Makmur, meski untuk sampai ke pemukiman penduduk masih beberapa kilometer lagi. Kanan-kiri jalan sekarang berupa perkebunan sawit. Beberapa tahun yang lalu ini masih berupa ladang-ladang kopi warga desa.
Orang-orang China dan Malaysia selalu punya uang untuk mengubah ladang-ladang penduduk menjadi sumur uang mereka. Bahkan hutan-hutan pemerintahpun mereka beli. Belum lama ini, PT Makmur Jaya membuka 1000 hektar hutan rimba, untuk dijadikan kebun sawit tentunya. Positifnya, ada tips dari mereka untuk pemerintah daerah. Apartemen baruku di kawasan Thamrin, Jakarta, kubeli dengan uang itu. Negatifnya, hewan buas banyak berkeliaran akhir-akhir ini karena habitatnya diganggu.
Kurang lebih sebulan yang lampau, dua rumah panggung warga yang tinggal jauh dari pemukiman dirobohkan Gajah. Seminggu silam, seekor beruang madu dibunuh orang banyak akibat merusak pohon-pohon kelapa milik penduduk. Hari ini, kejadiannya terbalik. Manusia dimangsa binatang.
“Nas, siapa nama korban? Kau tahu tidak?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan tubuh Pak Harno. Pak Harno membuka mata.
“Kalau idak salah, Suraji namanyo, orang jawo,” jawab Anas dengan logat Bengkulunya.
“Siapa? Suraji?” Aku tersentak, nama itu lebih dari sekedar aku kenal.
Iyo, Suraji. Lanang yang tinggal di ujung RT 7, dekek hutan,” jawabnya lagi.
“Kenapa dengan Suraji, Pak Camat?” tanya Pak Harno menangkap kelesuan di wajahku.
“Dia teman SD saya dulu. Teman mancing dan jerat burung juga. Berempat dengan Muhaimin dan Hendro.” Aku menjelaskan. Beberapa kenangan masa kecil berkelebat di pikiranku.
Kami langsung menuju rumah duka. Jenazah sudah dikebumikan karena sudah tak berbentuk. Aku melihat kesedihan mendalam dirasakan Santi, istri Suraji. Apalagi tiga orang anaknya masih kecil-kecil. Aku bersimpati. Setelah mengucapkan bela sungkawa dan memberikan sedikit santunan, kami pamit. Kemudian ku ajak Anas dan Pak Harno mampir ke rumah Mimin, panggilan masa kecil Muhaimin, satu-satunya teman sepermainanku yang tersisa di desa ini.
Kami diterima dengan hangat. Mimin langsung meletakkan sabit dan berlari menuju rumah begitu istrinya mengabari kedatanganku. Dia sedang menyiangi gulma di kebun belakang rumah kala ku tiba. Lalu, sebuah dekapan erat seorang sahabat menjadi sambutan. Meski sebenarnya aku agak risih karena kaos berlumuran keringatnya mengotori baju dinasku.
“Apa kabar, Min?” Ucapku berbasa-basi.
“Ya, beginilah keadaan kami Pak Camat, ala kadarnya,”
Ah, masih canggung saja dia dengan teman masa kecilnya ini.
“Panggil saja seperti biasa, seperti kau terbiasa mengolokku dulu, Udin,” balasku dilanjutkan dengan tawa.
“Ah, Zainuddin sekarang kan berpangkat camat. Tak pantaslah aku memanggil nama itu lagi,” Mimin juga ikut tertawa.
Aku dan Mimin lalu bernostalgia sejenak, sementara Pak Harno dan Anas lebih tertarik dengan pohon durian di belakang rumah. 
“Boleh aku ambil duriannya, Pak?” Tanya Anas.
“Silakan, silakan!”
Mereka lalu berhambur ke belakang. Sementara aku dan Mimin masuk ke dalam rumah. Kami lalu membincang seputar peristiwa Suraji. Dari Mimin aku tahu jika ternyata Suraji yang cari perkara. Dia sengaja memancing macan itu dengan jerat. Kabarnya, ada orang dari Jakarta yang berani bayar 50 juta jika macan ditangkap mati dan 100 juta bila Suraji berhasil menangkapnya hidup-hidup. 
Barangkali tergiur dengan uang sepantar 10 harga Honda Supra. Boleh jadi pula insting berburunya tergoda dengan tantangan maut itu. Suraji menerima pekerjaan gila itu. Sejak kecil kami semua sudah menyaksikan hobi mengerikan Suraji. Dia pernah disetrap di tengah lapangan karena membawa kucing hutan –lebih mirip harimau kecil daripada kucing- ke sekolah. Aku –bersama Mimin- juga pernah menyaksikan sendiri dia bergelut dengan biawak air darat di lubuk bambu yang kami takuti. Tapi, prestasi terbaik –sekaligus pekerjaan paling mengerikan- Suraji adalah ketika kelas 6 SD dia membeli motor Suzuki Astrea dari hasil menangkap beruang madu. Beruang malang itu diperdaya dengan jerat bambu, kemudian dijual kepada “orang Jakarta” seharga 12 juta.
Tapi, pada edisi kali ini, kenekatan Suraji harus dibayar mahal. Tali jerat terlepas karena sang macan mengejang hebat. Sialnya, dia sedang berada tepat di bawah jerat untuk mengikat macan itu. Alhasil, dia kena terkam dan jadi santapan calon korbannya.
“Ais, sudahlah, Min! Tak tega aku dengar cerita itu lagi,” begidik aku mendengar detil demi detil kisah sial Suraji.
Seketika topik obrolan berpindah ke hal lain. Tentang keadaan desa ini yang hidup enggan mati tak mau. Tentang semakin banyak keluarga yang pindah dari desa ini. Tentang petani-petani yang mulai membakari ladang kopi mereka. Pasalnya harga kopi sekarang cuma 3000 perak perkilo. Sedangkan harga beras saja 10.000 rupiah per cupak.
Neraca perbandingan harga komoditi petani dengan harga bahan pokok semakin timpang saja. Wajar saja para petani kopi putus asa. Mereka kini mulai beralih menanam wasit. Lebih menjanjikan. Lagipula sawit tak semanja kopi yang harus sering-sering disiangi.
Masyuknya obrolan kami diganggu dengan deru mesin kendaraan pengangkut sawit. Kami menyebutnya jonder. Kendaraan dengan roda setinggi orang dewasa dengan bak terbuka di begian belakang. Aslinya, kendaraan itu berfungsi mengangkut sawit di daerah yang sulit dilewati truk-truk. Tapi, di daerah pelosok seperti desa ini, jonder bisa beralih fungsi menjadi kendaraan angkutan pekerja perkebunan sawit.
“Salim, anakmu kerja di PT. Lino juga?”Aku bertanya ketika dari jauh kulihat Salim turun dari jonder.
“Iya, Pak. Sejak lulus SD tahun lalu. Lumayanlah, mengurangi tanggungan,”Jawab Mimin sambil menghembuskan asap rokok kreteknya.
“Hei, kenapa tidak kau sekolahkan saja, Min? Anak-anak butuh pendidikan, apalagi masih terlalu kecil untuk bekerja,” sergahku. Miris aku melihat anak seumurannya sudah dipekerjakan.
“Sekolah kan butuh biaya, Pak. Darimana kami dapat semua itu, untuk hidup saja susah,” jawaban Mimin membuatku jengkel.
“Paling tidak kau bekerjalah lebih keras! Dulu, ayahku juga petani di sini. Tapi karena ingin menyekolahkanku, dia banting tulang mati-matian. Aku juga di Jakarta tak bersantai-santai, Min. Pagi kuliah, sore aku jadi pedagang kaki lima. Tapi kau lihat hasilnya, aku bisa jadi camat sekarang. Kita harus berkorban untuk anak-anak kita, Min,” Aku ceramahi dia panjang lebar.
“Ah, cita-cita macam apalagi. Anak itu bahkan tak mau dengar kalau aku bilang soal cita-cita. Dia malah bilang begini, ‘cita-cita itu cuma punya orang kaya,’ mau jawab apa aku, Pak? Dia sendiri yang sudah bebal tak mau maju.” 
Mendengar itu, aku tersentak. Tiba-tiba saja memoar perbincanganku dengan Soni dan Rudi tempo hari menyeruak. Macam déjà vu saja.
“Min, cuma cita-cita besar yang bisa mengubah kehidupan kita. Jangan karena kau malas mengusahakannya lantas kau bilang mustahil. Kalau kau tak percaya keajaiban, berarti tak berguna kau shalat lima waktu,” Aku menceramahinya lagi. Tapi kali ini, ada rasa bersalah menyeruak di nurani. Apakah aku menjadi munafik dengan mengatakan ini?
Akhirnya aku pamit pulang. Dalam perjalanan, kepalaku tak bisa lekang dari memikirkan Soni, yang sekarang sedang mengambil program doktoral di University Of London, dan Rudi yang sedang menulis thesis di Mc Gill, Toronto. Mereka, sepertinya akan menjadi lebih dari hanya seorang camat. Dan, memang, seseorang hanya bisa berkembang sebesar keberanian dia memperjuangkan cita-cita. Orang bisa menghebat sebesar toleransi yang diberikan pikirannya sendiri. Seperti juga quote John Powell yang dulu aku tulis di sampul diktat kuliahku, A person can grow only as much as his horizon allows
Aku menyesal.