RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 17 Oktober 2012

Harga Cita-cita

“Pak Camat! Pak Camat! Ada warga dimakan macan, pak!”
Pak Harno sekonyong-konyong masuk ke ruanganku tanpa salam. Tergopoh-gopoh sekali ia, nafasnya naik turun tak karuan. Pikiranku masih belum fokus usai tertidur barusan.
“Ada apa, Pak?” Tanyaku memastikan, sembari mangusap-usap muka, menghilangkan bekas kantuk. Lalu ku letakkan dagu di atas tangan yang mengepal. Orang bilang ini memberi kesan wibawa.
“Ini, Pak Camat! Ada warga Gajah Makmur dimakan macan di ladangnya,” jawab Pak Harno panik. 
“Astaghfirullah, yang benar, Pak?” Sontak saja aku kaget, desa pelosok itu adalah kampungku. Aku lahir dan menamatkan SD di sana. Selepas SD, orang tuaku pindah ke desa Arga Jaya sedangkan aku merantau ke Jawa hingga tamat kuliah.
Kami pun hanyut membincang perkara nadir ini. Belakangan memang sering ada laporan warga melihat harimau Sumatra di Gajah Makmur, desa yang berbatasan langsung dengan hutan rimba. Tapi kejadian orang dimakan binatang buas seperti ini adalah yang pertama.
“Kita ke sana sekarang, Pak!” Ujarku pada Pak Harno. Dia pun manggut-manggut.
“Saya telpon Anas dulu, Pak Camat. Pradonya dibawa dia dari tadi pagi, nggak tahu kemana,” jelas ajudan kecamatan paling tua sekaligus paling lugu itu. Saking lugunya, dia tak pernah melewatkan jabatan camat setiap memanggilku.
Begitulah keseharianku sebagai Camat Kecamatan Air Rami ini. Pekerjaanku hanya pertemuan formal dengan gubernur dan bupati beberapa kali sebulan. Kumpul internal dengan bawahan juga bisa dihitung dengan jari. Tanda tangan beberapa surat. Inspeksi ke desa-desa seminggu sekali. Selebihnya, aku mendalihkan “tugas luar kota” untuk mengakomodasi hobi lamaku, pelesir.
Sebenarnya, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh camat sepertiku. Juga oleh para bupati, gubernur, anggota dewan, menteri dan presiden tentunya. Pekerjaan yang lebih membutuhkan fokus daripada aktifitas formal, juga lebih memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Pekerjaan tulus untuk rakyat, memperbaiki strata kehidupan mereka. Sayangnya, ketika hendak melakukan pengabdian ini, artinya aku harus melawan sistem yang selama ini menjadi lintah rakyat. 
Sistem itu membonsai rakyat menjadi kuli yang menghasilkan pundi-pundi uang bagi para pemilik modal. Sistem itu membayar orang-orang sepertiku untuk bertindak normatif, tapi juga harus melindungi kepentingan mereka habis-habisan. Terutama sekali dengan dalih undang-undang.
Tapi, karena aku mencari kenyamanan hidup. Tak usahlah cari masalah dengan para pengatur sistem itu. Lebih baik aku memikirkan bagaimana anak istriku bisa bahagia. Dan aku menikmati sekali jabatanku sebagai camat yang sudah periode kedua ini. Meskipun gajinya cuma 5 juta sebulan. Tapi, pemasukan dari proyek-proyek, uang pemulus  tender, juga bisnis-bisnis yang kubangun selama ini membuatku lebih kaya dari petani tersukses di kecamatan ini.
“Mobilnya datang, Pak Camat!” Pak Harno buru-buru mengabari ketika nampak Toyota Prado memasuki parkir Kantor Camat.
“Oke, mari kita berangkat!”
Kami kemudian melewati jalanan rumah-rumah penduduk. Selang tak berapa lama, tibalah kami pada wilayah ladang-ladang penduduk. Masih 30 kilometer lagi menuju tujuan. Kami menghabiskan waktu ngobrol sana-sini. Sebelum akhirnya kantuk menidurkan Pak Harno dan Anas harus fokus menyetir. Jalanan mulai berkelak-kelok, jurang menganga di kanan kiri jalan. Akupun lalu menikmati perjalanan dengan mengkhayal, membiarkan Anas menyetir ditemani sepi.
Nyamannya hidup seperti ini membuatku bisa melupakan cuap-cuap Soni dan Rudi, dua sahabatku di teknik sipil UI. Ketika itu masa depan dan pilihan hendak memisahkan kami.
“S2 dimana, Lim?” Tanya Soni sambil menutup Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk-nya Buya Hamka, mungkin ini kesepuluh kalinya si kutu buku itu menamatkannya. Lecek sudah lembaran-lembarannya. 
Rudi juga menatapku dengan air muka penasaran. Meski mulutnya tetap tak berhenti mengunyah permen karet.
“Aku sudah apply ke Leiden, Boi. Rudi lanjut di UI, dia nak besarkan dulu bisnisnya, baru lanjut di Europe, ” Kata Soni sambil  menaik-naikkan alis mata. Aktifitas itu mukanya yang berjidat lebar semakin lucu.
“Aku pulang ke Bengkulu, bro. Orang tua tidak mampu lagi membiayai,” aku jawab malas-malasan. Topik ini memang membuatku tak antusias.
“Lim, bukannya lo S1 juga sambil banting tulang kerja serabutan? Apa susahnya kerja dikit lagi. Semakin tinggi cita-cita membutuhkan kerja semakin keras,” Rudi nyerocos usai meletupkan bundaran permen karetnya.
“Cita-cita apalagi? Aku sudah jadi anak paling beruntung di rumah. Kakak-kakakku tak ada yang jadi sarjana,” aku mengambil daun yang jatuh, menusuk-nusuk dengan pensil. Sudah bosan aku dicerca pertanyaan-pertanyaan seperti ini dari mereka berdua.
“Cita-cita, Boi. Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekedar bekerja, kera juga bekerja. Kita manusia, Boi!” Soni manggut-manggut.
Aih, muak aku mendengar quote-quote Buya Hamka dari Soni lagi.
“Yoi, man! It's not who I'm underneath, but what I do that defines me, Bruce Wayne, Batman Begins,” sambung Rudi sambil menepuk-nepuk punggungku. Pria satu ini memang seorang movieholic
“Ah, kalian bisa bilang begitu karena kalian anak orang berada. Pada akhirnya, cita-cita besar hanya milik orang-orang yang mampu membiayai prosesnya,” aku menjawab bujukan mereka dengan cibiran. Kemudian ku alihkan pembicaraan kepada Rasya, gadis cerdas keturunan Uzbek primadona kampus. Dan semuanya segera hanyut pada debat kusir tentang warna mata, kulit dan rambut Rasya, serta perkara tak etis lainnya. Tema tentang wanita memang komoditas pengalih isu termanjur.
Gerbang bambu berhias kertas minyak warna merah putih menghentikan lamunanku. Sudah masuk kawasan desa Gajah Makmur, meski untuk sampai ke pemukiman penduduk masih beberapa kilometer lagi. Kanan-kiri jalan sekarang berupa perkebunan sawit. Beberapa tahun yang lalu ini masih berupa ladang-ladang kopi warga desa.
Orang-orang China dan Malaysia selalu punya uang untuk mengubah ladang-ladang penduduk menjadi sumur uang mereka. Bahkan hutan-hutan pemerintahpun mereka beli. Belum lama ini, PT Makmur Jaya membuka 1000 hektar hutan rimba, untuk dijadikan kebun sawit tentunya. Positifnya, ada tips dari mereka untuk pemerintah daerah. Apartemen baruku di kawasan Thamrin, Jakarta, kubeli dengan uang itu. Negatifnya, hewan buas banyak berkeliaran akhir-akhir ini karena habitatnya diganggu.
Kurang lebih sebulan yang lampau, dua rumah panggung warga yang tinggal jauh dari pemukiman dirobohkan Gajah. Seminggu silam, seekor beruang madu dibunuh orang banyak akibat merusak pohon-pohon kelapa milik penduduk. Hari ini, kejadiannya terbalik. Manusia dimangsa binatang.
“Nas, siapa nama korban? Kau tahu tidak?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan tubuh Pak Harno. Pak Harno membuka mata.
“Kalau idak salah, Suraji namanyo, orang jawo,” jawab Anas dengan logat Bengkulunya.
“Siapa? Suraji?” Aku tersentak, nama itu lebih dari sekedar aku kenal.
Iyo, Suraji. Lanang yang tinggal di ujung RT 7, dekek hutan,” jawabnya lagi.
“Kenapa dengan Suraji, Pak Camat?” tanya Pak Harno menangkap kelesuan di wajahku.
“Dia teman SD saya dulu. Teman mancing dan jerat burung juga. Berempat dengan Muhaimin dan Hendro.” Aku menjelaskan. Beberapa kenangan masa kecil berkelebat di pikiranku.
Kami langsung menuju rumah duka. Jenazah sudah dikebumikan karena sudah tak berbentuk. Aku melihat kesedihan mendalam dirasakan Santi, istri Suraji. Apalagi tiga orang anaknya masih kecil-kecil. Aku bersimpati. Setelah mengucapkan bela sungkawa dan memberikan sedikit santunan, kami pamit. Kemudian ku ajak Anas dan Pak Harno mampir ke rumah Mimin, panggilan masa kecil Muhaimin, satu-satunya teman sepermainanku yang tersisa di desa ini.
Kami diterima dengan hangat. Mimin langsung meletakkan sabit dan berlari menuju rumah begitu istrinya mengabari kedatanganku. Dia sedang menyiangi gulma di kebun belakang rumah kala ku tiba. Lalu, sebuah dekapan erat seorang sahabat menjadi sambutan. Meski sebenarnya aku agak risih karena kaos berlumuran keringatnya mengotori baju dinasku.
“Apa kabar, Min?” Ucapku berbasa-basi.
“Ya, beginilah keadaan kami Pak Camat, ala kadarnya,”
Ah, masih canggung saja dia dengan teman masa kecilnya ini.
“Panggil saja seperti biasa, seperti kau terbiasa mengolokku dulu, Udin,” balasku dilanjutkan dengan tawa.
“Ah, Zainuddin sekarang kan berpangkat camat. Tak pantaslah aku memanggil nama itu lagi,” Mimin juga ikut tertawa.
Aku dan Mimin lalu bernostalgia sejenak, sementara Pak Harno dan Anas lebih tertarik dengan pohon durian di belakang rumah. 
“Boleh aku ambil duriannya, Pak?” Tanya Anas.
“Silakan, silakan!”
Mereka lalu berhambur ke belakang. Sementara aku dan Mimin masuk ke dalam rumah. Kami lalu membincang seputar peristiwa Suraji. Dari Mimin aku tahu jika ternyata Suraji yang cari perkara. Dia sengaja memancing macan itu dengan jerat. Kabarnya, ada orang dari Jakarta yang berani bayar 50 juta jika macan ditangkap mati dan 100 juta bila Suraji berhasil menangkapnya hidup-hidup. 
Barangkali tergiur dengan uang sepantar 10 harga Honda Supra. Boleh jadi pula insting berburunya tergoda dengan tantangan maut itu. Suraji menerima pekerjaan gila itu. Sejak kecil kami semua sudah menyaksikan hobi mengerikan Suraji. Dia pernah disetrap di tengah lapangan karena membawa kucing hutan –lebih mirip harimau kecil daripada kucing- ke sekolah. Aku –bersama Mimin- juga pernah menyaksikan sendiri dia bergelut dengan biawak air darat di lubuk bambu yang kami takuti. Tapi, prestasi terbaik –sekaligus pekerjaan paling mengerikan- Suraji adalah ketika kelas 6 SD dia membeli motor Suzuki Astrea dari hasil menangkap beruang madu. Beruang malang itu diperdaya dengan jerat bambu, kemudian dijual kepada “orang Jakarta” seharga 12 juta.
Tapi, pada edisi kali ini, kenekatan Suraji harus dibayar mahal. Tali jerat terlepas karena sang macan mengejang hebat. Sialnya, dia sedang berada tepat di bawah jerat untuk mengikat macan itu. Alhasil, dia kena terkam dan jadi santapan calon korbannya.
“Ais, sudahlah, Min! Tak tega aku dengar cerita itu lagi,” begidik aku mendengar detil demi detil kisah sial Suraji.
Seketika topik obrolan berpindah ke hal lain. Tentang keadaan desa ini yang hidup enggan mati tak mau. Tentang semakin banyak keluarga yang pindah dari desa ini. Tentang petani-petani yang mulai membakari ladang kopi mereka. Pasalnya harga kopi sekarang cuma 3000 perak perkilo. Sedangkan harga beras saja 10.000 rupiah per cupak.
Neraca perbandingan harga komoditi petani dengan harga bahan pokok semakin timpang saja. Wajar saja para petani kopi putus asa. Mereka kini mulai beralih menanam wasit. Lebih menjanjikan. Lagipula sawit tak semanja kopi yang harus sering-sering disiangi.
Masyuknya obrolan kami diganggu dengan deru mesin kendaraan pengangkut sawit. Kami menyebutnya jonder. Kendaraan dengan roda setinggi orang dewasa dengan bak terbuka di begian belakang. Aslinya, kendaraan itu berfungsi mengangkut sawit di daerah yang sulit dilewati truk-truk. Tapi, di daerah pelosok seperti desa ini, jonder bisa beralih fungsi menjadi kendaraan angkutan pekerja perkebunan sawit.
“Salim, anakmu kerja di PT. Lino juga?”Aku bertanya ketika dari jauh kulihat Salim turun dari jonder.
“Iya, Pak. Sejak lulus SD tahun lalu. Lumayanlah, mengurangi tanggungan,”Jawab Mimin sambil menghembuskan asap rokok kreteknya.
“Hei, kenapa tidak kau sekolahkan saja, Min? Anak-anak butuh pendidikan, apalagi masih terlalu kecil untuk bekerja,” sergahku. Miris aku melihat anak seumurannya sudah dipekerjakan.
“Sekolah kan butuh biaya, Pak. Darimana kami dapat semua itu, untuk hidup saja susah,” jawaban Mimin membuatku jengkel.
“Paling tidak kau bekerjalah lebih keras! Dulu, ayahku juga petani di sini. Tapi karena ingin menyekolahkanku, dia banting tulang mati-matian. Aku juga di Jakarta tak bersantai-santai, Min. Pagi kuliah, sore aku jadi pedagang kaki lima. Tapi kau lihat hasilnya, aku bisa jadi camat sekarang. Kita harus berkorban untuk anak-anak kita, Min,” Aku ceramahi dia panjang lebar.
“Ah, cita-cita macam apalagi. Anak itu bahkan tak mau dengar kalau aku bilang soal cita-cita. Dia malah bilang begini, ‘cita-cita itu cuma punya orang kaya,’ mau jawab apa aku, Pak? Dia sendiri yang sudah bebal tak mau maju.” 
Mendengar itu, aku tersentak. Tiba-tiba saja memoar perbincanganku dengan Soni dan Rudi tempo hari menyeruak. Macam déjà vu saja.
“Min, cuma cita-cita besar yang bisa mengubah kehidupan kita. Jangan karena kau malas mengusahakannya lantas kau bilang mustahil. Kalau kau tak percaya keajaiban, berarti tak berguna kau shalat lima waktu,” Aku menceramahinya lagi. Tapi kali ini, ada rasa bersalah menyeruak di nurani. Apakah aku menjadi munafik dengan mengatakan ini?
Akhirnya aku pamit pulang. Dalam perjalanan, kepalaku tak bisa lekang dari memikirkan Soni, yang sekarang sedang mengambil program doktoral di University Of London, dan Rudi yang sedang menulis thesis di Mc Gill, Toronto. Mereka, sepertinya akan menjadi lebih dari hanya seorang camat. Dan, memang, seseorang hanya bisa berkembang sebesar keberanian dia memperjuangkan cita-cita. Orang bisa menghebat sebesar toleransi yang diberikan pikirannya sendiri. Seperti juga quote John Powell yang dulu aku tulis di sampul diktat kuliahku, A person can grow only as much as his horizon allows
Aku menyesal.