RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 30 Desember 2013

Rasio, dan Upaya Mendedah Iman

Rasio dalam teologi menjadi olok-olok di tangan Ockham. Kritiknya sebenarnya mengarah pada logika-logika asbtrak: dialektika para ahli teologi Kristen dalam membuktikan hal ihwal keimanan. Pengetahuan sejati, kata Ockham, diperoleh lewat bukti empiris. Ia juga bilang bahwa lafal-lafal yang hanya merujuk pada esensi abstrak adalah omong kosong.

Padahal, rasio pernah sampai pada titik optimisme tertinggi pada masa Anselm dari Canterbury. Pastur asal Aosta ini bilang bahwa akallah satu-satunya perkakas pengesah. Lewat akal, manusia dapat menerangkan konsep-konsep keimanan dengan terang, semuanya, tanpa kecuali.

Tapi pendapat Anselm tak diamini salah satu teolog terbesar Kristen, Thomas Aquinas. Dalam beberapa kasus, hemat Aquinas, logika manusia harus menerima fakta bahwa ia tak (atau belum?) mampu menjelaskan semua masalah akidah. Contoh kasus yang mewakili pikiran Aquinas ini adalah soal penciptaan, serta relasinya dengan waktu. Sementara Averroes melogikakan keabadian alam karena ia adalah akibat dari sebab yang abadi, Bonaventura mengecamnya; penciptaan dalam kungkungan waktu, kata Bonaventura, justru sangat tidak logis.

Aquinas akhirnya mengambil jalan tengah. Dua bangunan rasio yang disodorkan baik oleh para pendukung kekekalan alam, atau yang menentangnya, sama-sama spekulatif, kata keponakan Frederick Barbarosa ini. Karena itu kita harus menyerahkannya pada iman: bahwa alam diciptakan dalam satu masa dan bahwa masa memiliki mula.

Masih menurut Aquinas, pengetahuan kita tentang Tuhan sejatinya hanyalah kegiatan mendekati, juga menyucikan. Manusia, apabila hendak sampai pada pengetahuan hakikat, lazim punya akal yang tebebas dari kungkungan fana, materi. Tapi itu mustahil dan oleh sebab itu manusia tak mungkin sampai pada ilmu sejati tentang Tuhan.

Lalu datanglah Ockham -sebelumnya ada John Duns Scotus tapi tak terlalu penting- mengguncang pondasi intelektual gereja. Kehebohan ini mirip dengan yang disebabkan Siger Brabant dengan Averoisme-nya. Tentu saja Ockham kemudian hendak diseret inkuisisi, tapi ia kabur ke Pisa memanfaatkan konflik antara otoritas kepausan dengan Louis IV.

Ockham menyerang bukti-bukti logis tentang Tuhan yang selama ini diandalkan gereja, -mengenai keberadaan Tuhan, sifat Tuhan, keabadian jiwa, dll-. Ketika itu, paparan-paparan Aquinas bahkan dianggap sebagai pendapat yang aksiomatis, semua teolog harus menerima. Namun Ockham menjungkirbalikkan semua itu.


Yang menarik, sebenarnya kritik-kritik Ockham bukan upaya menuju kekafiran, ia justru membawa rasio manusia pada tempatnya yang lebih rendah hati, tunduk pada wahyu. Pendapatnya tentang etika mengingatkan saya dengan konsep Asy’ari, bahwa tak ada esensi sejati dari baik dan buruk, namun Tuhan menerangkan bahwa A baik dan B buruk melalui wahyu.

Minggu, 08 Desember 2013

Malam Ketika Musim Dingin Terasa Hangat

Musim dingin begini, aku teringat satu malam hangat. Aku tidak sedang berkisah tentang malam hari musim panas, ini dongeng tentang suatu malam musim dingin yang terasa hangat. Barangkali malam itu, di bawah bebatuan rapi yang melandasi jalan kami –aku dan satu orang lagi akan kuceritakan nanti-, tersulut semacam tungku batu bara.

Tetapi sebelum mendedah tentang perjalanan mesra kami malam itu, sebaiknya aku terangkan dulu perihal bagaimana kami bertemu.
***
Satu sore, dalam dongeng yang mirip sekali dengan kehidupan alam nyata, aku tengah belajar mempersiapkan ujian. Karena tak suka keramaian khalayak di masjid al-Azhar, masjid Husein dan tempat-tempat belajar lain di sekitar rumah, aku memilih belajar di masjid al-Hakim bi Amrillah. Tempatnya tepat di belakang Bab al-Futuh, seberang Bab al-Sya’riyah. Jika Anda adalah orang baru di Kairo, naik saja taksi menuju Bab Sya’riyah, lalu tanyakan pada siapa saja di mana masjid itu berada!

Seperti biasa, aku belajar dengan mulut komat-kamit karena hanya dengan begitu pelajaran bisa lekat di ingatanku, juga sambil mondar-mandir keliling masjid karena aku gampang mengantuk kalau belajar sambil duduk. Tiba-tiba, ketika melintas sebuah tiang, nampak sesosok berkerudung putih merengues membaca buku cerita. Aku lalu hilir mudik sekitar tiang itu, penasaran.

“Kenapa masa ujian begini kau membaca buku cerita?” Tanyaku canggung. Aku terpaksa bertanya karena risih dilirik seperti maling. Aku tahu dia memandangiku begitu karena risih dengan polahku yang lalu lalang saja di hadapannya.

“Huh, aku sedang istirahat. Hari ini, buku setebal 200 halaman ini baru kuselesaikan,” jawabnya sambil menunjuk buku diktat warna biru yang tergeletak. “Memangnya, apakah membaca buku cerita di waktu ujian adalah hal terlarang?” Ia mengernyit, di antara alisnya kini terbentuk kerut-kerut.

“Sejatinya tidak. Hanya saja, di sini, di komunitas yang jarang baca cerita, kau terlihat aneh,” aku ikut mengerutkan alis, tapi cuma dalam rangka menirukan pola wajahnya yang tiba-tiba jadi lucu.

“Tapi aku suka orang yang suka cerita pendek. Ia mungkin tak pandai menghafal, tapi ia pasti teliti, sabar, berwawasan luas, dan yang paling penting, tidak kaku, meski kadang-kadang pakaiannya sedikit acak-acakan,” sambungku mencoba menghangatkan suasana.

“Enak saja, huh, busanaku selalu rapi!”

“Haha, jangan tersinggung, aku tengah membicarakan diri sendiri,” kuambil posisi duduk di sampingnya. Lalu kami ngobrol panjang lebar. Namanya Rima Tharful Syi’ri, dia adalah gadis paling cerdas yang pernah kutemui sejauh ini. Barangkali karena dia banyak membaca cerita pendek.

Percakapan kami kemudian berlanjut hingga perjalanan pulang. Di sinilah keanehan terjadi, sepanjang jalan al-Moez, entah kenapa aku tidak kedinginan. Cuaca tiba-tiba menghangat. Barangkali memang ada tungku batu bara di bawah batu-batu yang tersusun rapi.

Namun, eh, mengapa orang-orang tetap kedinginan. Pak tua penjual jagung di bawah pohon itu mengambangkan tangandi atas bara di sela-sela melayani pelanggan, penjual makanan kecil juga sesekali membetulkan jaket, pasangan muda-mudi juga terlihat lebih intim, aku yakin karena mereka kedinginan. Tungku batu bara itu memang hanya imajinasiku saja.

Aku baru sadar bahwa kehangatan itu karena aura. Jika Einstein, dari cerita yang kudengar, bilang bahwa dingin adalah ketiadaan panas, maka malam itu terasa hangat karena aku menjalaninya dengan penuh energi. Aku tak tahu sumbernya dari mana. Tetapi dia malam itu tak ubahnya api unggun. Terang, merona dan membara. Kita lalu bertengkar tentang musim favorit.

“Aku tak suka musim dingin,” kataku memancing perdebatan, “kita harus mengenakan terlalu banyak aksesoris. Sebagai lelaki, itu adalah pekerjaan menyebalkan,” mulutku tersungut.

“Ah, apa sulitnya pakai jaket. Bagiku musim panas lebih mengerikan, keringat seperti diserap,” ia antusias menimpali, “aku bahkan sulit tidur di panas karena lalat mengerubung,” pungkasnya.

Kami masyuk dalam obrolan, sesekali kulontarkan canda. Ia tertawa, gingsul di ujung luar gerahamnya bak memimpin larik-larik cahaya menari. Tawanya juga menggali dua buah relung di pipi. Itu menjadi semacam telaga yang membawa kesegaran.

“Aku suka bertemu denganmu, tapi sebaiknya kau tahu ini: ini tahun terakhirku di sini dan tahun depan aku menikah dengan seorang pegawai,” kata Rima tiba-tiba saat kami mulai masuk kawasan Khan Khalili. Sejenak kemudian kami saling membisu. Penjual gantungan kunci menarik-narik lenganku.

“Begitukah? Aku senang jika kau segera menikah,” kataku membunuh hening. “Tapi..” Ku pandang matanya, kucoba baca isi hatinya melalui layar bola mungil itu.

“Tapi apa?” ia mengalihkan pandang ke menara Husein, sepertinya sadar aku mencoba menerkanya.

“Jangan menikah dengan pegawai! Hidupmu kan terjebak upacara dan kejumudan. Menikahlah dengan penulis! Meski mereka belum tentu dapat memberikan penghidupan yang baik, setidaknya mereka tahu bagaimana memperlakukan hatimu dengan baik,” lanjutku. Sebenarnya itu semacam bahasa diplomasi.

“Baik, akan kusimpan nasehatmu baik-baik,” ia menimpali dengan senyum. Gingsulnya kembali mengajak kerlap-kerlip berdansa, relung pipinya lagi-lagi membentuk rawa teduh. Itulah tarian dan kesegaran terakhir yang kuingat dari wajahnya.
***
Kami tak pernah bertemu kemudian. Dari teman-temannya, aku tahu Rima lulus tahun itu –aku harus mengulang beberapa pelajaran-. Informasi lain yang kudapat adalah bahwa ia benar-benar telah menikah dengan seorang pegawai. Ihwal terakhir ini sangat kusesalkan.

Beberapa menit yang lalu, aku mendapatkan kejutan tak mengenakkan. Rima mengirimi aku sebuah foto keluarga. Nampak di foto itu ia bersama lelaki rupawan tengah menggendong bayi berkulit putih dan sangat montok. Dia sertakan juga beberapa kalimat: Terimakasih atas nasehatmu Hazin! kau benar, penulis selalu tahu cara bagaimana memperlakukan hati kita dengan baik. Perkenalkan, itu suamiku, Faiz. Ia penulis sekaligus editor di sebuah koran nasional. Kau dapat menghubunginya jika ingin mengirimkan karya-karyamu. Aku masih ingat ceritamu dulu kalau kau ingin punya kenalan editor. Semoga dia bisa membantu.

Malam ini, karena foto dan beberapa kalimat itu, atau karena darah yang tiba-tiba banyak mengalir ke ubun-ubun, musim dingin terasa hangat.