RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 13 Desember 2012

Sepakbola




Bagi orang yang tidak cakap bermain bola seperti aku, wawasan sepakbolaku mungkin membuat orang mengernyitkan dahi. Pasalnya, aku mengetahui hingga detil-detil kecil informasi seputar olahraga paling masyhur ini. Dari yang mendasar seperti nama pemain, pelatih, warna kebesaran tim, kota tempat domisili, hingga perkara-perkara rumit seperti sejarah klub, rekor pemain, latar belakang pemain, serta sedikit tentang strategi permainan. Bagiku, memelototi dinamika persepakbolaan adalah refreshing activity yang punya kenikmatan tersendiri, setara dengan main game, nonton film atau ngupil bagi orang yang hobi demikian, hehe.

Terlebih lagi, sepakbola memberiku lebih dari sekedar kesenangan. Dari memelototinya saja, aku bisa merasakan timbal balik positif. Dari sana aku mengadaptasi ruh kompetisi, belajar memahami proses menuju keberhasilan, serta menemukan pentingnya kekuatan mental. Sepakbola bagiku lebih dari tertawa senang ketika Real Madrid menang atau tertunduk sayu saat Timnas Garuda lagi-lagi menelan kekalahan.

Sepakbola –menurutku- adalah ajang yang belum tersentuh kepentingan politik sehingga perhelatannya masih sehat. Dalam arena sepakbola, kita masih bisa melihat tim-tim yang tak diunggulkan bisa membungkam para jawara. Contoh paling dekat adalah ketika beberapa hari yang lalu Arsenal dikalahkan oleh Bradford.  Di atas kertas, sepertinya mustahil bagi Bradford bahkan untuk mencetak gol ke gawang Wojciech Szczesny. Tapi, dalam sepakbola dikenal istilah “bola itu bundar”. Artinya, segala kemungkinan bisa terjadi.

Sepakbola –lagi-lagi menurutku- sudah menjelma menjadi cermin kecil kompleksitas hidup. Di sana ada banyak drama, konflik, trik-intrik, dan alur yang tak selamanya bisa ditebak. Dari sana kita bisa menelaah bagaimana menjadi juara. Diantaranya diperlukan persiapan, kerja keras, kerjasama, kreatifitas, kecerdasan, kekuatan mental dan yang paling penting, keberuntungan. Pentas yang menyuguhkan miniatur lakon hidup seperti itu bagiku layak mendapatkan porsi perhatian yang lumayan. 

Dari kompetisi sepakbola yang terus bergulir, ada kalanya aku mendapatkan pelajaran yang amat sangat baik diterapkan dalam kehidupan. Contohnya, musim lalu, di awal musim Chelsea terseok-seok di liga Inggris, dikalahkan Napoli 3-1 di leg pertama perempatfinal liga Champion (hampir mustahil untuk lolos) lalu memecat pelatih. Siapa yang menyangka di akhir musim mereka mendapatkan dua gelar –piala Liga dan Champion Eropa-? 

Dari kisah Chelsea di atas, aku mendapaati sebuah pelajaran yang sepertinya sangat pas digambarkan oleh Winston Churchill dengan kata-katanya: “Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts.” Ya, kemenangan bukanlah pamungkas, dan kekelahan hari ini bukanlah  akhir dunia, masih ada kesempatan lain di hari esok.


Kisah di atas hanya satu diantara banyak pelajaran yang kupaksakan untuk dimengerti lalu dijadikan motivasi dalam hidup. Karena tersebarnya pelajaran-pelajaran penting semacam inilah mencermati sepakbola –bagiku- bukan sekedar buang-buang waktu. Entah, mungkin demikian pula eksotisnya bermain boneka dan merangkai bunga-bunga. Aku tak tahu.
Real Madrid, tim jawara pujaanku.

Senin, 10 Desember 2012

Teladan



“Be the CHANGE you want to see in the world.” (Mahatma Ghandi)


Kita bukan sesuatu yang benar-benar baru. Ada banyak prototipe yang mendahului edisi kita. Masing-masing model memiliki identitas tersendiri. Unik. Saling berbeda satu sama lain.

Di rimba biologi, ada sebuah teori kontroversial tentang evolusi bentuk fisik mahkluk hidup. Teori yang saat ini mejadi kurikulum sekolah ini ‘katanya’ sudah ada bibitnya sejak zaman Yunani Kuno. Bahkan beberapa ilmuwan Islam seperti punggawa Muktazilah, al-Jahidz, dan filosof sekaligus psikolog, Ibnu Miskawaih, disinyalir memiliki pendapat yang mirip. Definisi sederhana evolusi adalah perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Masih dalam penurunan sifat, mari kita mampir sejenak ke ranah metafisik. Dalam dunia teosofis ini masih terdapat debat panjang tentang asal mula alam semesta. Apakah alam itu qadim atau hadist? Ada satu masalah lagi yang sebenarnya juga menarik namun tidak menyita perhatian sebesar pertanyaan pertama, apakah alam semesta diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilio) ataukah ia tercipta dari bahan yang sudah ada sebelumnya (creatio ex material)?

Sebenarnya aku hanya ingin membincang perkara sederhana. Tidak dalam rangka memberikan antitesa terhadap teori Darwin yang “sepertinya” sangat kuat dengan dukungan penemuan Hugo De Vries tentang genetika. Tidak pula sedang “iseng” campur tangan dalam debat panjang antara filosof dan cendekiawan solastik muslim yang saling adu kuat referensi agamis. Pun tidak dalam proses pembuatan mobil berbahan air prototipe baru (saya bukan SBY). Mungkin bahasan ini lebih bersifat psikologis meski aku juga tak terlalu paham teori-teori ilmu psikologi.

Seorang seniorku pernah bilang, “kita hanyalah modifikasi dari orang-orang sebelum kita.”

Mendengar kalimat di atas, aku tersadarkan kembali tentang pentingnya memiliki teladan. Ibarat barang mekanik yang membutuhkan tambalan di sana-sini di setiap keluaran terbaru, manusiapun sama. Kita bukanlah produk komplet dengan segala orisinalitas kecuali sekedar potensi. Istilah “al-mar’u ibnu biatihi” memberi bukti lain bahwa meniru adalah keniscayaan manusia. Istilah itu juga bisa memiliki makna lain, semacam ancaman, “jika kita tidak memutuskan untuk memiliki teladan dan prinsip yang akan kita copy, maka lingkungan sekitar kitalah yang lambat laun membentuk kita; jika kita tidak aktif mendesain pribadi kita sendiri, kita akan jadi korban desainer alami bernama alam.”

Well, karena itu, marilah memiliki teladan. Carilah kepribadian yang sesuai dengan karakter Anda, berikan inovasi-inovasi yang lebih orisinil dari pribadi Anda sendiri, lalu jadilah diri anda yang sama sekali berbeda dari orang lain.



Here's some options you may take (they are my idol in some parts)


Obama


Jose Mourinho

Pray For Egypt


Sebenarnya selama kurang lebih dua tahun ini, keadaan Mesir tak pernah stabil. Kekacauan demi kekacauan tak henti-hentinya terjadi.  Unjuk rasa, bentrok, suara-suara tembakan silih berganti menambah ricuh Kairo –juga di daerah-daerah lain- yang normalnya sudah sumpek. Semenjak Revolusi Pemuda 25 Januari–dan kejadian-kejadian pra-revolusi-, Mesir ibarat sekam yang terjilat api, membara.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tank-tank tentara berpatroli di jalanan (menjelang penggulingan Mubarak),  mendengar desing-desing tembakan di malam hari, menyaksikan rakyat Mesir berbahagia dalam perayaan setahun revolusi 25 Januari 2012, aku menjadi saksi hidup bagi masing-masing tawa riang euforia masyarakat Mesir maupun buncah kengerian mereka selama hampir dua tahun ini.

Perayaan Revolusi 25 Januari 2012 lalu

Tapi, sejujurnya, aku tak pernah sekhawatir sekarang.  Dahulu, saat pelengseran Mubarak, meski juga terbersit rasa takut, dalam hatiku tumbuh rasa bangga –dan ini mengalahkan rasa takutku- karena melihat rakyat bersatu padu. Kala itu jelas siapa yang benar siapa yang salah, dan itu membuatku yakin bagaimana alur cerita akan berjalan.  

Kali ini, saat rakyat Mesir terbagi menjadi dua kubu (pro Mursi dan anti Mursi) aku lebih ketar-ketir. Pasalnya, sekarang keadaan lebih sulit ditebak. Jika pemerintah (Mursi) bergerak cekatan dan bijaksana serta rakyat tidak mudah terprovokasi, keadaan bisa kembali normal segera. Tapi entah kenapa, prediksiku mengatakan kekacauan akan berlarut-larut, meski sejujurnya aku tak ingin skenario buruk macam ini terjadi.

Aku tak mau berspekulasi lebih jauh mengenai kondisi Mesir selanjutnya. Aku hanya bisa berdoa, semoga keadaan bisa pulih seperti sedia kala selekasnya. Karena sayangnya, kekalutan ini terjadi ketika kesadaranku bahwa Mesir lebih berharga daripada yang aku bayangkan sebelumnya mulai muncul. Baru-baru saja aku tersadar bahwa talaqqi ternyata melatih otak penalaran-penalaran logis, sesuatu yang bahkan tidak bisa didapatkan dalam kongkow-kongkow komunitas sok gaul sekalipun. Dalam kajian-kajian itulah, keilmuan Islam yang kejayaannya pernah menerangi dunia terkubur.

Terlebih lagi, kericuhan ini memanas ketika sebagian dunia Islam mulai menaruh harapan pada kekuatan politik baru, Mesir. “Mesir sekarang bukanlah Mesir kemarin, dunia Arab sekarang bukanlah dunia Arab kemarin,” demikian kalimat Mursi berkenaan dengan sikap Mesir atas masalah Palestina. Mesir juga dianggap berhasil menjadi perantara perundingan Hamas-Israel belum lama ini.

Untuk alasan apapun, umat manusia tetap harus mendoakan saudaranya agar selalu dalam kedamaian. Cz when the rich wage war it’s the poor who die (LP).

Nowadays's condition