RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 15 Oktober 2010

Ke Mesir, Apa yang Kau Cari?

“Tapi pak, kita kan tidak harus jadi ulama nantinya! Kita bisa jadi pengusaha, politisi, anggota dewan, dll,” seloroh seseorang penuh semangat. Dari nada bicaranya, sepertinya orang ini sangat terobsesi untuk menjadi politisi, politikus, atau apalah semacamnya.
Orang yang diajukan kepadanya pernyataan setengah pertanyaan ini kemudian tersenyum, dan kemudian dengan tenangnya menjawab:
“lha memangnya kamu sekolah disini mau jadi apa? Kalau mau jadi camat ya sekolah aja di STPDN, kalau mau jadi pejabat ya masuk STAN, kalau mau jadi politisi kuliah fakultas politik di UGM.” Jawaban itu begitu menghentak seisi ruangan.
Hmm, yang bertanya adalah salah satu mahasiswa yang juga merupakan salah satu “pejabat” dalam dinamika politik masisir. Sedangkan yang menjawab adalah bapak A.M. Fakhir, duta besar berkuasa penuh republik Indonesia untuk republik arab mesir.
Menilik jawaban pak dubes, seharusnya pernyataan itu menjadi cambuk penyadar kita. Bahwa jauh disana, ada orang-orang yang lebih piawai dari kita jika berurusan dengan masalah bisnis, politik, dll, karena mereka memang dicetak untuk itu. Sedangkan kita, seharusnya mengusai bidang kita karena kita memang dicetak untuk hal berikut, menjadi orang yang mengetahui agama. Dan yang perlu ditekankan, bidang kita adalah bidang yang mulia, bukan hanya di dunia, di akhiratpun kemuliaan itu sudah terjamin adanya.
Tak ada salahnya berbisnis, belajar keorganisasian, atau bahkan menjadi “politisi gadungan” di bumi kinanah ini. Apalagi Al azhar seolah memberikan toleransi seluas-luasnya dengan peraraturan kuliah yang terkesan kendor. Namun yang perlu digaris bawahi tentu saja pertanyaan diatas, apa yang kau cari disini?
Meskipun tidak menafikkan kemungkinan lain untuk berkecimpung di berbagai bidang selepas kuliah usai, namun tujuan utama kita merantau jauh ke negri orang adalah untuk ber tafaqquh fiddin. Ya, untuk belajar agama.
Liyatafaqqohuu fiddin waliyundziru qoumahum idza rojau ilaihim laallahum yadzaruuna.
Untuk memperdalam ilmu agama agar mereka mengingatkan kaum mereka agar mereka dapat menjaga diri.
Sehingga kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan kebutuhan primer kita ini harus masuk barisan terdepan dalam skala prioritas. Yang lainnya, bagaimana kita mengatur waktu supaya jangan sampai yang sekunder mengalahkan otoritas primer. Jangan sampai urusan eksternal kita diluar belajar, dijadikan alasan untuk menutupi kegagalan belajar kita.
Belajar memang bukan hanya di bangku kuliah, namun bukankah orang tua membiayai kita hingga sejauh ini masih untuk ruang lingkup pembelajaran yang konotasinya akademis. Dan bukankah jika kita rosib, tetap saja konotasinya “kita tidak belajar” dengan benar. Sampai disini ulasannya, mengenai bagaimana menyikapinya, saya serahkan kepada pembaca sekalian bagaimana menyiasatinya.

0 komentar:

Posting Komentar