RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 14 Juli 2011

Envy

Awas jangan salah tangkap, bukan Enbi Sabi’ ya, tapi Envy, hehe.

Jujur saja, sebenarnya aku seorang temperamental. Hal ini bertambah buruk karena menurut psikolog aku adalah seorang melankolis yang emosinya tidak stabil. Aku bisa tiba-tiba kehilangan kontrol karena amarah. Kalau sudah begitu, tinggal ambil batu lempar ke kepalanya, haha. Pernah aku menghancurkan lemari yang baru kubeli sebulan karena kesal dengan tumpukan pakaian yang tak rapi-rapi, haha. Untungnya selama ini belum menemukan hal-hal yang begitu memancing emosi, sehingga semuanya masih terkendali.

Sedikit tentang karakter, lagi lagi ini subyektif. Pendapatku tentang diriku sendiri, jadi tak perlu diperdebatkan, terserah bagaimana anda menilaiku. Apalagi karakter adalah hal abstrak yang tidak bisa didefinisikan dengan pasti. Ibu menurunkan sikap kesahajaannya, serta kesederhanaan berpikir dan bertindak, tipikal orang jawa. Nggak usah neko neko, begitu kata Ibu. Tapi aku juga mewarisi sikap keras kepala ayahku, plus cuek kebonya (lebih cuek ari bebek). Sifat terakhir inilah yang tetap membuatku PD meski tampang lecek gak karuan. Apapun itu jika aku merasa nyaman, aku akan menikmatinya, tak peduli kata orang. Mungkin itu sisi eksentrikku, dan bukankah semua orang punya keeksentrikan masing-masing?

Hal yang paling membuatku naik darah adalah jika melihat seseorang lebih baik. Rasanya darah mendesir naik ke ubun ubun seperti disedot pompa dari alam tak kasat mata. Dengki, nanti dulu. Bagiku selama rasa ini tidak berwujud pada praktik menyelakakan orang lain, selama itu pula sifat ini akan aku jaga. Karena ternyata, rasa inilah yang telah mengantarkanku sejauh ini. Dengan tantangan hidup yang semakin hari semakin nyata, dan dengan saingan-saingan baru (orang-orang baru, hehe) yang semakin hebat. Rasa ini yang memancingku untuk berpikir keras bagaimana cara mengakali supaya bisa tetap bersaing dengan orang-orang yang selalu lebih baik.
Dulu, waktu kelas satu KMI, aku minder besar. Ya, berada di kalangan anak-anak pintar dari sekolah-sekolah unggulan asal kota-kota besar sedikit banyak membuatku keder. Jika flashback ke sekolah SD ku yang hampir roboh dan hanya diisi belasan pasang kaki manusia tanpa alas dulu, ini semua seperti sebuah antonim. Akhirnya, aku bisa juga naik kelas ke kelas dua B setelah pontang panting syaharullail. Lalu di kelas 3 C, bisa juga kucicipi rasa menjadi juara kelas setelah tiap pagi mengunjungi wali kelas untuk memahami pelajaran Nahwu Sharf.

Kini, rasa iri itu tumbuh lagi. Sebenarnya perasaan ini sudah membuncah hebat semenjak ujian, sehingga karenanya aku begitu tersiksa selama ujian. Kalau diibaratkan, mungkin seperti magma yang sudah memuncak di mulut gunung. Tinggal satu gerakan tektonik saja, maka habislah sekeliling gunung dilahap lahar.

Sebabnya, tentu saja ketidakmampuan diri menyesuaikan kemauan serta kemampuan dengan karya. Teriris hati ini rasanya melihat teman-teman yang jauh lebih muda sudah berhasil menelorkan karya mereka. Buku-buku bagus mereka yang bertebaran, atau karya-karya hebat mereka di dunia cyber membuatku kembali tersiksa. Sepertinya aku harus kembali berpikir keras, bagaimana untuk bisa kembali bersaing dengan orang-orang hebat itu.

Jagalah perasaan tersiksa melihat sebuah keberhasilan, karena itulah yang memacu anda untuk berbuat lebih baik (Poetra)
Ceracau Rajawali, pagi ini, Kamis 14 Juli, 2011.

0 komentar:

Posting Komentar