RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 02 Desember 2015

Agama, Terorisme dan Peradaban Kita



Jika orang ramai mengatakan terorisme bukan agama, saya setuju. Agama mana pun tak pernah menganjurkan kekerasan, melainkan perdamaian dan harmoni. Tapi bahwa pelaku terorisme itu menjadikan agama sebagai justifikasi, kita tidak bisa menolak fakta itu. Lantas, bagaimana?

Tak sedikit orang yang menyalahkan agama atas fakta itu. Pada masa ketika manusia telah membangun peradaban yang luar biasa seperti saat ini, agama tak lagi diperlukan. Salman Rusydie bilang agama adalah produk abad pertengahan yang memang sudah waktunya ditinggalkan.

Pandangan macam ini tak melulu bersandar pada rasionalisme. Dalam novel Rusydie kita temukan fantasi-fantasi yang sama sekali bukan ciri rasionalisme modern. Posmodernisme memberi tempat emosi, hasrat, spiritualitas dan sisi-sisi kemanusiaan lain. Tetapi, tidak untuk agama.

Agama dianaktirikan karena telah memiliki citra buruk, otoriter. Apa yang dapat kita ingat dari sejarah kemanusiaan adalah peradaban agama, yang telah kita kuak cacatnya dan karena itu harus ditolak. Kita tak punya ingatan tentang peradaban sebelumnya.

Kita tak pernah tahu bagaimana buruknya peradaban yang mengagungkan hasrat. Kita mengutuk komunalisme tanpa punya data bagaimana nahasnya peradaban individualis. Pengetahuan kita tentang hal itu tertutup lapisan-lapisan tanah yang menguruk fosil-fosil yang kita sebut “pra-sejarah”.
Kita merasa peradaban bergerak maju. Tapi kata Focault tidak, yang bergerak hanya pola-polanya saja. Manusia merasa melaju dengan akalnya hanya untuk menemukan bahwa sekarang kita kembali pada hasrat, fantasi, kegilaan, ketidaktahuan. Tidakkah kita merasa mundur?

Tentang terorisme, kita harus adil. Terorisme adalah produk peradaban kita dan bukan salah agama. Ia adalah letupan yang muncul dari ketidakmampuan kita mewujudkan keadilan. Ia adalah rasa frustasi dari diri kita atas kegagalan kita menebarkan harmoni. Bagaimana mungkin orang diam saja ketika pesawat tanpa awak membunuhi orang tak berdosa? Ketika Amerika masuk ke Irak dengan alasan yang dibuat-buat dan membangun demokrasi dengan tumpukan nyawa, kita tahu ada yang tak beres dengan kebijakan dunia.

Barangkali juga, para teroris memang merasa nyaman dengan “agama” yang menyajikan kedamaian dalam komunalismenya, sementara masyarakat kita tiada lagi menghargai kebersamaan.

Ada banyak hal yang perlu ditilik kembali dari peradaban kita.

0 komentar:

Posting Komentar