RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 25 Februari 2011

ALI / C

Pagi itu Tasji’ Ust Daniel benar-benar membakar semangatku.
“ Kalian tahu, apa yang membuat negara Amerika serikat begitu maju?” jelasnya dengan menggunakan metode Tajahul Siqroti. Dengan suara lantang beliau meneriakkan kata-kata tersebut dihadapan kami, santri kelas 1 G. Meskipun suaranya melangking namun tak mengurangi kewibawaannya, terutama karena setiap kata yang terucap dari bibirnya nampak bersumber dari hatinya.

Beliau berkeliling sebentar, memandangi satu-persatu wajah kami dengan mimic meminta jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Heri, santri asal Aceh yang sudah fasih berbicara bahasa arab selalu menjadi pusat perhatian di kelas.
“ Heri!” yang ditanya hanya menggeleng tanda tak tahu. Kemudian beliau beralih kebeberapa santri lainnya, Jihad sang ketua kelas, Novriyadi si gembong kelas, dan beberapa temanku yang lainnya. Semuanya menggelengkan kepala.
Setelah memastikan tak satupun dari kami yang dirasa mampu menjawab. Beliau beranjak mengambil kapur dan menuliskan sesuatu di papan tulis sebuah kata yang seluruhnya menggunakan huruf kapital:
ENVY
“ Ada yang tahu artinya?” beliau melanjutkan. Ust Daniel memang salah satu staff LAC (Language Advisory Council), bagian yang bertanggungjawab dalam bahasa sehingga selain menguasai banyak kosakata beliau juga amat fasih ber cas cis cus.
Semua santri terbengong-bengong memperhatikan kata yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Dari mimik kami semua rasanya taka ada yang mengisyaratkan jawaban: saya tahu ustadz.
“ Envy artinya iri,” beliau memulai penjelasan.
“ Amerika menjadi Negara yang paling maju dengan nilai Gross Domestic Product terbesar di dunia karena mereka iri,”
Waduh, bahasa planet mana lagi ini, batinku. Namun aku paham intinya bahwa Amerika maju karena rasa iri, tapi? Semuanya masih bekum bisa kucerna, mengapa demikian.
“ Ya, mereka iri jika melihat ada yang lebih baik dari mereka, sehingga mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk berbuat yang lebih baik.” Begitu penjelasan beliau.
Akhirnya aku mengerti apa yang beliau maksud.
Semenjak hari itu, aku bertambah iri melihat teman-teman sekelasku dulu di Gontor 2, kelas B 1. Semuanya duduk di kelas atas, dengan proporsi terbanyak tentu saja kelas 1 B, kemudian 1 C, dan selanjutnya 1 D. Sisanya ada beberapa yang duduk di kelas 1 E, dan hanya aku yang terbuang di 1 G. Memang aku akui, dahulu di Gontor 2 aku banyak tak paham pelajaran. Mereka jauh lebih pintar, apalaig mereka berasal dari kota-kota besar, ada yang anaknya Dosen, Wartawan, Pengusaha, Polisi, dlsb. Sementara aku hanya seorang anak pelosok yang bahkan beruntung bisa mengecap sekolah lanjutan pasca tamat SD.
Akupun mulai belajar lebih giat, untungnya Ust Imanuddin sebagai wali kelaskupun amat rajin membantu para santrinya dalam belajar. Sehingga sedikit demi sedikit, aku bisa memahami pelajaran berbahasa arab yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Ditambah hobiku membaca buku-buku berbahasa Indonesia seperti Sejarah, Biologi, dan Geografi, aku amat menikmati masa-masa belajarku di kelas satu.
Akhirnya murojaahpun tiba, kini saat untuk mengukur sejauh mana usahaku selama ini.
7,9.
Itulah nilai rata-rataku dalam murojaah pertamaku di bumi Darussalam ini. Aku memang menjadi yang terbaik dikelasku, namun saat aku membandingkan dengan teman-teman yang duduk di kelas atas, aku masih tertinggal jauh, banyak dari mereka yang mendapatkan 8, bahkan lebih. Huft , seperrtinya aku harus berusaha lebih keras.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Buk,
Aku terkejut dan ternyata itu adalah bunyi sajadah yang menghantam punggungku. Itu juga sebuah perintah bagiku untuk berdiri sebagai hukuman karena aku tidur saat membaca Al Quran pagi itu.
Al Akh yang melempar sajadahnya tadi tampak mendekatiku, setelah memasang kembali sajadahnya di pundak sebelah kanannya dengan rapi Al Akh itu mulai menasehatiku.
“ Ya akhi, anta ayyu fasl?” tanyanya, sepertinya dia menyindir.
“ Awwal G al akh,” jawabku lirih, kelas 1 G adalah kelas terbawah sebelum 1 H dan 1I.
“ Sudah tahu kelas bawah, kenapa masih tidur terus. Seharusnya kamu sadar, kamu harus lebih giat daripada teman-temanmu yang kelas atas.” Begitu nasehatnya, seperti tebakanku.
Kemudian dia berlalu, membiarkanku tetap berdiri. Sebenarnya aku beruntung hanya berdiri, ini adalah hukuman yang amat ringan. Jika sedang apes, bisa saja kuping ini habis dijewer tanpa belas kasih. Atau ditampar seperti yang dialami teman sekamarku barusan. Bahkan jika parah disiram air untuk kemudian berdiri di tengah lapangan dan menjadi tontonan gratis anak-anak se asrama. Al akh yang barusan memang terkesan baik di kalangan anggota rayon GBS.
Oh iya, namanya Yusron Shidqi, rasanya semua orang di pondok ini juga tahu. Dia adalah putra dari K.H Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU. Aku bersyukur sekali masuk pondok ini, karena bisa bertemu dengan anak-anak orang besar. Al akh tadi salah satunya, beliau adalah pengurus asrama sekaligus wali kamar ku, Aligarh 111.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
39. Ali
Alhamdulillahirabbilalamin, akhirnya kutemukan namaku di daftar nama kenaikan kelas yang tertampang di depan gedung Saudi. Kelas 2 B, seperti cita-citaku selama ini. Akhirnya aku bisa berkumpul kembali dengan teman-teman lamaku yang dulu pernah sekelas di Gontor 2. Aku bahagia karena katanya kelas B selalu diberikan guru-guru pilihan, dan juga wali kelas pilihan. Meskipun namaku hanya tercatat di urutan 39, tapi tak mengapa. Kini aku mempunyai banyak saingan untuk belajar lebih giat. Tapi satu hal masih membuatku bertanya-tanya, mengapa jumlah siswa 2 B 45 orang? Jumlah rata-rata santri dalam satu kelas adalah 40 siswa, kalaupun lebih atau kurang hanya kisaran satu dua orang saja. Hmm, tak tahulah, yang jelas aku saat ini bahagia duduk di kelas 2 B meskipun harus duduk berhimpitan sebangku berlima karena saking banyaknya jumlah siswa.
Kutatap wajah-wajah sekelilingku, di deretan bangku depan ada Aulia, santri yang tahun lalu mendapat nilai terbaik di kelas 1. Kemudian di deretan depan, si Hanif, teman sekelasku di Gontor 2 yang dulu juga menjadi santri dengan nilai terbaik saat kamimasih calon pelajar. Disisi kanan deretan bangkuku, duduk Ade, sang professor computer yang konon bisa memahami bahkan menerangkan pelajaran eksak (Matematika, Fisika, Kimia) kakak kelas. Juga wajah-wajah lama teman-teman B1 ku, serta beberapa orang yang tak kukenal. Sementara dari kelasku 1 G, terdapat dua orang, aku dan Wahyu, temanku asal Lamongan.
Hari itu euphoria kebahagiaan melanda diriku. Tiba-tiba terbersit olehku moto kelas kami B1 di Gontor 2:
Still be like bee!
Alright, welcome back to B! Bee.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Hari itu ada keanehan. Sudah 15 menit guru pelajaran pertama meninggalkan kelas, waktu memang menunjukkan saat untuk pelajaran kedua. Al Muthalaah pelajarannya. Inilah pelajaran yang ditunggu-tunggu, karena inilah pelajaran wali kelas. Namun, sang ustadz belum menampakkan bantang hidungnya.
Tiba-tiba masuklah Ust Imanuddin, staff KMI yang tahun lalu adalah wali kelasku. Kabarnya dia kini adalah wali kelas 3B, apakah mungkin juga menjadi wali kelasku 2B.
“ Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,” salamnya menghamburkan semua spekulasi dalam khayalku.
“Waalaiksalam warahmatullah wabarakatuh!” anak anak menjawab dengan semangat.
“ Nama-nama yang dipanggil harap menghadap ke Kantor KMI,” begitu lanjut beliau, suasana kelaspun berubah menjadi riuh rendah.
“ Muhammad Aulia!,”
Yang dipanggilpun keluar kelas, sementara suasana kelas bertambah ramai. Sebagian bertepuk tangan, yang lainnya saling berpandangan, ada apa ini? aku tak habis pikir. Seorang teman mengabariku bahwa nama-nama yang dipanggil adalah mereka yang naik langsung ke kelas 3.
“Ali!,”
Aku tersentak ketika namaku dipanggil, tak tahu harus bagaimana akupun melangkah maju. Terasa ada yang lain dalam langkahku, aku serasa melayang dan melangkah tak berrpijak.
Alhamdulillahirabilalamin, kebahagiaan ini adalah kejutan luar biasa. Rupanya Allah memberikan lebih dari yang aku minta. Betapa besar karuniamu Ya Robb!
Di depan kelas sudah ada Aulia, Azizy, dan Imam, kemudian Aku. Dan setelahku keluar Adi, Hafidz, Rahmat, Triono dan Khoirul. Semuanya 9 orang.
Akhirnya kamipun menghadap Ust Ali Syarkowi, Wakil direktur KMI. Setelah beliau bertanya mengenai latar belakang kami dan keluarga kami beliau mengabarkan bahwa mulai besok kami mempunyai kelas baru di kelas 3. Hmm, rupanya inilah sebab mengapa anggota kelas kami begitu banyak. Karena aka nada yang pindah ke kelas lain. Aku mendapat tempat di 3 C, bersama Imam.
Sorenya aku pergi ke Bagian Keamanan untuk membeli papan nama. Dalam perjalanan aku berpapasan dengan Adi, kulihat ia tersenyum. Ya, kini ia tak lagi mengenakan papan nama berwarna hijau, sudah berganti warna menjadi hitam, warna untuk kelas 3. Akupun membeli papan nama baru. Dengan bahagia aku mengenakannya, papan nama hitam bertuliskan ALI / C.

0 komentar:

Posting Komentar