RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Sabtu, 26 Februari 2011

Akibat Impolite Words

“Shut up your f**king mouth! Son of b*t*h!”

Dalam perjalanan menuju Qoah aku mengoceh seenaknya. Akhir-akhir ini intensitas belajar bahasa inggrisku memang sedang on fire. Dibantu dengan banyaknya buku rujukan belajar bahasa inggris yang memang bertebaran di kantor CLI, juga dengan semakin seringnya aku mendengar conversation dan terutama lagu-lagu berbahasa inggris. Aku mulai percaya diri melafadzkan kata-kata bahasa asing ini. Kini aku sering asyik berguman sendirian memperlancar pronounciationku, sayangnya banyak kata-kata kotor yang juga lepas dari mulutku.

Kalimat diatas adalah salah satunya, anda tahu apa akibatnya?

@_@
Malam ini pembagian kelas untuk siswa kelas 6. Setelah selama hampir sebulan kami hanya dikelompokkan secara acak. Inilah saatnya untuk dengan tenang mendapatkan kepastian dikelas apakah kami duduk. Kata ustadz pengasuhan sih, dengan pembagian kelas ini kami resmi menjadi kelas 6.

Fathan, Dani, Lukman, dan teman-temanku yang lainnya termasuk di bagian bahasa telah siap dengan baju biru mudanya. Baju khusus diperuntukkan hanya untuk kelas 6. Akhirnya setelah perjalanan 4 tahun untuk kelas intensif, dan 6 tahun untuk kelas biasa, kami bisa mengenakan ini.

“ Lukman, pinjam penanya dong!” aku baru sadar bahwa pena yang tersimpan di almariku raib entah kemana.

“ Wah, ana ga punya lagi, Cuma satu”. Jawabnya yang membuatku harus meminjam ke yang lainnya. Sialnya, semuanya hanya punya satu. Maklum, kegiatan belajar masih belum berjalan, jadi kami belum mempersiapkan peralatan tulis. Singkat cerita akupun menuju Qoah tanpa ditemani pena, teman corat-coretku selain sang kertas.

Dalam perjalanan menuju Qoah, gurauan dan candaan seperti biasa menemani langkah kami. Dan salah satu perkataan yang meluncur dari mulutku adalah kalimat diatas.
Tentang perkumpulan ini, memang secara umum penting. Tapi untukku hanya sekedar formalitas. Aku sudah yakin bakal duduk di kelas berapa, kejadian yudisium kelas 5 yang meyakinkanku.

Kamipun berpencar ketika telah sampai disisi luar Qoah, masing-masing mencari teman untuk sejenak ngobrol sebelum acara dimulai. Aku hanya asal duduk, membuka buku tulisku, hendak menulis sesuatu. Dan, olala, aku baru ingat jika tak ada pena di kantongku.

Matakupun jelalatan, mencari bantuan yang mungkin bisa dimanfaatkan. Tak berapa jauh dari tempat dudukku, duduklah fitrah, seorang teman asal medan. Yang menarik perrhatianku tentu saja sebuah pena tulis di kantongnya sementara di tangannya telah tersedia pena lain.

“ Fitrah, boleh pinjam penanya!” pintaku.

“ Afwan, tadi teman sekamar ana aja ga ana kasih”, aku terdiam setelah tak bisa memaksanya meminjami pena itu. Huh, orang ini memang termasuk golongan manusia-manusia menyebalkan kelas berat.

Kegundahankupun akhirnya terkikis acara akhirnya dimulai. Euphoria kebahagiaan tampaknya malam ini menyelimuti Qoah ketika satu persatu nama dipanggil menuju ke dalam qoah untuk duduk di deretan bangku-bangku yang telah diurutkan berdasarkan kelas, B,C,D dan seterusnya. Namun pemanggilan dari kelas terbawah, 6 N.

Tebakanku tak meleset, aku dipanggil tepat sebelum nama terakhir. B lagi, terkadang aku berpikir untuk kembali merasakan suasana beda di kelas abjad lain, sudah tiga tahun aku hanya berkumpul dengan orang yang itu-itu saja. Kenangan 3 C yang amat berkesan membuatku ingin mengulanginya.

“ Primitif !!!” bentakan itu mengaburkan lamunanku dan meredakan riuh rendah kebisingan di Qoah itu seketika.

Ust Nur Hadi Ihsan, MIRKH. Sang Wakil direktur KMI adalah sumber suara itu. Sepertinya memang kami (kelas 6) terlalu berlebihan mengapresiasi kebahagiaan duduk di kelas 6. Sehingga masing-masing seolah mendengung bagai lebah tanpa ada yang memperhatikan jalannya acara.

Hffft, aku menghela nafas panjang. Akhirnya acara selesai juga. Aku memandang ke belakang, menatap satu demi satu wajah teman sekelas, sepertinya ada beberapa wajah baru, beberapa orang dari 5 C tak mengherankanku. Namun kemunculan Riska yang tahun lalu 5 E dan Abrar yang tahun lalu 5 J cukup mengagetkanku. Semoga dengan kehadiran mereka suasana kelas menjadi lebih berwarna.

Ups, ternyata acara belum selesai. Dan semuanya berawal dari sini.

@_@
Pria berbadan besar itu adalah salah satu staff pengasuhan. Dengan suara agak diberat-beratkan beliau berteriak.

“ Yang tidak membawa buku tulis maju!!!” gaungnya terdengar menambah kewibawaannya.
Siang tadi beliau memang sudah mewanti-wanti, agar semuanya membawa buku tulis untuk menulis apa saja yang bisa didokumentasikan dari perkumpulan malam ini. Petuah dan nasehat dari bapak pimpinan maupun bapak direktur KMI biasanya yang kami tulis. Beliau mengancam akan membotak santri yang tidak melaksanakan instruksi.
Tak ada seorangpun yang maju. Karena semuanya melaksanakan apa yang diminta.

Tiba-tiba kalimat lain meluncur, seolah petir di siang bolong,

“ Yang tidak membawa pena maju ke depan!”

Alamak! Aku terkesiap, itu kan tidak masuk khitob. Sial ! . Yang lain banyak pula yang menggerutu.

Akhirnya bersama seratus dan belasan orang lain aku melangkah gontai ke depan khalayak. Untuk merelakan mahkota kebanggaan kami, sang rambut, di acak-acak mengerikan dengan gunting yang sudah tak terlalu tajam. Apes, aku botak lagi. Seumurku di pondok ini adalah yang kedua. Sebelumnya saat kelas 5 karena aku alpa saat perkumpulan. Kali ini lebih tragis, karena kesalahan yang menurutku dipaksakan. Ditambah statusku sebagai salah satu staff penggerak bahasa yang ditakuti para santri, botak adalah aib.
Huft.
@_@

Esoknya selepas Dzuhur aku merapikan rambutku yang teracak-acak. Artinya, sekarang rambutku pelontos atau gundul. Tak bisa lagi menggunakan minyak urang aring agar terlihat klimis, juga tak bisa menggunakan Gatsby Wax yang membuat rambut bagian depan berdiri tegak, style yang paling latah di bumi Darussalam. Paling tidak sekarang model rambutku sama seperti Zinedine zidane, pemain bola top yang kukagumi.
Pukul 2.00 kami segenap kelas 6 masuk kelas. Untuk pembagian jadwal dan perkenanaln dengan wali kelas yang akan membimbing kami setahun ke depan. Masalah baru untukku, botak di saat perkenalan dengan wali kelas tentu akan meninggalkan kesan yang tak baik.

Dengan penuh karisma Ust Syahruddin membacakan absen
Akhirnya

“ Kurniawan Dwi Saputra!” sampai pada giliran absenku.

“Hadir!” jawabku menyatakan kehadiranku.

“ Lho, kenapa kepalamu?” Tanya Ust Syahruddin ingin tahu.

“ Kejadian semalam ustadz, ana la ahmil qolam!” jawabku lirih, bersama harapan agar beliau tidak cepat menilai buruk diriku.

Sepulang dari pembagian jadwal, kegundahan hatiku membuatku bernafsu mencari-cari kesalahan para adik kelas. Terhitung beberapa orang menjadi korban ketidaknyamanan suasana hatiku saat perjalanan pulang. Adzan ashar akhirnya mencegah keisenganku untuk mendapat lebih banyak korban.

Namun kesengsaraan diriku belum berakhir begitu saja.
@_@

Setelah menjalankan sholat ashar, sesuai rencana sebelumnya aku dan Lukman hendak membeli Cat untuk mewarnai papan kosakata yang dipajang di penjuru Darussalam. Perjalanan ke toko bangunan KUK milik pondok yang terletak sedikit di luar pondok mengharuskan kami meminjam sepeda.

Well, sepertinya nasib baik belum mau menaungiku. Kesulitan mendapatkan sepeda karena ketika itu bulan syawal. Bulan paling sibuk dalam kalender kegiatan. Akhirnya kami mendapatkan juga yang kami butuhkan, mirisnya, aku mendapat sepeda yang tak ada remnya plus roda yang tak sempurna bulatnya. Perasaankupun sebenarnya sudah tak enak saat hendak mengendarai sepeda ini.

Setelah membeli cat yang kami inginkan, kamipun kembali ke pondok. Lukman mengayuh di depan, aku mengikutinya. Di depan, sekitar 30 meter ada pertigaan, aku bermaksud untuk menyeberang terlebih dahulu sebelum mencapai pertigaan. Pertimbangannya, akan lebih sulit menyeberang di perrtigaan dengan sepeda tanpa rem dan roda yang sedikit oleng. Akupun membelah jalanan, namun,

“ Lukman!!!” aku berteriak reflek, tak tahu apa yang menimpaku.

Tiba-tiba saja aku sudah terpisah dari sepedaku, berada di pinggiran jalan. Aku bangkit kemudian memandang sekelilingku mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ditengah jalan raya, sebuah motor tergeletak bersama penunggangnya yang tertindih badan motor. Aku tak merasakan apapun sampai Lukman berteriak:

“ Ali!!! Kenapa kepalamu?!” aku mulai merasakan ada yang mengucur dari kepalaku dan
kakiku terasa sakit digerakkan. Barulah aku sadar bahwa di pergelangan kaki luka mengangga cukup lebar bersama kesadaranku bahwa yang mengucur dari kepalaku adalah darah segar. Setelah itu pandanganku mulai berkunang-kunang.
Aku masih sadar ketika dibawa menuju BKSM, poliklinik milik pondok. Proses penjahitan luka dilakukan sesegera mungkin sehingga aku tak begitu banyak kehilangan darah.

“ Lho mas santri, ko kepalanya sudah botak duluan? Sudah tahu ya kalau bakal di jahit?” begitu gurauan perawat yang menjahit kepalaku.

“ Nggak dok, dia dibotak semalam”, jawab Lukman, sementara aku hanya bisa tersenyum ditenga ringisan rasa sakit dan kesadaran yang hampir hilang.

“ Lha memang salahnya apa to mas santri?” Tanya sang dokter lagi.

“ Ga bawa pena waktu kumpul dok”, kembali Lukman menerangkan.

“ Cuma karena ga bawa pena?” Tanya sang dokter keheranan.

“ Ya begitu dok, mungkin sudah nasibnya botak”, jawaban Lukman tadi mengingatkanku pada beberapa inpolite words yang aku rasa menyebabkan semua kesialan ini.
Akhirnya aku menghabiskan kurang lebih seminggu di rumah sakit untuk penyembuhan lukaku. Aku sempat khawatir gegar otak, karena pada awalnya kepalaku juga membengkak. Aku takut aku tak bisa lagi berpikir sebaik sebelum kejadian ini. Namun analisa dokter mengabarkan bahwa tulang tengkorakku baik-baik saja. Hanya pendarahan kecil yang membutuhkan beberapa hari pengeringan. Sementara luka di kakiku memaksaku memakai kruk selama dua minggu.

Bright side dari kejadian ini: jagalah perkataan. Oh iya satu lagi, setidaknya aku sudah berpengalaman bagaimana rasanya menggunakan kruk.

0 komentar:

Posting Komentar