RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 10 April 2011

Chocolate Cake Pembuat Malu

Pagi ini aku agak terlambat bangun pagi, padahal malam harinya alarm sudah ku atur agar menjerit jerit heboh pukul 04.30 pagi hari. Apa mau dikata, jeritan alarm memang berhasil membangunkan tidurku, namun hanya untuk membungkam mulut alarm kemudian kulanjutkan pesta alam mimpiku. Mata ini terlalu berat untuk diajak bekerjasama bangun pagi, penelusuran pulau Belitong dan kebiasaan masyarakat melayu dalam Cinta dalam Gelasnya Andrea Hirata semalaman tak bisa dijadikan alasan. Hanya ada satu kata untuk ini, malas, penyakit kronisku rupanya masih dalam stadium tinggi.

Hingga akhirnya kutersadar ketika sinar fajar mulai menyilaukan mataku kala terjaga. Terpaksa kusingkirkan malasku demi menunaikan kewajiban. Setelah itu seperti biasa, tanganku mulai menyentuh tuts key board della, laptopku tersayang.

Baru beberapa saat berselancar, mobileku berdering. Kalian tentu masih ingat nadanya, instrument lagu kesayanganku, mockingbird. Kuangkat panggilan masuk itu.

Ternyata dari Zen, temanku sesama kru Informatika, mengabariku bahwa hari ini ada wawancara dadakan. Wawancara adalah hal paling menyebalkan diantara aktifitas jurnalistik amatiran ini, disamping transkrip rekaman hasil wawancara yang juga amat melelahkan. Namun, wawancara kali ini sepertinya menarik, kesempatan untuk berbincang dengan seorang jurnalis asal Amerika Serikat tak bisa kuabaikan. Terlalu menggoda, mungkin begitu istilah dalam dunia asmara.

Terpaksa kutunda keinginanku untuk mulai kuliah, padahal semalam aku sudah mencanangkan revolusi akademis yang mengharuskan diriku untuk selalu hadir dalam perkuliahan. Well, tak apalah untuk yang satu ini. Alibi bisa diterima.

Ketika sampai di wisma nusantara, sesuai dengan rencana awal tempat interview, ternyata si bule tidak datang. Kamipun memutuskan untuk mengikuti perkuliahan terlebih dahulu, hari ini pelajaran Tauhid, momok paling menyeramkan mahasiswa tingkat satu fakultas ushuludin di termin dua ini, dan aku belum masuk sekalipun.

Mengikuti perkuliahan, ternyata masih seperti yang dulu, membosankan. Bangku kayu yang keras tak mampu mencegah kantuk yang dengan kejam memupuskan semangatku yang tadi begitu menggebu-gebu. Uapan uapan malas mulai memenuhi detik demi detik yang terasa amat lama. Akhirnya kelas yang membosankan itu kelar juga.

Kulangkahkan gontaiku ke Masjid, duduk di teras masjid yang ternaungi dari sinar matahari, aku melanjutkan penelitian Pulau Belitong. Novel Si Ikal terlalu menarik untuk dilewatkan setiap katanya. Analisa-analisa unik, parodi-parodi menarik, dan lelucon lelucon ciamik atas segala sisi negatif kehidupan memberiku banyak inspirasi dalam cara pandangku tentang hidup ini. Sekali lagi, terimakasih bung Andrea.

Akhirnya sampai saat lepas dzuhur, aku bersama zen harus menuju Dokki untuk melaksanakan tugas yang tadi tertunda, interview dengan seorang bule.

Buta arah, aku tak pernah mendengarnya. Aku hanya pernah tahu buta warna, penyakit tidak membedakan warna warna tertentu. Namun itulah yang dikatakan Zen menjangkit dirinya, susah menghafal daerah daerah yang pernah dilaluinya. Dan itulah alasan mengapa dirinya selama ini sering tersasar, katanya. Aku hanya tertawa mendengarkan penjelasan penjelasan masuk akal namun aneh darinya. Akhirnya hal ini kumasukkan dalam daftar penyakit aneh, nomor 2, setelah dualisme kepribadian karena kelabilan anak muda yang lebih dulu menduduki nomor 1. Sedikit tambahan, akibat penyakit anehnya itu, kami terpaksa luntang lantung di depan toko kebab menunggu datangnya sang bule. Padahal ternyata si bule berada di seberang jalan di Sekolah Indonesia Kairo. Aku yang belum pernah datang ketempat inipun menggerutu kesal padanya, karena dia kenyatannya sudah pernah datang ke tempat ini.

Akhirnya, kami bertemu sang bule, namanya Julia Simon. Ia adalah seorang jurnalis dari sebuah radio amerika, pernah juga bekerja di BBC dan kini menjadi wartawan NPR. Yayasan Henry Luce Foundation memberinya kesempatan untuk melakukan riset mengenai kehidupan masyarakat Indonesia di Kairo pasca revolusi Mesir.

Melalui obrolan santai kami, kutahu bahwa ia adalah seorang yahudi. Namun ketika kita tanya mengenai opini pribadinya tentang islam ia berkata;

“ Islam is complicated, just like others.”

Ya, harus kita akui fakta bahwa Islam begitu kompleks dengan berbagai macam perbedaan dan permasalah di dalamnya, tak berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun itu mungkin hanyalah jawaban diplomatis darinya.

Kemudian perbincangan beranjak ke bahasan-bahasan lain. Aku yang tak ada persiapan sebelumnyapun asal nyerocos saja. Kutanyakan tentang Indonesia, Jogja, gudeg, Obama yang pernah tinggal di menteng dan hal hal ringan lainnya. Oh iya, makanan Indonesia yang ia gemari adalah nasi goreng.

Sebelum berpisah ada hal memalukan kami, ternyata uangku tak cukup untuk membayar makanan yang kupesan. Padahal sebelumnya telah kupilih kopi dengan harga paling “murah”; 9,25 Le. Ternyata kami berdua menghabiskan 50 Le untuk makanan dan secangkir kecil kopi kami. Padahal uang di kantongku hanya 40 Le, sisa ongkos transport ketempat ini. Parahnya, uang Zen tak tersisa sedikitpun. Terpaksa kami (dengan malu yang tak terlukis lagi) meminta bantuan Julia untuk membayarkan kekurangan ini. Alamak, mimpi apa aku semalam sampai harus menanggung malu sebesar gunung galunggung hamil ini (bagian ini lebay).

Setelah kutelusuri ternyata akar masalahnya ada pada desert alias makanan penutup. Cuci mulut yang berupa sepotong cocholate cake ini ternyata sepotongnya berharga 14.5 Le, sial. Padahal sudah kuperkirakan untuk memesan yang termurah. Kami kecolongan disini karena tak mau kelihatan malu ketika sang waiter menanyakan;

“ What should the desert be? A chocolate cake or cheese?”

Karena kami pikir kue coklat lebih murah dan lebih bisa ditolerir lidah kami, kamipun mengangguk untuk pilihan pertama. Apa mau dikata, ternyata itu justru menjadi biang keladi ngutangnya kami.

Kamipun melenggang pulang setelah sebelumnya meminta maaf. Zen bilang tak bisa melupakan hal sangat memalukan ini. Aku sih santai, tak terlalu ambil pusing. Kubilang ke Zen, mereka itu kaum yang menjarah harta kekayaan harta kita. Jadi tidak ada salahnya kalau kita mendapatkan sedikit yang seharusnya memang kita nikmati, haha. Pelajaran mental dari kejadian ini :

Jangan pernah menyesali kesalahan yang telah kita lakukan.

Sedangkan pelajaran moralnya :

Bawalah uang secukupnya (baca: banyak) jika anda berhubungan dengan bule. Apalagi bila sang bule mengajak masuk ke coffee shop.

However, hari ini begitu spesial karena begitu spicy meskipun merupakan hari yang melelahkan. Dan hari ini membantuku untuk kembali bangkit dari keterpurukan, Rajawali telah membubung kembali.

Akhirnya, kuakhiri hari ini dengan sebuah kaliamat syukur.

Alhamdulillahirabbilalamin.

Sampai jumpa di episode berikut.

0 komentar:

Posting Komentar