RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 15 April 2011

Kuncen Pengguncang Iman

Sepertinya aku harus mengganti beberapa hal dalam info facebookku, terkhusus pada kolom major yang sekarang kutulis Ushuludin Al Azhar University. Menilik aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk jalan jalan akhir-akhir ini, dimulai semenjak revolusi Mesir usai dan tahun ajaran Universitas Al Azhar memasuki termin kedua. Mungkin akan lebih jujur dan adil bila aku menulis fakultas Pariwisata jurusan site searcher, haha. Sedangkan untuk Universitas sepertinya Egyptian Land University akan terdengar ciamik.

Hari ini sebuah pengalaman unik kembali mengusik ketenanganku untuk tidak menuliskannya dalam kata-kata. Setelah puas terpukau dengan indahnya scene ukiran ukiran pada bebatuan di bukit Muqattham, dan takjub dengan keunikan arsitektur gereja yang bertempat di lorong lorong perbukitan, aku terguncang dengan obrolan santai namun menusuk dari sang penjaga kanisah. Jujur aku katakan jika keterangan dari bapak tua yang sepertinya tak berpendidikan tinggi itu mengusik keimananku. Walaupun kemudian tentunya aku tak menelan mentah semua ucapannya karena kukunyah dengan tambahan pengetahuanku yang lumayan. Setidaknya kini aku mengetahui satu sudut pandang baru tentang hal yang selama ini aku yakini.

Bermula dari mujamalah khas Mesir, ismak eih lah, min ain lah, dan lain lain. Tak beda dari basa basi biasa dengan siapa saja manusia di bumi Alexander the Great mendirikan kotanya ini. Perbincangan mulai beranjak ke hal hal yang lebih serius, entah disengaja atau tidak oleh sang kuncen. Kamipun (aku, Azmi, dan seorang kakak kelas) terbawa oleh ceritanya tentunya karena mulut sang kuncen yang tak bisa berhenti seperti kebanyakan orang Mesir jika berbicara, pastinya luas (hasil kali dari panjang dan lebar, haha).

Mengenai keyakinan sang kuncen bahwa mereka adalah kaum yang beruntung telah menemukan Yasu’ ibn Maryam (Yesus), sementara orang orang Yahudi tidak mengetahui itu padahal telah tertulis dalam Taurat mereka, dan kaum muslimin masih menanti kehadiran Isa As hingga kini. Well, meskipun aku sudah pernah mendengar hal ini sebelumnya. Namun mendengarkan dari seorang yang bercerita menggebu gebu dengan keyakinan yang bertolak dengan milik kita akan mejadi sangat berbeda. Sangat mengusik keyakinan. Allahumma ihdini fiman hadaita.

Beralih ke hal yang lebih mengguncang, yaitu kisah mengenai pindahnya jabal muqattham . Konon, Al Muiz Lidinillah, raja dinasti Fathimiyyah, menyangsikan Injil merujuk pada ayat pemindahan gunung. Dalam Injil (tepatnya nggak tahu, hehe) terdapat ayat yang isinya bahwa seseorang yang memiliki keyakinan sebesar butiran benih akan mampu memindahkan gunung.

Kisah berlanjut kepada penjelasan kuncen akan sosok Sam’an (Simon in English), seorang penyamak sepatu yang karena imannya membutakan matanya sendiri. Sam’an diceritakan membutakan matanya karena tak sengaja melihat paha wanita yang sedang menyamakkan sepatunya padanya. Sosok Sam’an digambarkan sebagai refleksi seseorang yang memiliki keimanan seperti yang tertulis dalam ayat injil diatas.

Disini sisi kontroversialnya, seorang pastur dengan bantuan Sam’an dikisahkan berhasil mengangkat gunung dan matahari pagipun bersinar di bawah naungan gunung tersebut. Sang kuncen juga menjelaskan bahwa setelah mendengar kesangsian Al Muiz Lidinillah terhadapt injil kaum masihy pada zaman itu berkumpul dan berdoa memohon keajaiban dari Tuhan.

“Robbuna Yarham, Robbuna Yarham.” Begitu kata sang kuncen kalimat yang dilafalkan masyarakat Kristen koptik dalam tirakat ibadah selama 3 hari 3 malam. Sebenarnya kalimat yang aslinya diucapkan bukan dalam bahasa Arab, tetapi dalam koptik, namun telingaku tak cukup peka untuk merekam kalimat kalimat baru dan tak biasa itu.

Mengenai pemberian nama perbukitan yang jabal muqattham diklaim dalam cerita sang penjaga gereja bahwa Al Muiz Lidinillah akhirnya mengakui kehebatan injil setelah melihat fenomena yang tak bisa dijelaskan oleh akal tersebut. Dan karena Al Muiz meminta agar diberhentikan pemindahan perbukitan maka berhentilah orang orang nasrani dari doanya dan terjatuhlah perbukitan itu berkeping keping dengan jarak 3 kilometer berpindah dari daerah asalnya di Kairo lama ke posisinya kini. Kepingan kepingan inilah yang dalam bahsa arab disebut Muqattham atau Muattham dalam logat Mesir.

Yang lebih menganggu ketenanganku adalah cerita sang kuncen bahwa setelah kejadian itu Al Muiz Lidinillah pergi meninggalkan Kairo dan meninggal dalam perjalanannya di daerah Libya karena gila, panas aku mendengarnya. Benar benar mengusikku terlepas dari keterangan subyektifnya yang masih bisa didebat oleh fakta sejarah.

Setelah sang Kuncen usai menceritakan semua hal tentang Sam’an dan peristiwa pemindahan perbukitan Muqattham. Ia membawa kami ke suatu ruangan kecil berisi kursi roda dan tongkat pembantu jalan yang ia sebut sebagai mu’jizat. Mengapa demikian, karena menurut ceritanya terdapat seorang yang telah lumpuh selama 12 tahun namun kembali bisa berjalan setelah datang ke gereja itu dan didoakan oleh jemaat. Hmm, aku hanya bisa menganguk-anguk dan tersenyum demi menghormati keterangannya yang panjang lebar. Namun tentunya aku tak mudah untuk percaya begitu saja.

Akhirnya kami meninggalkan kawasan perbukitan yang dikelilingi daerah daur ulang sampah itu karena matahari mulai lengser dari singgasana siangnya. Dan kamipun sudah dinanti seabrek kegiatan lain dengan pertimbangan perut keroncongan sebagai alasan utama. Dan aku menelusuri jalanan pulang sembari menata kembali keyakinanku, serta sesekali beristighfar. Sebuah peringatan bagiku yang selama ini sudah merasa pintar, ternyata keyakinanku sempat tergoncang mendengarkan keterangan lugas seorang kuncen.
Asyhadu Alla Ilaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah

0 komentar:

Posting Komentar