RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 01 Maret 2013

Teknologi

Gene Sharp, Angelina Jolie, dan saya.

Bila kalian tak menemukan benang merah antara frase-frase lambang tiga eksistensi berbeda itu, saya mafhum.

Tak ada yang bisa menyimpulkan. Kecuali para pegiat demokrasi. Kalangan yang tahu bahwa Gene Sharp, di samping usaha konstannya menyebarkan ide revolusi non kekerasan, adalah orang kuno. Begitu kunonya hingga membuka email pun pria yang mendapatkan nominasi nobel perdamaian tahun 2009, 2011, dan 2012 ini harus dibimbing.

Eksepsi selanjutnya adalah penyuka entertainment. Kelas masyarakat “gaul” yang paham seluk beluk para sosialita. Mereka ini tak hanya mengerti bahwa Jolie, selain mashyur sebagai artis unggulan untuk peran wanita tangguh, juga merupakan aktifis kemanusiaan. Lebih jauh, mereka maklum bahwa pasangan aktor tampan Brad Pitt ini juga seorang yang gagap teknologi.

Kecuali juga teman-teman saya. Orang-orang yang hidup di sekeliling saya. Mereka yang barangkali –lagi-lagi menurut saya- lebih melihat saya sebagai pribadi inkoheren, daripada seorang dengan integritas pikir-laku. Pada hakikatnya, selain kementahan saya, perbedaan “kacamata” juga vital dalam memberi nilai.

Saya tidak dalam rangka berapologi. Saya tak pernah berminat. Saya hanya antusias untuk mempromosikan program saling lihat isi tempurung. Agar masing-masing dapat memandang semesta dengan cakupan lebih luas. Bagi saya, setiap orang hidup dalam tempurung, dan masing-masing menganggap itulah alam semesta.

Kembali ke kawan-kawan saya. Manusia sekeliling saya pasti paham bahwa saya sering menyerahkan kerumitan teknologis pada penyerahan-penyerahan, dan bukannya pertanyaan-pertanyaan ingin tahu. Saya apatis terhadap teknologi. Bahasa sederhananya saya ini bukan cuma katrok, tapi benar-benar tak mau tahu.

Sikap demikian tentunya tak wajar bagi akademisi. Apalagi alam kontemporer membutuhkan kecakapan integral. Kini, teknologi bukan sekedar ajang wah-wahan, ia sudah merupakan sarana untuk hidup. Seperti kapak di zaman batu, serta mesin uap di awal renaisans. It’s not just style, it’s way of life, kalau tidak salah begitu iklan salah satu produk digital.

Teknologi lalu bertransformasi lebih dari itu. Ia menjelma menjadi sebuah determinasi definitif. Ia berubah secara frontal menjadi semacam kata yang menjalankan fungsi term penengah.

Ia adalah pembeda. Karena itu, ia jadi sewenang-wenang. Orang-orang yang tak punya pengetahuan cukup dengan perkembangan mesin-mesin ia vonis kuno. Sayangnya, teknologi sudah ikut-ikutan menentukan kasta. Secara halus, ia sudah menyingkirkan kalangan tak mampu dari pergaulan.

Padahal, teknologi hanya perkakas. Tak lebih baik dari cangkul untuk membajak. Tidak pula lebih mulia dari sendok pengaduk gula. Barangkali, cuma lebih efektif saja. Namun, efektifitasnya masih bisa diperdebatkan. Berapa banyak ahli teknologi yang tak menghasilkan apa-apa untuk dunia. Fokus  mereka termarjinalkan menjadi sebatas penelusuran perangkat-perangkat keras. Ide-ide mereka terpenjara dalam perangkap aplikasi. Dunia mereka sangat sempit. Teknologi tidak menjamin produktifitas, apalagi orisinalitas dan kreatifitas.

Untuk alasan di atas, saya tak terlalu antusias dengan perkembangan terbaru teknologi. Saya tak pernah iri melihat kamera-kamera DSLR bermoncong panjang. Tak pula terlalu bernafsu memburu handphone-handphone touchscreen. Apalagi, teknologi kini berafiliasi dengan penjahat ekonomi, kapitalis. Yang paling parah, ternyata ekspansi inovatif teknologi juga dibarengi dengan ancaman kesehatan yang makin serius. Ada radiasi-radiasi tak sehat dalam suara telepon. Ada warna-warna membutakan dalam gambar komputer. Lainnya masih banyak.

Lagipula, ide-ide tak pernah tereduksi oleh penemuan alat. Sharp masih bisa menginspirasi revolusi-revolusi di penjuru dunia. Ia tak tahu Facebook dan Twitter, tapi bukunya berjudul from Dictatorship to Democracy telah diterjemahkan ke dalam kurang lebih 30 bahasa. Lagi, menurut New York Times, buku tipis itu menginspirasi gerakan rakyat di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan terbaru, Mesir.

Jolie masih bisa jadi artis. Akting di banyak film, mendapatkan penghargaan-penghargaan. Meski juga menjual visualisasi, ia tak terpenjara teknologi. Justru dari situ dia tampak lebih pintar dari teknologi.

Sejarah juga mencatat, ide-ide paling orisinil selalu dirujuk jauh ke belakang. Ke masa lalu. Masa ketika perkakas belum menjadi gaya hidup seperti sekarang.

Saya? Gaptek.

0 komentar:

Posting Komentar