RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 13 Maret 2013

Cendekiawati



Manusia hidup di alam materi. Karena itu, mereka butuh simbol. Simbol mewakili sesuatu yang lebih luas, lebar, dalam, dan rumit. Lambang penyederhanaan. Ia sekaligus solusi atas keterbatasan nalar manusia.

Tapi simbol tidak mandiri. Ia hanya wujud kristal dari yang abstrak. Untuk itu, bentuk-bentuk penyederhanaan seperti ikon, lambang, slogan, dan lain-lain, harus punya ihwal yang diwakili.
Membaca jargon kampanye –simbol visi- kandidat ketua WIHDAH tahun ini, saya mencoba menalar apa yang dimaksud.

Let’s be excellent muslimah scholar.

Pada hakikatnya, slogan itu menarik. Bukan cuma karena ditulis dalam bahasa Inggris, tapi juga karena sesuai dengan ekspektasi saya pribadi. Selama ini, saya mengharapkan orientasi organisasi yang lebih kondusif bagi kemahasiswaan, bukan yang justru menyesatkan fokus dengan memfasilitasi perkara sekunder.

Munculnya slogan ini, setidaknya memuaskan dari satu sisi. Bahwa kesadaran tentang pentingnya harmoni kegiatan akademis-ekstrakulikuler ternyata cukup populer. Setidaknya para penggagas semboyan ini melihat demikian. Semoga ide ini terhablur dari sebuah penalaran, juga dari semangat menuju perbaikan, bukan sekadar buah pikiran yang mendadak muncul karena persyaratan protokoler.

Kata scholar, dalam kamus bahasa Inggris Oxford Dictionary, salah satunya bermakna a specialist in a particular branch of study, especially the humanities. Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti seperti ini, seorang pakar dalam satu bidang studi, terutama bidang humaniora. Sampai di sini, maksudnya jelas. Tapi masalah datang ketika harus menerjemahkan kata scholar dalam bahasa Indonesia. Khususnya, demi memberikan rangkaian semantis yang ideal dari jargon di atas. Saya bimbang antara kata cendekiawan atau sarjana.

Jika terjemahannya adalah cendekiawan –cendekiawati berdasarkan konteks-, maka saya harus memberikan acungan jempol. Artinya, calon ketua WIHDAH tahun ini visioner. Dia –atau tim suksesnya- mampu menalar gejolak sosial “rakyatnya”, lalu menjawab tantangan masyarakat itu dalam sebuah visi yang segar.

Tapi membentuk cendekiawati bukan pekerjaan mudah. Kecedekiawanan adalah ihwal elite. Kata cendekiawan dalam KBBI salah satunya bermakna orang cerdik atau orang intelek. Sedangkan intelek berarti daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan. Sementara pengetahuan adalah perkara kompleks.

Dalam tulisannya tentang kecendekiawanan, Al-Fakhri Zakirman (Ketua Orsat ICMI Kairo) mengutip pendapat Syarif Shaary: seorang cendekia adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Karena itu, kecendekiawanan butuh penguasaan wawasan luas dan kecakapan integral. 

Untuk mencapai derajat itu, mahasiswi berada satu arena dengan mahasiswa. Mereka saling bersaing. Tak ada hak istimewa wanita dalam kompetisi ini. Untuk mencapai taraf yang sepadan, tak ada pengecualian. Terutama sekali perihal kewajiban.

Namun, usaha itu terbentur dengan tabiat wanita sendiri. Pria dan wanita punya karakter yang jauh berbeda. John Grey, penulis yang juga konsultan hubungan antar gender, bahkan menulis buku berjudul Men Are from Mars, Women Are from Venus. Dalam buku yang terjual lebih dari 50 juta kopi ini, Grey mengungkapkan perbedaan-perbedaan fundamental antara pria dan wanita.

Isu tentang perempuan juga telah menyita perhatian para filosof sejak lama. Dalam novel filsafatnya, Dunia Sophie, Jostein Gaarder mengutip kata-kata Hegel, “Perbedaan antara pria dan wanita adalah seperti perbedaan antara binatang dan tanaman. Pria menyerupai binatang, sementara wanita menyerupai tanaman, sebab perkembangannya lebih tenang dan prinsip yang mendasarinya lebih merupakan kesatuan perasaan yang agak kabur. Kaum wanita dididik dengan menghirup gagasan-gagasan, bukan dengan mencari pengetahuan. Status pria sebaliknya, dicapai semata-mata melalui pemikiran keras dan pengerahan usaha yang besar.”

Berbeda dengan Hegel, Plato lebih detail menjelaskan tatanan menuju penyetaraan pria-wanita. Tapi pendapatnya utopis. Sepaket dengan idenya tentang negara ideal. Plato mengatakan, wanita bisa mencapai prestasi yang dicapai oleh pria dengan syarat mereka dibebaskan dari tugas mengurus rumah tangga. 

Ide Plato di atas sama sekali tak masuk akal. Terlepas dari ide-ide filosofis yang rumit, kita dapat menangkap bahwa pendidikan wanita adalah pekerjaan besar. Visi mulia tersebut, selain membutuhkan bukti nyata, juga memerlukan kerja keras mewujudkannya. Visi itu harus terkristal dalam program-program kerja yang sinergis. Nantinya, laporan pertanggungjawaban tentang visi ini haruslah dapat diraba berdasarkan fakta obyektif dan rasional. 

Mengenai laporan, di Masisir sering terjadi salah kaprah. Acapkali laporan pertanggungjawaban organisasi mendapat nilai mumtâz, sementara fakta dilapangan menunjukkan sebaliknya. Biasanya, strategi pengurus untuk melaporkan visinya telah tercapai adalah terlaksananya kegiatan yang melibatkan massa besar. Padahal, tidak ada penelusuran lebih lanjut tentang hubungan sebab akibat antara kegiatan dan efek terhadap pesertanya.

Agaknya, untuk tidak utopis, jargon di atas dimaknai pencetusnya dengan lebih diplomatis. Kata cendekiawan diartikan sebagai semangat. Sesuai dengan makna lain kata cendekiawan di KBBI: orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat menegtahui atau memahami sesuatu.

Jika demikian, visi itu dilahirkan dari orang-orang cerdas. Pelopornya adalah orang-orang yang dengan jenius menemukan titik damai antara utopia dan realita. 

Yang saya takutkan hanya satu, yaitu apabila kata scholar diartikan dengan makna lain: sarjana. Kalau sudah begitu, hilang sudah semua nilai plus pada jargon di atas. Visi itu tinggal onggokan kata hambar, karena maknanya sangat pragmatis: mari menjadi sarjana muslimah yang unggul. Aih, apalagi bila kata excellent sekadar diartikan mumtâz. Lebih lagi, bila tolak ukurnya hanya nilai akademis.

Barangkali menjadi mumtâz, bagi para mahasiswi, adalah orientasi mulia. Tapi, menurut saya, Indonesia lebih membutuhkan cendekiawan daripada sarjana. Sarjana sudah banyak. Mungkin sama banyak dengan masalah yang muncul dari kesarjanaan mereka, atau dengan angka pengangguran. Maka, kembali mengutip kata Shaary, belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Juga, nilai mumtaz tak menjamin kadar seseorang.

Mahasiswi mumtaz sudah banyak. Tapi saya rasa para mahasiswi pun sepakat, Indonesia dan dunia lebih membutuhkan srikandi-srikandi yang punya integritas.

0 komentar:

Posting Komentar