RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 07 Juni 2013

Bertemu al-Faraby

Aku dipaksa berlutut dengan tangan terikat, mata pedang terasa dingin di tengkukku. Mau tak mau aku gentar juga, aku belum pernah dihadapkan pada situasi pertaruhan hidup mati seperti ini. Rambut-rambut kudukku berdesir, nafas menyengal, telapak kaki hingga sebatas lutut dengan sendirinya bergetar. Tapi sang filosof yang berdiri satu depa samping kiriku malah tersenyum-senyum.

“Jangan bohong! Aku tahu persis, kulit warna tanah liat kering orang ini serupa dengan kulit Ratu Ahia. Hamba sudah melihat mumi Ratu Ahia di taman Semiramis paduka. Orang ini dari Nusantara, dia pasti mata-mata Mongol!” orang tua berjanggut putih mengerut-ngerutkan dahinya, mencoba meyakinkan yang dipanggilnya paduka, telunjuknya mengacung ke mukaku.

“Tapi banthal-nya dari goni, labih masuk akal mengatakannya sebagai pengintai Romawi. Ia barangkali berasal dari Timur, tapi orang Timur tak akan memakai goni.” Orang tua lain berjanggut merah bara memukul-mukulkan tongkat kayunya ke pahaku. Aih, ini celana jeans, bukan goni, batinku. Dan kalian perlu tahu bahwa di zamanku semua orang Timur mengekor apa saja yang dikenakan Barat, termasuk jeans ini.
Yang dipanggil paduka kini menatap sang filosof, ronanya meminta penjelasan.

“Kau adalah anggota masyarakat yang baik Abu Nasr, setidaknya kau tulis begitu di bukumu. Abbasiyah sedang dalam ancaman, aku harap kau bertindak bijaksana!”

Namun sang filosof lagi-lagi hanya tersenyum, “Maaf paduka, hamba tak mengikuti perkembangan politik. Namun menurut hemat hamba, kalau pun Abbasiyah dalam bahaya, maka itu karena orang-orang Turki, Kurdi, Persia dan keturunan Buwaih, bukan bahaya dari luar.”

Serentak seisi istana gaduh, semua orang mencabut pedangnya. Segera sang raja mengangkat tangan, mengisyaratkan hadirin untuk tenang.

“Teruskan!”

“Biar anak muda ini membela dirinya, paduka!” sang filosof memegang bahuku, sang raja hanya mengangguk.

“Hamba memang dari Nusantara, Paduka, ta..pi bukan ma..ta-ma..ta. Hamba datang dari masa de..pan. Mongol ketika itu hanyalah negara kecil, tak punya ke..kua..tan.”  Aku terbata karena disela sengal. Ku tarik nafas agar kata-kataku selanjutnya teratur.

“Hamba benar-benar tak punya ikatan dengan Romawi. Satu-satunya alasan hamba datang ke masa ini adalah karena hamba ingin mengalahkan Romawi, yang ketika itu sudah berpindah ibukota ke Amerika. Matahari sudah terbit dari Barat di masa hamba hidup, paduka. Semua orang melihat Barat seperti menyaksikan matahari menyingsing. Hamba hanya ingin belajar filsafat dari pak tua ini, ada beberapa muskil yang perlu dijelaskannya.” Huftt, aku lega karena akhirnya bisa menaklukkan rasa gentarku.

“Tapi orang ini mengendap-endap di dinding istana, prajurit memergokinya!” Si janggut putih mendengus, nampak tak puas dengan keteranganku. Ia terlihat bernafsu sekali ingin memenggal kepalaku.

“Paduka, hamba jamin anak muda ini bukan mata-mata. Kepala hamba jaminannya. Dia benar-benar datang dari masa lalu, tapi hamba tak bisa menjelaskan dengan gamblang saat ini bagaimana itu bisa terjadi. Fisika telah berkembang luar biasa di masa itu tuanku!” Sang filosof membuka-buka lembaran buku.

“Barangkali penjelasan sederhananya adalah relativitas waktu paduka, pelajaran yang bagi hamba sendiri masih menyisakan beberapa perkara muskil,” Sang filosof menutup bukunya. “Ah, bukankah hamba sudah menjanjikan untuk menunjukkan perkembangan qanun hamba tuanku. Hamba sudah berhasil menemukan masalahnya, ternyata jarak antar dawai pada percobaan sebelumnya terlalu lebar!” Tangan sang filosof mengambil sesuatu di keranjang, lalu mengeluarkan alat semacam gitar atau kecapi.

“Ah, benarkah? Kalau begitu mari kita lihat bagaimana hasilnya.” Sang raja nampak sumringah, hadirin yang lain pun ikut melongo, mendekatkan pandang pada barang di tangan sang filosof.

Sang filosof siap memainkan alatnya, tapi ia tiba-tiba berhenti sejenak, menoleh ke arahku. Ia lalu merogoh sakunya dan memampatkan kapas di telingaku. Hei, kenapa kau sumpal telingaku. Aku juga ingin mendengar musik kalian, sergahku dalam hati. Aku hanya bisa merenggut tak karuan, tanganku masih terikat.

Lalu aku menyaksikan dawai-dawai dipetik pelan, ia hanya memakai telunjuk dan ibu jari, tangan filosof mengedar seperti gerakan menekan tuts piano. Aku tak bisa mendengar apa-apa. Tapi aku heran karena semua orang dalam ruangan itu tertawa. Beberapa bahkan terpingkal, memegang perut, terjengkang.

Kemudian jari tangan sang filosof mendadak bergerak cepat, kali ini seluruh jarinya ambil bagian, meliuk-liuk seperti gerakan tarian samba. Dan, hei, ini aneh, semua orang serta merta menangis. Sepertinya sedang dinyanyikan lagu syahdu. Kucoba goyang-goyangkan badan untuk melepas ikatan, demi mengambil penyumbat telinga. Aku ingin turut mendengarkan keajaiban ini. Namun usahaku sia-sia. Ini simpul mati.

Sang filosof seperti mengerti maksudku. Ia memandangku, melotot. Matanya seperti bola bilyar yang siap meluncur jatuh. Air mukanya menyuruhku untuk diam. 

Lalu ia pindahkan alat musiknya, leher alat itu didekatkan ke mulutnya. Hei, dia memainkan kecapi seperti main seruling saja, meski tangannya juga ikut bermain. Aku melihat fret kecapi tidak rata, tetapi cekung beberapa milimeter, di dasarnya ada semacam pita. Mungkin itu yang ditiup sang filosof. Ah, alat ini memang aneh.

Tapi keanehan terbesar adalah ketika aku sadar bahwa sekelilingku tiba-tiba jadi taman tidur. Semua orang yang tadi meneteskan air mata kini terlelap. Sang raja tersandar di singgasananya, kepalanya mengayun-ayun. Pengawal yang menjagaku tak dinyana sudah tersungkur, mulut mereka terbuka, sepertinya mendengkur. Tangan mereka mendekap gagang tombak. Sementara dua orang tua berjenggot lebat tadi terduduk di kursinya, badan mereka terhuyung ke depan namun tak jatuh karena tertahan perut yang besar. Kembang kempis nafas membuat perut mereka terlihat seperti bola basket yang coba di tenggelamkan, turun dan selanjutnya naik. Aku hendak tertawa melihat pemandangan ini. Tapi buru-buru mulutku di sekap.

Sang filosof melepaskan kapas kemudian berbisik, “diam! Ayo kita pergi!”

Kami berjingkat-jingkat agar tak membangunkan mereka. Aku berjalan dengan raut tergantungi banyak pertanyaan. Sesampainya kami di alun-alun, sang Filosof langsung berujar,

“Kamu harus kembali ke masa depan! Ingat, kalian harus pakai pakaian kami jika ingin kembali lagi!” Lalu ia meraih tanganku, menekan tombol mesin waktu di perglangan tanganku.

“Hei, aku belum selesai denganmu!” Aku kaget karena dia tiba-tiba mengirimku kembali, padahal ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan.

Kakiku mulai tercerabut. Argh, sakitnya luar biasa. Tapi kesempatan bertemu sang filosof harus dimanfaatkan.

“Faraby, dapatkah kau terangkan bagaimana teori emanasi?”

Argh, tak terperi sakitnya. Kini sel-sel badanku mulai terlepas.


“Biarlah misteri tetap menjadi misteri!” Faraby tersenyum, dan itu adalah hal terakhir yang kuingat.

0 komentar:

Posting Komentar