RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 19 Agustus 2013

Mawar yang Hilang di Tahrir

Aku benci mawar. Bukan tak suka bau harum yang terkadang membuat mata kita terpejam kala bersemerbak, bukan pula tak berselera kepada warna beranang yang merangsang mata. Barangkali karena duri, ya, karena aku tertusuk duri ketika pesona Mawar memenjara Soni, suamiku.

Aku juga benci Tahrir, meski aku adalah penyokong demokrasi yang tak akan lupa bagaimana lapangan itu membahasakan makna revolusi. Aku ingat bahwa di Ikada, September 1945, orang-orang berkerumun meneriakkan kemerdekaan yang sebulan sebelumnya dikrarkan. Aku juga mafhum jika di Tianmen, Beijing, Juni 1989, orang-orang banyak mati karena memperjuangkan kemerdekaan mereka yang dikebiri.

Tapi, tak ada simpati yang sama untuk Tahrir. Tak peduli betapa aku tahu banyak nyawa-nyawa membubung di persimpangan jalan pinggir Nil itu. Aku tahu, ketika meminta Mubarak turun, para demonstran dikepung militer di jembatan Kasr Nil. Diserbu dari dua sisi dengan gas air mata, sebagian terlindas tank yang terus merangsek masuk jembatan.

Orang-orang mungkin menganggap ini standar ganda, tapi mereka akan segera mengangguk-angguk jika tahu bahwa aku adalah wanita. Aku adalah wanita yang harus menahan getir setiap melihat toko bunga memasang mawar sebagai penghias utama etalase. Seperti juga aku selalu tersayat setiap tayangan televisi menayangkan berita tentang Mesir, Kairo, terutama Tahrir.

Seperti hari ini, ketika televisi menayangkan khalayak ramai yang meneriakkan tuntutan politis terhadap presidennya. Aku benci semua itu karena membuat mata Sony terpenjara dengan tayangan itu. Pandangannya lalu menerawang, kabur, dan butir-butir hangat segera mengalir, dan segera menetesi kepalaku yang dalam pelukannya. Aku benci detik-detik ini, ketika kerenyahan cengkrama cinta kami yang baru tiga bulan diresmikan tiba-tiba beku karena ingatan tentang masa lalu, Mawar.

“Mawar,” Soni berguman lirih, masih dengan tatapan kosong. Jika sudah begini aku segera menuju ranjang, menutup pintu, mematikan lampu, dan menyelimuti tubuhku rapat-rapat. Gelap dan air mata adalah teman yang lebih baik dari Sony untuk saat-saat seperti ini.

Mungkin ini juga salahku. Aku memaksanya menikah meski ia bilang belum bisa melupakan Mawar. Dulu aku berpikir dengan menikah semuanya akan berubah. Kenangan-kenangan Soni akan Mawar akan menguap karena bara-bara cinta kami yang membara. Aku salah.

Mawar tetaplah bunga yang mewangi memenuhi setiap jengkal cakrawala Soni. Wanita itu ibarat legenda yang diceritakan turun temurun, tak lekang. Ia telah mati, tetapi ikon tentang dia tetap menggantung dalam imajinasi Soni.

***

Mawar bukan adikku, tapi Ayah memaksaku memanggilnya adik. Ia hanya anak panti yang Ayah pungut. Ayah bilang rambut hitam panjang Mawar mengingatkannya pada Ibu. Dan ayahku, yang selalu terlalu imajinatif, selalu membelai rambut gadis kecil itu setiap malam menjelang tidur. Ayah melupakan kebiasaan kami mengadu Real Madrid dan Barcelona di arena PES. Aku benci Mawar, tapi lama kelamaan aku bisa menerimanya tinggal bersama kami karena dia juga bisa berfungsi sebagai pembantu. Dia mau melakukan apa saja yang aku perintah.

Waktu berjalan bagai kilat hingga tanpa sadar kami tumbuh dewasa. Lalu, kecemburuan kanak-kanakku terhadap Mawar lamat-lamat menghilang. Hubungan kami bahkan semakin hangat karena ternyata ia juga sangat menyukai dunia yang kugeluti, jurnalistik. Ia banyak bertanya ini itu padaku karena ia mengambil kuliah jurnalistik, aku sendiri tengah meniti karier sebagai wartawan.

Lalu, ah, mengapa aku ikut terjebak imajinasi Ayah. Rambut hitam berkilat sepunggung itu benar-benar mengingatkanku pada ibu, bulu mata melengkung ke atasnya juga, bola mata bundar nan sayu pula. Aku melihat ibu pada gadis muda itu. Tapi, bukan cuma perawakan fisik saja yang menggambarkan Ibu. Kesabaran Mawar mengiyakan apa saja yang ku minta adalah kesabaran ibu menanggapi polah nakalku. Kerja kerasnya mengerjakan tugas kuliah hingga larut adalah kerja keras ibu menjahit gaun-gaun pengantin untuk butiknya. Lalu, aku entah kenapa, mata bundar nan sayu dan lekukan manis di samping bibirnya memerosokkan hatiku. Tuhan, beginikah jatuh cinta.

***

Soni terpukul karena kehilangan Mawar, begitu kata John, atasanku, dan kau, Melati, harus membangkitkannya kembali. Mulanya, ini masalah pekerjaan. Soni adalah wartawan teladan di majalah kami. Ide-ide dan kerja kerasnya membuat oplah kami meningkat pesat. Tapi, semuanya menukik semenjak ia kehilangan Mawar.

Aku menikmati pekerjaan ini, mendekati Soni. Meski sebagai wanita, pekerjaan mengalihkan seorang pria dari wanita pujaannya adalah pekerjaan yang sangat menyakitkan. Anda harus bersiap tersayat setiap ia menganggap Anda adalah wanita pujaannya, atau ketika Anda dibandingkan dengan seseorang dari masa lalunya. Tapi, karena profesionalitas –aku diterima di perusahaan ini karena tugas ini- aku anggap angin lalu semua rintangan. Lagipula, lama-kelamaan, aku tak bisa bertahan menghadapi pesona seorang Soni. Ketulusannya mencintai wanita, kecerdasan selera humornya sangat memikat hatiku, di saat kulitnya yang bersih, rambut ikalnya yang selalu rapi, dan pandangannya yang menusuk hati menangkap insting wanitaku. Aku benar-benar jatuh cinta.

Aku menikmati pekerjaan ini, meski tak jarang aku harus menahan getir setiap Soni bercerita tentang Mawar. Seperti hari itu, ketika kami makan malam berdua.

“Mawar ditugaskan meliput krisis Mesir, ini adalah tugas pertamanya di luar negri. Aku sendiri yang mempromosikannya. Itulah mengapa aku tak bisa memafkan diriku sendiri.” Dan pria berambut gelombang itu, yang pandangan matanya berpijar-pijar, serta merta terisak. Aku memberinya tissue.

“Kabar terakhir yang kami terima, Mawar terjebak dalam bentrok massa di Tahrir. Setelah itu, ia menghilang, tanpa jejak.” Lalu tangisnya mengeras, menyedu sedan, bak anak manja ditinggal pergi bu tercinta.

Argh, mengapa cerita itu selalu terngiang. Bantalku basah. Barangkali aku punya masalah dengan memori, aku selalu teringat dengan ihwal yang ingin sekali kulupakan.

“Melati! Buka pintunya!” Soni menetuk-ketuk pintu.

Hei, apa yang terjadi. Biasanya, jika sudah teringat Mawar, ia akan menangis hingga pagi hari. Aku pun bergegas membuka pintu dengan senyuman.

Soni menyeruak masuk begitu pintu di buka, ia bergegas menuju lemari pakaian.

“Kamu mau kemana?” Aku heran karena di tengah malam seperti ini ia berkemas.

“Lihat itu!” Telunjuk Soni mengarah pada televisi ruang tengah.

“Aku ke Kairo malam ini, aku akan bawa mawar pulang!”

Aku mendekati layar kaca. Televisi menayangkan Tahrir yang ramai, lalu aku tersadar sesuatu ketika kamera menukik ke tengah medan. Tepat di tengah tahrir, di samping pohon kurma, tumbuh sekuntum mawar yang tengah mekar.

“Mawar,” Pekik Soni, “itu Mawar!”




1 komentar:

firapu.roki mengatakan...

Bravo!!

Posting Komentar