RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 05 September 2013

Pejalan Kaki Valdebebas

Credit picture, www.illustrationsource.com

 “Bunga tulip warna-warni bermekaran, kali ini kau harus melihat tepi jalan!” Stefano menggamit lenganku. Aku tetap tak bergeming, menutup mata.

Aku dan Stefano sedang bertaruh, jika ia bisa membuatku memandang ke luar bus saat perjalanan Madrid-Amsterdam, aku harus membayarinya minum kopi di Cannabis, naik yacht menyeberangi selat Channel, serta tiket home Manchester United.

Tentu saja aku terima taruhan itu. Jika tak berhasil, Stefano membayari minum kopi. Aku bisa cuti sehari tak berpanas-panas di depan Amsterdam Arena menggesek biola karena akan ada pundi-pundi Euro dari Stefano.

Kelihatannya remeh, tapi Stefano sangat penasaran. Sudah satu semester ini aku selalu menunduk jika tengah naik bus. Sahabat karibku itu tahu ada yang aneh dengan diriku. Biasanya, aku selalu antusias dengan apa yang ada di tepi jalan. Susunan batu trotoar yang unik, nama-nama pohon yang memagari jalan, sampai ihwal remeh macam bentuk kotak uang pengemis selalu menjadi obyek celotehku.

Kami telah melewati kanal-kanal bersejarah Amsterdam, museum Van Gogh, museum Amsterdam, distrik lampu merah, dan Stefano gagal membuatku menoleh jendela.

Kami turun di Grasshopper, mampir di salah satu Coffee Shop dan memesan dua cangkir kopi Bengkulu.

“Kopi saja, jangan campur dengan Cannabi!” Aku mengingatkan pramusaji.


“Sebenarnya, apa yang terjadi dengan dirimu?” Muka Stefano terlihat kesal karena kalah taruhan.

Karena ia terus memaksa, akhirnya kuceritakan juga sebab-musababnya.

Sore itu aku baru saja pulang dari Veldebebas. Setelah membereskan semua perlengkapan -mengumpulkan bola-bola, mengangkat gawang ke gudang, memasukkan jersey ke kantong laundry-, seperti biasa aku langsung pulang menaiki bus. Dan kau tahu, Stefano, selama perjalanan, aku kembali masyuk membelalakkan mata menyelusuri setiap inchi jalan.

Tapi kali itu ada yang berbeda, ada yang menarik perhatianku. Bukan penggemis Arab di depan gereja yang sering kita perdebatkan -apakah dia pengungsi Suriah atau Libya-, bukan pula Evergreen di perempatan Barajas yang akarnya semakin membesar hingga membuat jalanan retak. Di tepi jalan Asenjo, ada penguin melompat-lompat.

Tentu saja bukan benar-benar penguin. Tapi gadis itu memakai cardigan hitam dan kaos putih, celananya juga hitam, langkahnya lebar dengan terkadang melompat-lompat, seperti penguin. Aku tak bisa menahan tawa awalnya, kemudian tak bisa menahan diri untuk tidak turun dari bis.

Aku membuntutinya, mengikuti cara jalannya yang aneh. Lalu, eh, kenapa tiba-tiba ada kebahagiaan menghujam dadaku setiap usai melompat dua tiga kali. Aku tergelak keras sekali, sialnya karena tawaku yang nyaring tapi sumbang –kau selalu menutup telinga setiap aku tertawa- penguin, eh gadis itu menoleh. Ia memergokiku menguntitnya.

Anehnya, dia tak marah, tak peduli malah. Dia hanya mengerutkan kening setiap kali menoleh ke arahku. Air mukanya memang ketus, tapi pipi gembung yang menyemburat bagai apel merah itu membuat tampangnya terlihat lucu. Aku lalu memberanikan diri berkenalan, lalu pertemuan pertama kami berakhir di Coffee Shop, sama seperti saat ini.

Duduk bertatapan dengannya membuatku mengerti bahwa selain gembung apel merah, Veronique –nama gadis itu- juga memiliki sepasang kelereng biru di dalam bola matanya. Alisnya yang tebal dan menukik ke atas semakin menyatakan bahwa matanya adalah mahakarya. Semua pesona itu membuat rambutnya yang dibiarkan acak tak tersisir, kusam dan beberapa rontok di bahu dan lengan, aku acuhkan. Gadis ini adalah sekuntum mawar berdebu, hanya perlu disiram untuk memikat mata siapa saja memandangnya.

Esoknya, aku kembali turun di halte Asenjo, gadis itu kembali menjadi alasannya. Ia masih berjalan dengan langkah-langkah besar dengan sesekali melompat dua-tiga kali lompatan setiap lima enam langkah. Dan aku kembali tertawa geli usai meniru gerakannya.

Hari-hari berikutnya, aku memutuskan berjalan dari markas latihan karena gadis itu ternyata bekerja di Coffee Shop tak jauh dari sana. Kami memulai langkah penguin kami lebih awal. Dan itu lumayan menguras tenagaku. Tapi keriangan reflektif atas kekonyolan sederhana, barangkali juga karena desir-desir aneh di dalam dada ini, membuatku kuat. Hubungan kami semakin lekat karena ternyata ia juga merupakan penggemar kopi dan Bengkulu.

“Aku suka menghirup dalam-dalam aroma kopi panas. Segelas kopi panas mengirimkan harum ke seluruh urat nadi, ia membawa jiwaku membubung,” bibir tipis Veronique bergerak-gerak menjelaskan alasan cinta kopinya.

“Dan, kau tahu Alfredo? Orang-orang Bengkulu selalu bangun pagi untuk menyiangi kebun kopinya. Terkadang mereka mengenakan mantel jika turun hujan. Mereka menaiki bukit-bukit hijau kebun kopi dengan topi lebar dan keranjang besar di punggung. Terkadang mereka menemukan Rafflessia Arnoldi di sela-sela batang kopinya,” kelereng biru itu berpijar-pijar, antuasias sekali ia bercerita.

“Ya, dan aku selalu merindukan perjalanan mengitari Bukit Barisan. Dulu bus yang aku tumpangi hampir terperosok jurang ketika memutari bukit menuju Kepahyang, tapi itu semua tak bisa mengalahkan sensasi teduh menatap mata air mengucur di kanan kiri jalan serta bunga-bunga liar yang tak bisa kau temukan di taman manapun di Eropa,” Aku menimpalinya. Aku memang pernah mengunjungi Bengkulu sekali.

Kemudian bersama bertambahya kebersamaan kami, desir-desir aneh itu semakin sering saja menyela ketenanganku. Mulanya ia hanya menyeruak kala Veronique tersenyum. Lama kelamaan kedipan matanya pun mengundang desir itu. Lalu, setelah melihat diriku memberinya sekuntum mawar merah dalam mimpi, aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Tapi, semuanya tak seperti mimpi. Ia tak mau menerima mawar merahku. Ia bilang cinta adalah persahabatan yang dikotori nafsu, karena itu ia memilih menjadi sahabat saja. Tapi aku tak pernah percaya retorika wanita. Belakangan aku tahu kalau alasannya adalah karena aku anggota klub Real Madrid sementara dia adalah fans Atletico.

Semenjak saat itu, aku tak pernah menatap keluar jendela bus. Aku tak mau melihat perihal-perihal unik mencuri perhatianku. Aku takut jika perkara unik itu hanya akan membawaku pada perjalanan-perjalanan cinta panjang yang sulit untuk diakhiri. Demikianlah Stefano.

Tak ada sahutan.

“Fano!!” Aku berteriak kesal ketika tahu bahwa Stefano tertidur.

2 komentar:

MUHAMMAD YULIAN MA'MUN mengatakan...

klo ente ke AMsterdam, jangan lupa ane nitip beliin jersey Ajax. Uangnya ane transfer :)

extraordinary mengatakan...

Hehe, insyaallah, :) Btw ntm ini fans Sampdoria apa Ajax ust? wkwk

Posting Komentar