RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 11 Maret 2014

Menulislah dengan Buruk!

Menulis yang buruk lebih baik daripada merenungi kertas kosong

Pagi ini, karena tersulut saran sontoloyo Sulak, saya mau tidak mau harus menulis. Ide-ide orang satu ini memang sedikit sinting, tapi saya akui cukup provokatif untuk memaksa orang menggerakkan tangan di atas tuts keyboard. Di bukunya, ia mencatut perkataan William Blake yang bilang bahwa hasrat semata tanpa tindakan akan membiakkan penyakit. Saya pikir betul juga, obsesi kuat menulis saja jika tak disalurkan lewat kegiatan menulis lama-lama dapat memperparah penyakit asam lambung saya.

Salah satu saran yang sontoloyo itu adalah sebaiknya kita menulis dengan buruk. Lho, di mana-mana orang ingin belajar menulis yang baik. Kalau cuma menulis yang buruk ya semua orang juga bisa. Tapi membaca argumentasi atas ide di atas saya jadi manggut-manggut sendiri, “lebih baik menghasilkan draft tulisan yang buruk ketimbang hanya merenungi kertas kosong selama berjam-jam.”

Lalu apa yang kita tulis? Apa saja, tulislah apa saja yang terbersit di kepala atau ihwal yang sangat ingin Anda tuliskan. Kegiatan semacam ini penting buat pemula untuk melatih kecakapan semantis dan sintaksis. Masalahnya, hal yang biasa menggagalkan para pemula untuk menulis adalah kesombongan. Mereka kadang-kadang menempatkan diri laiknya penulis besar yang sudah mampu mengungkapkan ide-ide besar dengan runtut, dalam, kuat, dan baik. Padahal yang dibutuhkan mula-mula hanya kemampuan merangkai kata. Belum lama ini saya terpingkal dalam hati membaca kolom seseorang di media Masisir yang ditulis dengan susunan kalimat amburadul. Dia barangkali sedang lupa unsur-unsur dasar pembentuk kalimat.

Jika tidak ada ide, apa yang kita tulis? Wah, ini sebenarnya sama saja dengan pertanyaan: Anda benar-benar niat menulis tidak, sih? Ya, kalau tidak ada ide yang bisa ditulis berarti kita tidak sungguh-sungguh ingin menulis. Dalam buku creative writing malah ada ungkapan yang lebih sadis: bisakah menulis tanpa ide? Bisa saja, yang tidak bisa adalah menulis tanpa kemauan.

Ide bisa datang dari mana saja. Bisa dari cecak merayap di atas dinding lalu cobalah mengekspresikan gaya rayapnya. Bisa juga dari pengalaman ketinggalan bus ke kampus tadi pagi gara-gara ingin sebentar mencuri pandang pada cewek yang mau menyeberang, haha. Mungkin ada baiknya kita cermati ungkapan Faulkner berikut, “Saya hanya menulis ketika mendapatkan inspirasi. Celakanya, saya mendapatkannya setiap pukul sembilan pagi.”

Kepala semua orang sebenarnya penuh dengan ide, kecuali kalau dia tak pernah berpikir. Masalah sejatinya adalah karena banyak orang malas berpikir bagaimana mengungkapkan ide itu dengan baik. Ia enggan menyusun idenya itu dalam satu bangunan logika yang utuh, pula tak mau bekerja mencari data-data pendukung. Bahasa bukan ayam petelor yang menelorkan pikiran begitu saja, ia adalah media untuk mengejawantahkan gagasan abstrak menjadi sebuah kenyataan. Untuk itu, hanya dibutuhkan ketidakmalasan untuk mempelajari bagaimana bahasa mengerjakan fungsinya. Itu kalau kita masih mau menulis.

0 komentar:

Posting Komentar