RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 24 Maret 2014

Jangan Jadi Setan!

Golput adalah setan bisu.

Gabriel Almond, pakar politik Amerika Serikat, membagi kalangan yang enggan berpartisipasi dalam acara politik menjadi dua. Pertama, parochial political culture, yaitu mereka yang memiliki budaya politik masa bodoh, acuh tak acuh atau bahkan apatis, karena tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Kedua, subject political culture. Kalangan ini ditandai dengan sikap masyarakat yang masih pasif meski sebenarnya sudah relatif maju.

Pembagian masyarakat enggan politik ini, menurut saya, relevan diterapkan dalam kasus keindonesiaan. Secara umum, mereka yang golput memang tak keluar dari dua kalangan di atas. Masyarakat politik paroki banyak kita temukan pada masyarakat kalangan bawah: mereka yang secara geografis terisolir atau yang secara finansial dan pendidikan tertinggal hingga kurang mendapatkan akses politik. Demikian menyebabkan sikap sosio-politik mereka sangat lugu hingga acuh dan apatis terhadap dinamika ketatanegaraan.

Sementara itu, masyarakat yang dominan di Indonesia adalah kategori kedua, mereka yang relatif telah memiliki pengetahuan politik namun masih bersikap pasif. Dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari lintas kalangan bahwa masyarakat kita sebenarnya cukup melek politik. Banyaknya pengamen melantunkan lagu kritik sosial dan pemerintahan, ramainya bincang politik di warung-warung kopi, hingga antusiasme debat ilmiah dalam lingkungan akademis, dan lain-lain, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran politik.

Kendati mayoritas rakyat sudah sadar politik, angka golput masih tinggi. Mengapa demikian? Dari opini yang beredar di masyarakat saya menyimpulkan ada dua alasan utama untuk golput.

Pertama, lantaran tidak percaya lagi dengan sistem ketatanegaraan yang ada saat ini, yaitu demokrasi. Demokrasi dianggap telah gagal dan tak mungkin lagi mewujudkan tujuan dari kehidupan sosial-politik Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Kalangan ini terdiri dari mereka yang secara ideologi bertentangan dengan ide demokrasi, baik dari fundamentalis religius maupun kaum kiri radikal. Mengenai hal ini, saya mengutip pendapat Gunawan Muhammad: ”tak ada satu pun sistem di dunia ini yang sempurna. Tapi, keunggulan demokrasi adalah, memberi peluang secara terus-menerus untuk penyempurnaan. Hanya dengan demokrasi kita bisa mengoreksi, dan memperbaiki.”

Kedua, karena putus asa dengan kondisi politik saat ini. Maraknya kasus korupsi, tidak efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit politik, tidak adanya calon pemimpin yang sesuai kriteria, dan seabrek alasan lain membuat rakyat berpaling pada golput.

Menurut saya, kekecewaan semacam ini wajar. Tetapi yang perlu jadi catatan adalah, apakah golput akan menyelesaikan masalah? Secara tidak langsung, tidak menggunakan hak pilih adalah memberikan legitimasi bagi pemenang pemilu yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita. Lebih jauh, golput dapat menimbulkan gonjang-ganjing politik hingga mengancam persatuan nasional.

Perlu diperhatikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang masih muda dalam pencarian sistem pemerintahan ideal. Sepatutnya kita menyadari bahwa dalam proses pencarian itu akan ada trial and error. Amerika Serikat saja pernah mengalami perang saudara sebelum menjadi negara super power. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah solusi berwujud peran aktif, bukan sikap apatis.

Kita harus optimis masalah demi masalah dapat diselesaikan dengan sikap politik yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit, dapat ditanggulangi dengan memilih wakil dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya adalah ketidaktersediaan calon yang dibutuhkan masyarakat, mengapa tidak memantaskan diri menjadi wakil rakyat?

Tidak menggunakan hak suara, seperti menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan golput dapat membawa akibat yang amat buruk. Dalam khazanah keislaman, para salaf menggunakan istilah “setan bisu” untuk mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya, golput termasuk golongan itu. Bukankah dalam demokrasi, setiap individu dijamin kebebasan menyuarakan kebenaran? Bahkan kebenaran versi apa saja.



0 komentar:

Posting Komentar