RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 14 Agustus 2014

Pulang

“Pulanglah, nak, pulang!”
“Tapi kemana, bu?”
“Ke Hatimu!”

Ini bukan gombalan Andre Taulani di OVC atau gurauan Stand Up Comedy-nya Dodit. Ini adalah pengajewantahan sederhana atas kegundahan pelik orang-orang yang hendak dan mesti pulang tetapi tak tahu kemana, saya termasuk salah satunya.

Saya tak punya “kampung halaman”, tempat yang dikenal baik bentuk pepohonan, aroma udara, kejernihan air sungai, beserta  jenis ikan-ikannya. Tempat kita merasa nyaman dengan orang-orangnya, yang menyuguhkan senyum dan sapaan saat berpapasan di jalan, dan mengundang kita mampir saat  lewat depan rumah mereka.

Orang tua saya baru pindah rumah ke desa yang baru. Desa yang keadaannya sudah lebih baik dari kampung masa kecil saya dihabiskan. Sekarang sudah ada listrik PLN jadi Bapak tidak perlu menghidupkan mesin genset setiap pukul lima sore, dan saya bisa nonton tivi kapan tanpa lebih dahulu membeli bensin. Jalan depan rumah sudah diaspal sehingga Ibu tak usah khawatir Bapak tidak pulang karena cuaca buruk. Ibu juga tak perlu memasak dengan kompor minyak tanah karena seratus meter dari rumah sudah ada penjual tabung gas.

Tetapi saya belum kenal dengan orang-orangnya. Saya baru satu bulan tinggal di sana setelah pulang dari pondok, sebelum saya harus pergi ke bumi Kinanah ini. Jadi saya perlu belajar dari dasar bagaimana bergaul dengan mereka, obrolan-obrolan yang menarik di antara mereka, guyonan-guyonanapa yang membuat mereka tertawa, dan terutama perihal apa yang tak boleh dikatakan karena akan menyinggung perasaan orang kampung sini. Saya juga tak punya teman di sana.

Teman-teman saya ada di kampung lama. Tapi terakhir kali saya ke sana, kebanyakan sudah tak ada. Ada yang, kata Ayahnya, disekolahkan kerabat di Jawa. Ada yang kerja jadi buruh di Bekasi. Sebagian kecil, terutama yang perempuan, masih bertahan di kampung, tetapi sudah membopong momongan. Yang menyedihkan, orang-orang kampung lama pun sudah pangling dengan perawakan saya. Mereka melihat saya layaknya orang asing yang berkunjung. Tiga tahun lalu, seorang bapak paruh baya menyipit-nyipitkan mata melihat saya di jalanan. Ini saya Pak, yang dulu menangis karena terpeleset jemuran kopi saat berlari-lari di halaman rumah bapak. Tapi bapak itu tidak ingat juga.

Sebenarnya saya punya satu kampung lain yang istimewa, kampung damai, pondok tempat saya menghabiskan masa remaja dalam dinamika. Tetapi lupakan! Teman-teman satu angkatan sudah banyak keluar, hanya tersisa beberapa gelintir. Santri-santrinya pun sudah regenerasi, pastinya tak banyak yang mengenal saya. Mereka akan melihat saya sebagai orang luar yang membawa pengaruh buruk bagi kepondokmodernan. Hanya ada dua tipe alumni di pondok saya, mereka yang telah jadi orang besar dan dibanggakan, satu lagi cecunguk-cecunguk yang dianggap produk gagal.

Bagaimanapun, saya mesti pulang. Orang pergi untuk kembali dan pengembara tak patut berdiam terlalu lama. Tapi kemana?

Karena kita tak punya tempat, mari pulang ke hati masing-masing. Mari kembali pada nurani dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya perjalanan hidup ini. Karena hati yang membumi selalu menemukan orang-orang yang membukakan pintu. Hati yang berani tak punya tempat yang ditakuti. Hati yang yakin dan tekun selekasnya kan dapat tempat yang menaungi.

0 komentar:

Posting Komentar