RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 29 Maret 2015

Purnawirawan yang berjalan dari Bandara Ke Pengadilan

Malam itu saya hanya ingin sampai ke tempat tidur dan segera memejamkan mata, tapi sang sopir taksi bercerita jika ia telah berjalan kaki dari bandara ke pengadilan.


Cerita ini seharusnya ditulis enam bulan lalu, tetapi karena jaringan internet di Indonesia seperti kura-kura langka: susah ditemukan dan lambat, saya terpaksa menundanya. Malam itu adalah malam sial yang melanjutkan penerbangan yang kurang beruntung saya. Seharusnya, pulang dari Mesir ke indonesia (mungkin untuk selamanya) dijalani dengan nyaman. Karena harapan itu pula saya mencoba pesawat yang jadi sponsor club sepakbola yang sedang naik daun. Barangkali saja David Silva atau Jesus Navas tiba-tiba jadi pramugara. Tapi saya malah ketiban sial.

Pesawat delay satu jam hingga saya harus tergopoh-gopoh waktu transit. Saya kira masalah selesai di sana, tetapi di atas pesawat saya bertemu dengan orang Arab sombong dan TKW yang anaknya tertabrak lari -sudah pernah saya ceritakan sebelumnya. Nahasnya, selepas mendarat, saya menunggu bagasi hingga pukul 12 malam hanya untuk menemukannya tidak ada.

Ternyata, koper saya, karena jadwal pesawat mepet, dibawa di penerbangan selanjutnya dan itu esok hari. Saya sempat tersenyum sebentar karena pihak maskapai memberi ganti rugi ketidaknyamanan sebesar 400 ribu. Tapi saat keluar Bandara saya kembali mengelus dada karena teman yang menjemput saya tidak kelihatan batang hidungnya. Ini jakarta dan tengah malam.

Ini jakarta, kota kapitalis parah, dan benar saja: seorang supir taxi langsung mendekat sambil menawarkan jasa. Awalnya saya tidak mau karena ingin memastikan keberadaan teman saya. Tapi karena dia menawarkan handphonenya untuk menelpon, saya jadi tidak enak hati untuk tidak naik mobilnya. Apalagi teman saya memang menyarankan untuk naik taksi, pasalnya dia telah pulang akibat menunggu terlalu lama. Dia pikir saya hilang di dalam atau bagaimana. Yang jelas nasib saya malam itu adalah naik taksi Avanza.

Yang menarik dari cerita malam itu adalah perjalanan itu sendiri. Sopir itu antusias sekali bercerita. Saya baru paham di akhir bahwa antusiasme sang sopir adalah dalam rangka menuturkan nasibnya, juga barangkali sedikit permintaan tolong.

Alkisah dia adalah purnawirawan TNI. Berdasarkan ceritanya, pada zaman Suharto, tentara mempunyai dwifungsi, mereka boleh bekerja di BUMN-BUMN. Dia bekerja di Bandara. Tetapi pasca reformasi yang mengembalikan tentara ke barak-barak, tentara diberi pilihan untuk tetap bekerja atau kembali menjadi penjaga negri ini. Dia pilih bekerja dan melepas pangkatnya.

Nahasnya, meski telah mengikuti sekolah lanjutan yang setara S1, ijazahnya tidak diakui dan dibayar setaraf lulusan SMA. Dia pun melapor ke pihak berwenang. Tapi atasannya malah melaporkannya balik atas pencemaran nama baik dan dia kalah. Akibatnya dia diskors dari perusahaan dan gajinya tidak dibayarkan. Untuk menghidupi keluarganya, dia terpaksa menjadi sopir taksi.

Oh iya, namanya Purwanto. Saya tak tahu pihak mana ang benar dan salah dalam kasus ini. Tapi saya sudah berjanji dalam obrolan saya untuk bercerita pada teman-teman, bahwa dia berjalan kaki ke pengadilan dari kantor perusahaan ditemani kedua orangtuanya yang telah sepuh.

Terlepas benar atau tidaknya Pak Purwanto, cerita itu jadi menghentak kesadaran saya yang baru tiba di tanah air. Selama di Mesir saya hanya berkutat dalam dunia akademis yang meski punya sisi-sisi aneh tetap tak seabsurd kehidupan nyata. Silakan Anda-anda telusuri kebenarannya. Tugas saya telah tuntas dengan bercerita.

0 komentar:

Posting Komentar