RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 11 Oktober 2015

Poetrasophia: Kearifan yang Puitis

Orang Indonesia, kata Andries Teeuw, gemar sekali membentuk akronim. Sejarah kita menegaskan itu. Jargon-jargon seperti nasakom, pelita, orba, dll, menunjukkan kebiasaan orang Indonesia menerapkan piranti bahasa yang unik ini.

Barangkali budaya itu juga yang membuat saya suka mengutak-atik nama. Kadang saya membedah kata-kata, memperlakukannya sebagai akronim, untuk memberikan makna baru yang independen dan sama sekali berbeda pada setiap suku katanya.

Karena alasan itu dan lain yang bersifat pribadi, saya mengutak-atik nama sendiri. Biasanya seseorang yang beranjak dewasa kerap memberi dirinya nama baru menggantikan nama pemberian orang tua. Ada yang benar-benar menepikan nama lama dan lebih suka dipanggil dengan sebutan baru. Contohnya Umar, yang lebih suka dipanggil Vradtar. Ada yang bertahan dengan nama lama tetapi mengusahakan pemaknaan baru, seperti mengutak-atik nama lama dengan penyelewengan bunyi, misal Lukman menjadi Lukem, atau permainan akronim seperti teman saya Faiq Aziz yang antusias memperkenalkan diri sebagai Fazaz, dlsb.

Fenomena ini wajar nama adalah ekspresi paling sederhana dari faktisitas. Kita tidak bisa memilih akan dinamakan apa. Karena itu, sebagai makhluk yang eksistensialis, manusia kemudian membentuk identitas baru, mencari nama yang dinilai lebih mengekspresikan sisi-sisi unik dari dirinya.

Tapi sebenarnya saya sedang ingin membicarakan nama blog saya, blog yang sedang saya pertimbangkan untuk diganti nama menjadi poetrasophia.blogspot.com, atau dikebumikan saja selamanya.

Bagian pertama dari nama itu, poetra, adalah potongan dari nama belakang. Saya sengaja menulisnya dengan ejaan lama (u ditulis dengan oe) untuk mewadahi kata yang “gw banget” dalam bahasa Inggris, poet (bermakna pujangga), menjadi bagian dari akronim yang menamai blog saya.

Pelajar atau yang pernah membaca tentang filsafat tentu familiar dengan bagian kedua akronim itu, sophia. Itu adalah bagian kedua dari frase(atau akronim?) philosophia, istilah filsafat dalam bahasa aslinya, Yunani. Sophia bermakna kearifan. 

Maka, akronim itu bermakna kearifan milik pujangga, atau kearifan puitis. Barangkali secara semantis, akronim itu tidak absah karena berasal dari dua bahasa yang berbeda. Tapi di dunia pasca modern seperti saat ini, ketika infiltrasi bahasa asing dan aktifitas pengaruh-mempengaruhi antar bahasa tak dapat dihindari, perkawinan antar bahasa lumrah terjadi. Kita melihat banyak sekali penyelewengan kaidah-kaidah tradisional di internet. Muncul gaya bahasa baru yang sangat mengedepankan efisiensi, dan karena itu bahasa alay muncul. Pasalnya, faktor kecepatan kini menjadi pertimbangan utama dalam dunia informasi.

Jadi, terima saja ya akronim aneh itu dengan lapang dada, hehe.

0 komentar:

Posting Komentar