RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 24 Mei 2012

Bahagia dengan Sederhana

Hari ini ada hal baru yang membuatku bahagia. Ada rasa damai bersemayam di sanubari, ibaratnya seperti tubuh gerah yang dimanja hembusan sepoi angin di sore hari. Penyebabnya bukan perkara besar memang, hanya karena sepasang burung perkutut membangun sarang di jendela kamarku. Siulan mereka menentramkan hati. Mungkin di benak kalian langsung tergambar senyum sinis, serta seketika muncul sebuah pertanyaan sarkastis, apa lucunya? Haha, aku tak mempermasalahkan itu karena yang terpenting saat ini aku sedang bahagia, dan tak ingin merusak suasana. 

Burung-burung itu, Kawan, mengingatkanku kepada masa kecilku. Ketika aku mencuri-curi jadwal tidur siang dengan kabur sesegera mungkin usai pulang sekolah. Lalu, setelah bergabung dengan teman-teman yang lain kami bersama-sama menelusuri kebun-kebun tetangga. Dan, ini salah satu yang paling dinanti, memanjat pinang demi mendapatkan sebuah sangkar burung. Terkadang kami beruntung mendapatkan sangkar berisi burung-burung kecil yang siap terbang, atau paling tidak telur-telur burung yang bisa dipanggang. Jika peruntungan sedang buruk, ada kalanya kami hanya mendapatkan sarang kosong. Eh, tidak kosong, tapi berisi semut ganas yang langsung menyerang ke sekujur tubuh. Parahnya, kalau sampai semut-semut itu menggigit atau masuk ke mata, itu akan membuat keseimbangan tubuh hilang, lalu berdebum terjatuh. Nasib naas bisa saja mengantarkan kepala kami pada sebongkah batu yang menjamin kebenjolan sebesar buah pinang. 

Haha, begitulah masa kecil anak desa sepertiku. Tapi aku selalu bangga dengan semua itu. Kesombongan di masa muda yang indah, begitu bahasa kerennya Sheila On 7. Aku yakin teman-teman punya masa kecil yang juga menarik dan lucu. Semua itu membuat kita sesekali menyesal, mengapa dulu kita ingin sekali lekas besar. Mengapa pulai pertumbuhan tubuh kita begitu kilat, atau malah perputaran waktu yang salah karena bergulir sangat cepat. Tak tahulah, yang jelas kita merindukan masa-masa kecil itu. Sekarang, insting kreatif kita mulai pudar untuk tertawa atas perkara-perkara sederhana. Kelopak mata kita sudah tak terlalu antusias dengan bergulirnya bola warna-warni. Saat ini, standar kebahagiaan kita sudah berubah. Ah, mungkin aku salah jika mengeneralisir, subyek ‘kita’ disini lebih tepat jika diganti ‘aku’. Ternyata, semakin peliknya kehidupan sukses memudarkan sedikit demi sedikit keluguan dan insting kreatifku. 


Atas semua itu, aku ingin kembali menjadi anak kecil. Bukan dalam segi polah dan tindak-tanduk, tapi aku ingin kembali memiliki sudut pandang sederhana anak-anak untuk merasa bahagia. Faktanya, perasaan adalah masalah subyektif, tak terkecuali kebahagiaan. Diri kita sendiri yang membuat pakem standar kebahagiaan. Kita boleh memasang tarif mahal untuk kebahagiaan kita. Bagi sebagian orang, merasa bahagia adalah bermakna berpergian ke tempat-tempat rekreasi, berpetualang ke wahana eksotis, makan di restoran mahal, atau apalah. Disisi lain, tak ada yang menghalangi kita untuk menjadi bahagia dengan lebih sederhana. Kita bisa tersenyum atas humor-humor kecil yang Tuhan sebarkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti menertawakan kebodohan diri kita sendiri, atau terbahak atas guyonan maksa yang kita lempar. Kitalah yang menentukan bahagia tidaknya kita. Kalau bahasanya temanku, “we are the master of our heart”.

 

0 komentar:

Posting Komentar