RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 26 September 2012

Nasehat Nenek


Hari itu, perasaanku berdebam. Paginya, senangku bersayap dan terbang membubung tinggi, menembus langit ke tujuh. Keringat dingin mengkristalkan getar-getar bahagia dan tegang hatiku. Kupastikan sudah meminang pujaan hati. Kini, Vita Marshanda, resmi menjadi istriku.

Sorenya, jantungku macam tersengat listrik tegangan tinggi. Nenek meninggal tiba-tiba, tanpa sakit. Air mata yang tadi pagi karena senang gemilang, kini kembali mengucur akibat duka nestapa.

Aku membawa setangkai mawar, tapi kali ini bukan untuk istriku yang baru kemarin kunikahi. Bunga lambang cinta dan kecantikan itu aku beli tadi di toko bunga samping pemakaman umum “Masa Depan”, untuk kemudian kutancapkan di pusara nenekku.

“Pulang, Mas! Sudah malam!” Vita menggamit lenganku, mengajakku pulang. Aku rasa bukan egoisme pengantin baru saja yang mendasari ajakannya itu. Ini memang sudah hampir gelap, matahari sudah megap-megap di ufuk barat.

“Pulang saja dulu, Dek! Mas masih ingin di sini. Sekalian jamaah Maghrib dan Isya di masjid dekat sini. Selepas Isya mas sudah di rumah, ko.” Aku tersenyum, berusaha semanis mungkin. Tapi kesedihan ditinggal nenek tak bisa dihapuskan begitu saja.

“Gung, hantar mbakmu pulang! Mas masih ingin di sini,” perintahku pada Agung yang disuruh Bapak Ibu menjemputku pulang.

Mereka berdua lantas melenggang pergi. Aku kembali menatapi pusara makam nenek, terfokus pada bunga mawar yang kutancapkan tadi. Menancapkan bunga mawar di pusara adalah salah satu dari cerita-cerita nenek di sela-sela mengaji yang kuingat.

Ngger, dulu Rasulullah SAW menancapkan pelepah kurma pada kuburan seseorang. Beliau lalu bersabda, ‘semoga mereka diringankan siksaannya, selama pepepahnya belum kering.’” Ya, karena disini tidak ada pelepah kurma, maka kugantikan dengan bunga mawar merah.

Aku menguatkan diri, berusaha untuk tidak menangis. Itu juga salah satu petuah nenek yang kuingat. Musibah bisa datang dan pergi, tapi kesedihan yang diratapi hanya dengan tangisan adalah kesedihan yang tak bermartabat.

Begitulah kenangan tentang nenekku, sekaligus guru mengajiku. Menyisakan kekuatan-kekuatan yang aku juga tak mengerti berasal darimana. Tapi, tanpa bisa kujelaskan bagaimana, suara-suara nenek nampak nyata, wajahnya jelas terbayang, mengatakan petuah yang tepat sekali aku perlukan. Dia adalah nenek paling bijaksana yang beruntungnya aku miliki.

Dan, diantara seabreak petuah-petuah itu, ada satu yang paling aku kenang.

Ngger, mengalah itu bukan berarti kalah. Ngalah iku pusakane poro ksatrio.”

Nasehat itu pada awalnya tak pernah ku dengar. Maklumlah, anak kecil siapa pula yang suka mendengar nasehat. Begitu beranjak dewasapun, aku tumbuh menjadi pria keras kepala. Jangankan mengalah, menangpun tiada aku pernah puas.

Namun, selain karena nenek tak bosan-bosannya mengulang nasehat itu, kehidupan juga mengajariku sedikit demi sedikit tentang kesaktian petuah itu.

Pitak di kepalaku ini, yang tak tumbuh rambut sampai sekarang, ya akibat melanggar nasehat itu. Waktu kelas 4 SD aku nekat meninju muka seorang anak kelas 6 karena mengambil paksa bakwan milikku. Emosiku memuncak padahal aku masih punya uang jajan lebih. Tak pelak, kepalakupun bocor karena dia membalas dengan hantaman batu sebesar kepalan tangan.

Waktu SMP, kasus mirip terulang lagi. Aku dikeroyok anak-anak geng sekolah. Penyebabnya sederhana, aku tak terima di tekel dari belakang waktu pertandingan futsal. Aku balas menendang lawan mainku, Beni Esoknya, habislah aku dikeroyok Beni dan komplotannya. Akibatnya fatal, selain luka-luka lebam, ususku mengalami pendarahan. Untung masih bisa diobati setelah opname dua minggu di rumah sakit.

Menginjak dewasa, salah satunya karena trauma akibat kejadian di atas, pelan-pelan aku belajar menahan ego. Dan, kalian tahu, apa akibatnya?

Saat menjemput adikku dari Ponorogo pulang ke Jogja lewat Wonogiri, marahku sudah di ubun-ubun. Pasalnya, Toyota Avanzaku yang baru dua bulan keluar dealer, diserempet dan ditelikung sebuah Honda Jazz dari belakang. Mobilku sempat keluar jalan. Untungnya ada sedikit tanah lapang di sisi jalan. Aku lantas mencak-mencak, bernafsu mengejar mobil tadi lalu menghajarnya. Tapi Nenek memintaku istirahat sejenak, shalat dua rekaat mohon keselamatan di perjalanan. Akupun menurut.

“Sudah ngger, sing penting selamet!” Ujarnya.

Setelah suasana mereda, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa ratus meter dari situ kerumunan orang berkumpul di tepi jurang. Setelah mencari tahu apa yang terjadi, aku mendapati kabar sebuah Honda Jazz merah terperosok jurang.

Ada lagi kasus perebutan tender sebuah lahan batubara di Bengkulu. Aku sudah mencium bau-bau tak sedap konspirasi. Aku dicurangi. Sebenarnya cara klasik, pemenang tender membayar berapa ratus miliar kepada pemerintah. Bukti-bukti sudah aku kumpulkan. Tapi saat hendak mengajukan ke pengadilan. Tiba-tiba aku teringat nasehat nenekku.

“Orang lain nggak akan mengambil rezeki kita, Ngger!” Dan kali ini, akupun mengalah.

Ternyata, selang beberapa waktu setelah itu. Perusahaan tambang itu gulung tikar. Batubara yang diisukan berlimpah, ternyata cuma ada sedikit kelumit di bawah permukaan tanah. Selebihnya, hanya batu cadas dan batu bara muda yang baru bisa dipanen puluhan tahun lagi. Dan lagi, penduduk pribumi banyak yang tidak terima karena lingkungan mereka dirusak. Aksi sabotase pun sering terjadi. Alhasil, belum juga perusahaan meraup untung, mereka terpaksa menghentikan operasi penambangan.

Tapi, diantara semua mengalah yang pernah aku lakukan. Merelakan cinta gadis yang kucintai adalah yang paling berat.

Gadis itu sudah seperti aku versi wanita saja, semuanya begitu sama. Melihatnya, seperti memandang diriku sendiri di cermin. Jalan pikiran, karakter, bahkan cara jalannya yang gontai dan acuh mirip sekali dengan aku. Bola mata yang hitam dengan lirikan tajam seperti elang gurun, cerocos lugas tanpa tedeng aling-aling, tapi juga diam sambil curi-curi lirik macam kucing mengintai ikan kala berada di komunitas baru, semua itu benar-benar aku. Hingga akhirnya aku berpikir, dia memang tercipta untukku.

Tapi, Kawan. Wanita memang makhluk paling aneh. Menjelaskan bagaimana logika mereka berjalan sama rumitnya dengan menerangkan bagaimana mekanika alam semesta. Dulu, hukum gerak Newton seperti menjelaskan semuanya, tapi lantas runtuh dengan datangnya teori relatifitas Einstein. Namun teori Einstein juga mandeg di beberapa kasus. Seperti itulah, berputar-putar. Rumit, dan tak terduga.

Bahkan, wanita yang menyadari sepenuhnya apa yang kita pikirkan tentang dirinya, dan juga mempunyai persepsi sama tentang diri kita, masih saja tak sudi menerima kita. Dia lebih memilih orang lain yang aku anggap tak lebih baik dari diriku.

Hatiku hancur bukan kepalang, hampir saja aku kalap karenanya. Tapi, lagi-lagi, nasehat nenek mendinginkan suasana.

Ngger, orang yang baik itu untuk orang yang baik juga. Jadi, orang yang nggak mengerti kehebatanmu, memang tak pantas untukmu.”

Aku lagi-lagi mengalah, meskipun sakit hatinya seperti tak akan bisa disembuhkan. Hingga aku bertemu Vita, istriku sekarang, dan hilang sudah semua duka lara itu. Vita begitu sempurna sebagai pelengkap diriku. Dan kini, aku tak pernah menyesal kehilangan cinta-cinta semuku.

Vita memang bukanlah refleksi diriku. Di beberapa sisi, kami justru bertolak belakang. Tapi justru karena itu, dia adalah missing link-ku. Dia melakukan pekerjaan yang tak bisa ku tangani. Ketenangannya mengimbangi ketergesa-gesaanku, wibawanya menentramkan jiwa berontakku, kesabarannya mendinginkan nafsu amarahku.

Kemudian, karena aku merasa sudah waktunya untuk menikah –usiaku sudah 27-, juga karena tabungan dari gajiku selama ini sudah lumayan, aku memutuskan untuk meminangnya. Alasannya, akan sulit menemukan orang seperti Vita yang menerimaku apa adanya. Apalagi nanti jika aku semakin sukses. Meskipun, itu artinya aku harus menunda janjiku pada nenek. Dulu, aku berjanji padanya bahwa membiayai nenek naik haji adalah pekerjaan yang pertama kali aku lakukan jika tabunganku cukup.

“Nek, Rafi minta maaf. Rafi izin untuk menikah dulu, baru tahun depan nenek akan Rafi daftarkan haji,” pintaku mengiba kala mohon restu nenek.

Aku tahu nenek sangat ingin naik haji. Dan karena ku tahu Bapak-Ibu tak mungkin bisa membiayainya, aku lantas berjanji akan mendaftarkan beliau naik haji begitu aku mampu. Meskipun nenek tak pernah meminta itu padaku.

“Ngger, kamu nggak perlu mempersulit dirimu dengan janji-janjimu. Kalau rezeki nenek naik haji, biayanya bisa datang dari mana saja.” Begitu respon nenek dulu kala aku berikrar di hadapannya. Tapi aku tetap saja ngotot bahwa aku pasti akan membiayai nenek naik haji.

Lantas, ketika aku meminta izin menunda janjiku itu, nenek juga kembali hanya tersenyum dengan jawaban sangat singkat.

“Iya, nggak apa-apa, Ngger.”

Seminggu kemudian pernikahanku dilangsungkan. Meskipun nenek sudah tua, nenek tetap giat membantu acara hajatan. Beliau berbaur dengan ibu-ibu muda mengurusi tetek bengek perdapuran. Kondisi fisik nenek memang sangat prima meski sudah berusia 65 tahun. Bahkan ibuku yang berumur 47 tahun lebih sering sakit-sakitan daripada nenek.

Aku yang sedang dilanda euforia cinta tentu saja tak sempat berpikir mengenai keadaan nenek. Fokusku tercurah pada bagaimana melafalkan ijab kabul dengan benar. Jangan sampai, salah satu momen paling sakral ini malah membuatku malu.

Akhirnya, semuanya berjalan lancar. Aku mengucap akad denga fasih, berbahasa Arab pula.

“Qabiltu nikâhaha bi mahrin madzkûr, hâlan.” Lalu hadirinpun serentak berkata, “Sah, sah.”

Aku sangat gembira, kakiku seperti tak menginjak tanah, atau layaknya penerjun payung berterbangan di udara. Hingga malam harinya, aku menemukan nenek terduduk di kursi. Tak biasanya nenek begitu, akupun membangunkannya. Dan ternyata, ketika aku berusaha membangunkannya, nenek malah roboh ke lantai. Innalillahi wa inna ilaihi râji’ûn, nenek wafat.

Nenek telah pergi, membawa serta mimpinya tertinggi, naik haji. Juga bersama pusakanya, jiwa besar untuk mengalah. Sedangkan aku, untuk pertama kalinya semenjak dewasa, aku tak mampu melawan egoku. Akankah setelah ini Tuhan akan menghukum keegoisanku?

0 komentar:

Posting Komentar