RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 28 Februari 2013

Nothing



It’s ok to be nothing. Cz I come from nothing, and will turn back into nothing.

Aku datang dari ketiadaan. Dari negri seberang yang APBD-nya kurang lebih setara dengan anggaran satu kabupaten di Jawa. Dari desa yang jalannya satu taraf dengan jalan-jalan pinggiran Bandung menjelang kemerdekaan. Dari bumi yang tiada punya cerita heroik kecuali pesona Fatmawati, sang penjahit bendera proklamasi.

Aku muncul dari kerendahan. Dari rumah yang penghasilannya hanya sebesar rata-rata pengeluaran. Dari rumah yang pasaknya sama besar dengan tiang. Kadang-kadang lebih sedikit, tapi lebih sering kurang. Dari keluarga kelas Pak Marhaen. Bedanya, Pak Marhaen beruntung karena dijadikan inspirasi Sukarno untuk menyebut gaya sosialisnya. Kini, siapapun tahu marhaenisme.

Aku tumbuh dari kesekadaran. Tidak terlalu miskin, tapi tak pantas disebut kaya. Tiada pula cocok disebut kelas menengah. Bagiku, menengah adalah sebutan bagi mereka yang hidupnya berkecukupan untuk segala keinginan kapitalis. Tapi, Ayah dan Ibuku tak begitu.

Dari keserbatanggungan itu aku melangkah. Selama ini sejarah hanya mencatat tinta emas untuk dua golongan manusia. Pertama, untuk mereka yang tumbuh besar dalam buai serba kecukupan. Orang-orang itu, kalau pun tidak sukses karena limpahan harta, akan berhasil karena keluarga mereka tahu bagaimana membentuk anak-cucu mereka. Terang saja, setiap harinya dicekoki petuah-petuah bijak dari buku-buku mahal. Untuk orang-orang tua kelas menuju-menengah, tak tahulah mereka alegori-alegori macam itu.

Satu lagi yang ditulis sejarah adalah mereka dari kelas serba kekurangan. Manusia dengan himpitan macam itu mau tak mau harus bergerak, supaya hidup. Karena itu anak-anak mereka mandiri, juga berwatak cekatan dan berontak. Dalam pola pikir mereka hidup seluruhnya adalah kerja keras. Maka, rintangan apa yang mampu menghalangi kesuksesan mereka? Aku bukan dari kalangan ini.

Karena itu, aku berkembang tanpa kelebihan. Karena aku tak hidup dalam lingkung yang memahami potensi bakat kemudian memberikan sarana yang mendukung. Aku bahkan tak paham apapun tentang kecenderungan, kecuali sedikit buku-buku yang memberiku sedikit rasa senang. Horizonku pun hanya berupa kandungan buku-puku pengisi perpustakaan sekolah dasar.

Maka, ketika aku harus kalah bersaing dengan anak-anak para bestari, aku tak perlu mengambil hati. Mereka lebih berhak menjadi penerus-penerus negeri. Di tangan merekalah masa depan ibu pertiwi diperjuangkan. Dari mulut mereka, kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dicetuskan, ditulis, dan diabadikan. Dengan kisah perjalanan hidup mereka nantinya buku-buku sejarah akan ditulis.

Bila ada satu dua prestasi yang kuukir, ku anggap hadiah dari Tuhan. Tuhan maha baik. Dia tahu bahwa orang kelas pas-pasan macam saya ini, jarang sekali dapat hadiah. Maka, sesekali Tuhan menganugrahkan. Dia tahu, dengan ini kami akan sangat senang.

Aku hanya perlu berjalan tanpa beban. Kesuksesan bukan tujuanku. Kegagalan bukan ketakutanku. Aku hanya ingin bekerja untuk Tuhan agar sesekali diberi kejutan. Lagipula, aku hanya butiran debu dalam alam raya ini.

0 komentar:

Posting Komentar