RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 22 April 2013

Wanita yang Mati Menggendong Bayi




Malam ini aku ingin bercerita. Dengan pembukaan yang datar saja. Tak ada kata pengundang kejut, tanpa kalimat penyebab peranjat. Ini hanya kidung masa lampau yang ingin ulang kurajut. Pasalnya, hati ini terisak pilu setiap ingat.

Ya, aku ingin berkisah tentang wanita yang mati menggendong bayi. Tapi ini bukan tentang mayat berjubah putih, yang wajahnya gelap dan mulutnya menyebur darah berbuih-buih. Bukan hantu berambut panjang, yang kerap difilmkan jadi penunggu terowongan. Tak ada deskripsi tentang punggung berlubang yang konon akibat kena teluh dukun seberang. Ini bukan cerita kuntilanak.

Hikayat ini tentang guru sekolahku dahulu sekali. Waktu aku masih masih malas-malasan belajar tata bahasa Indonesia. Waktu itu kupikir ilmu ini sama sekali tak berguna. Pengetahuan ini tak mengantarkan pada skillyang bisa dijadikan pekerjaan. Tak seperti mata pelajaran IPA yang bisa mewujudkan muridnya jadi ilmuwan. Bahkan, masih kalah gengsi dari pelajaran olahraga yang bisa membuat kita dapat medali. Ya, cerita ini mengenai guru SD-ku.

Ibu guruku cantik sekali. Aku masih ingat, potongan rambutnya sangat stylish untuk ukuran saat itu. Waktu itu, jilbab belum populer seperti sekarang, gadis-gadis kebanyakan berpotongan pendek sebahu. Tapi tidak sekedar tergerai lurus, melainkan ikal bergelung-gelung macam ombak pasang pantai sanur. Ya, aku ingat, itu pula gaya biduanita dangdut kampung dan artis-artis ibukota.

Guruku juga semampai. Berjinjit pun tak juga tubuh cebolku sampai. Jika hidup saat ini barangkali beliau masuk kriteria jadi pramugari, atau jadi model yang kerjaannya lenggak-lenggok kanan kiri. Wajahnya berseri, senyumnya indah tak terperi. Lesung pipi di kanan kiri bak celah-celah biji bunga matahari. Ah, tidak. Lebih merupa bidang tanah yang rajin disapa tetes-tetes hujan limpahan atap seng rumah pedesaan kami, sedikit berceruk.

Tapi matanya sayu, kantung bola matanya menggantung berkerut. Kata ibuku itu akibat Bu Yanti, nama guru itu, terlalu sering bersedih. Karena penjelasan Ibu yang belum ku mengerti di masa mudaku, aku tak pernah mau menonton sinetron. Sedari kecil aku memang melankolis. Baru menonton thriller sinetron terbaru saja aku menangis. Lucunya, waktu itu aku sebarkan propaganda bodoh ke teman-teman, “Jangan sekali-kali kalian menonton sinetron kalau tidak mau kesehatan mata kalian terganggu.” Bodohnya, teman-temanku percaya, hanya karena aku selalu dapat nilai sepuluh dalam pelajaran matematika. Aku selalu tergelak bila mengingatnya.

Aku baru mengerti dewasa ini apabila mata sayu dan kantung mata menggantung orang-orang adalah karena terlalu banyak menangis. Yang menyulitkanku adalah seketika memandang orang berkantung mata, aku selalu teringat penderitaan Bu Yanti.

Dari penuturan yang kudapat dari Ibuku, kutahu bahwa Bu Yanti adalah perempuan yang hidupnya selalu dirundung malang. Sejak kecil ia sudah tinggal di panti asuhan. Ia bahkan tak pernah tahu nama ayah dan ibunya. Namun Yanti kecil, meski sering menangis di malam hari, sangat riang dan rajin siang harinya. Nilai-nilainya di sekolah selalu bagus. Aktif pula membantu pengurus panti mengurusi yatim piatu yang lain. Yang menarik dari cerita ibuku adalah, katanya Yanti kecil juga pendongeng ulung. Anak-anak panti tak pernah bisa tidur sebelum ia mengisahkan hikayat. Anak-anak pantjuga tak pernah bisa membedakan mana cerita Yanti mana bunga tidur, karena mereka terlelap di antara penuturan. Cerita Yanti selalu mengalir indah hingga semua anak terlelap dan malam kembali menjemput Yanti untuk menangis.

“Ah, bu, sesakti itukah pendongeng?” Aku menyela, Ibu hanya tersenyum. Aku lalu bertekad menjadi pendongeng yang sakti.

Kembali pada Bu Yanti kecil. Karena keriangan, kerajinan dan tentunya kecerdasannya, Yanti kecil selalu mendapat beasiswa. Ia yang suka berbaur dengan anak-anak kecil pun memutuskan mengambil jurusan pendidikan guru. Pendek kata, Yanti lulus sebagai lulusan terbaik IKIP. KataIbu juga, skripsinya sampai membuat guru besar tercengang kagum. Serta merta ia ditawari menjadi pengajar di almamaternya. Tawaran yang menggiurkan bukan?

Tapi, taukah kalian, apa yang dilakukan Bu Yanti? Ia menolak, ia memilih mengikuti program transmigrasi pemerintah ke Bengkulu, propinsi antah berantah. Ia ingin menikmati sisi-sisi lain dari negara ini, katanya. Ia memang seorang petualang sejati. Lagipula, bukankah anak-anak pelosok lebih perlu pendidikan? Katanya dikutip ibu.

Di daerah transmigran, kesulitan-kesulitan baru muncul. Tempatnya terpencil dan sangat tertinggal. Terpisah 40 kilometer dari kota terdekat. jalan penghubungnya adalah hutan rimba yang ditebas. Tak ada aspal. Untuk mencari air bersih saja, penduduk harus naik turun bukit. Yang mengerikan, setiap sore, ketika warna merah senja mulai menyelimuti dunia, semua orang harus menutup pintu rapat-rapat . Karena hewan-hewan liar masih menganggap itu daerah kekuasannya. Bukan cuma musang atau ular, beruang madu dan harimau kumbang juga mengintai di sela-sela gelap.

Di daerah pelosok itu, Bu Yanti mengajar anak-anak. Siangnya ia keliling kampung jualan kue-kue. Aku masi hingat, aku selalu menghambur keluar rumah setiap melihatnya membawa rantang kue. Lidahku selalu ketagihan kue donat buatannya. Ah, sayang, sekarang sudah tak mungkin lagi kukecap.

Karena pesona alamiahnya, kecantikan pekerti, Bu Yanti menjadi primadona kampung. Di sana pula Bu Yanti menemukan pria yang membuatnya menghentikan kebiasaannya sejak kecil, menangis di malam hari. Kata ibuku, pemuda beruntung itu bernama Indra. Selama mereka memadu kasih, masih menurut Ibuku, Bu Yanti semakin cantik saja. Matanya tak lagi sayu, tapi berbinar-biar bak berlian. Kantung matanya pun tidak ada lagi. Ia tampak segar dan semakin bersemangat mengabdikan diri pada anak-anak desa. Dia mendirikan taman kanak-kanak untuk mereka yang belum dapat masuk SD. Diajarnya anak-anak dengan tekun bersama Indra yang bersedia turut membantu. Ia tak pernah meminta bayaran. Karena itu, penduduk kampung semakin menghormatinya. Tapi..

Dengan pesona yang semakin terpancar dari Bu Yanti, semakin banyak pemuda yang menaruh hati. Salah satunya adalah putra juragan beras di kampung itu, sebut saja namanya Yono. Juragan beras itu sudah tua, janda pula, sebut saja namanya Yanah. Ia berasal dari Jogja, seperti halnya Bu Yanti. Karena sentimen kedaerahan itu, Bu Yanti sangat akrab dengan sang juragan beras. Tidak hanya sekali dua kali silaturrahim, tapi Bu Yanti juga sering bermalam di rumah juragan. Juga tentu saja akibat perlakuan baik dari sang juragan yang menganggapnya seperti anak sendiri. Bahkan, suatu ketika, ketika Bu Yanti terjangkit malaria –penyakit daerah tropis- dan harus di opname, sang juragan pula yang merawatnya dan membiayainya.

Namun, demikianlah sifat manusia, ketika segolongan dari mereka tak pernah bisa mengikhlaskan kebaikan yang diperbuat, sebagian lain selalu tak enak hati dengan kebaikan yang diperbuat orang lain. Meski terkadang harus mengorbankan kepentingan.

Masalah datang ketika Yono meminta ibunya, Yanah, untuk mempersunting Yanti untuknya. Yanah, yang sangat menyayangi anak semata wayangnya tak bisa menolak permintaan itu. Pernikahan mereka menjadi kebahagiaan sepihak dan kesedihan banyak pihak. Dan dua orang yang paling menderita dari pernikahan itu adalah Yanti dan Indra.

Semenjak hari pernikahan, Yanti kembali pada kebiasaan lamanya, menangis di malam hari. Matanya kembali sayu, matanya kembali berkantung. Pesonanya sedikit demi sedikit memudar. Energinya meredup. Semangatnya untuk mengajar anak-anak sempat jatuh ke titik nadir. Apalagi Indra juga enggan membantunya lagi di taman kanak-kanak. Ia juga harus mengurus anak-anaknya sendiri.

Hingga suatu ketika, ketika mengajar pelajaran bahasa Indonesia di kelasku, Bu Yanti nampak sakit. Ronanya memerah, ia lalu meminta izin untuk pulang terlebih dahulu. Kami sekelas tidak terlalu memperhatikan saat itu. Hingga saatnya kami berbaur keluar saat lonceng jam terakhir dibunyikan, woro-woro dari corong masjid membahana, innalillahiwa inna ilaihi rajiun.

Bu Yanti terjengkang dari motor. Kepalanya terbentur batu. Tapi bayi di pelukan Bu Yanti selamat. Dan kalian tahu bagaimana raut Bu Yanti ketika telah menjadi mayat, ia tersenyum. Aku yakin, kala itu malaikat tengah menunjukkan rapor hidupnya yang bernilai mulia hingga tiada kesedihan di wajahnya.

Ibu selalu mengatakan ini tentang Bu Yanti, “Dia adalah wanita yang hidup dan matinya selalu disia-siakan.” Tapi aku yakin, di surga sana, amal perbuatannya tidak sia-sia. Bagiku, dia adalah wanita yang hidup dan mati tiada penting baginya. Karena satu-satunya pamrihnya dalah ridha sang kuasa. Oh, iya, aku ingin bertanya pada kalian, dimanakah aku bisa temukan wanita seperti itu?

0 komentar:

Posting Komentar