RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 25 April 2013

Ironi

Tempat ini tak pernah sama. Meski perubahan hanya menerpa rupa, tak bisa menyentuh inti.

Meja dan kursi masih sama. Tatanannya persis. Ada empat kursi untuk setiap meja. Sementara di kedai ini tersedia enam meja. Empat meja terjejer rapi di bagian dalam kedai, terletak di masing-masing sudut. Dua lagi di teras, mengambil tempat di tepi pagar pengaman. Dari sana, seluruh isi mall dapat ditelisik dengan satu sapuan pandang.

Namun, tempat ini tak pernah benar-benar sama. Bentuk dan warna meja kursi sudah berganti. Sekarang warna biru. Dulu merah muda. Aih, dahulu kala perkara warna bahkan kuanggap penting. Aku berkhayal kita sedang memainkan peran dalam naskah cerita cinta yang Tuhan persembahkan untuk kita. Dan waktu itu adalah segmen awal dari skenario nan indah. Setting-nya begitu memesona. Perkakas yang serba merah muda, suasana sepi  nan syahdu, dan entah apa yang terjadi hingga lampu mall sempat padam untuk beberapa lama, hingga ongokan lilin sempat menemani kita bercerita dalam remang. Dan lagi, ketika lampu kembali nyala, mengapa irama yang terlantun tiba-tiba lagu Gita-Gutawa.

Kau begitu sempurna, di mataku kau begitu indah…
Sempurna...

Aih, dahulu semua kebetulan itu memberiku keyakinan bahwa cerita ini akan berakhir happy ending. Kebetulan-kebetulan itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Pastilah semuanya terjadi untuk sebuah alasan. Bagiku, alasan itu adalah kita. Tapi aku salah.

Kini, kita duduk lagi di sini. Sama percis seperti lima tahun lalu. Di kedai nasi goreng super mahal ini. Di tepi pagar pengaman sehingga kita bisa memandang seluruh isi etalase kapitalis ini. Dulu, kamu yang takut ketinggian memilih duduk di sisi yang lain. Sesekali kau kugoda untuk melihat air mancur di dasar mall. Matamu mengerjap-ngerjap, tak kuasa menahan ngeri. Tapi justru itu yang ku suka. Matamu yang menyipit dan rona merah di pipimu membuatmu tampak cantik sekali.

Tapi, kini berbeda. Kita tidak sedang berdua. Kau masyuk menyuapi Reza, anakmu. Sementara aku memusatkan pandang pada cincin di jari manisku, sibuk mengingatkan diri sendiri bahwa bulan depan aku akan menikahi Ratih, tunanganku.

“Minumannya, tuan, nyonya!” Mbak pramusaji datang mengagetkanku. Kamu juga terperanjat. Sendok yang disodorkan ke mulut Reza terjatuh. Kamu nampak gugup.

Pramusajinya masih sama. Wanita sawo matang berlesung pipit dalam. Wajahnya yang khas Jawa membuat kita otomatis memanggilnya mbak. Sebenarnya, dia lebih tepat dipanggil Ibu. Apalagi kini beberapa kerut telah bersemai di rautnya. Usai meletakkan minuman, Mbak pramusaji menundukkan badan sedikit, lalu berlalu.

Dulu, kita menertawai pramusaji itu. Karena begitu polosnya. Sebentar-sebentar ia minta izin. Percis dengan yang disampaikan Raditya Dika dalam joke stand up comedi-nya, bahwa semua pramusaji restoran adalah orang paling baik sedunia.

“Eh, sebentar mbak!” Kali ini aku ingin membuat lelucon.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” Mbak pramusaji berbalik badan, mengernyitkan kening, matanya menyapu setiap inti meja.

“Nggak ada yang kurang, kok,” aku tersenyum, “Cuma mau nanya, kok nggak minta izin ke belakangnya?” Godaku. Aku lalu tergelak, mbak pramusaji tersipu, lalu pergi.

“Haha,” kamu ikut tertawa kecil, ”Kamu ini sekarang lucu ya. Masa mbaknya digodain,” ujarmu diakhiri dengan senyum.

“Waktu mengajari kita hal-hal baru,” aku merespon cepat, agar curi-curi pandangku ke lesung pipimu tak ketahuan.

“Mbak itu juga berubah ya, Vit,” lanjutku, “dulu kan, setiap mau apa-apa pasti minta izin,” aku nyengir.

Times passed, people changed,” kau mengerling, menyahut sembari memegangi gelas Reza.

“Ah, sejak kapan kamu fasih ngomong Inggris?” aku terkesiap.

Since you’re gone,” kau tatap mataku.

No, im never. You did!” Aku mengelak, mataku kembali tekuri jemari.

“Eh, Za, air mancurnya beda ya sekarang, tambah tinggi. Lihat deh!” Kamu berdiri, membelakangi aku dan Reza, menatap air mancur.

“Hei, kamu nggak takut ketinggian lagi, Vit?”

“Jangan parno gitu dong,” lagi-lagi kau tersenyum lebar, “Aku sempat kerja jadi mandor proyek bangunan. Awalnya takut, lama-lama terbiasa dengan tempat-tempat tinggi,”

“Apa, ka.. kamu kerja jadi kuli bangunan?” Aku tak habis pikir.

“Eh, enak aja. Bukan kuli ya, mandor. Di kontraktor pamanku. Ya terpaksa, semenjak cerai dengan Rizal aku harus menghidupi diriku dan Reza. Sekarang aku jadi guru bahasa Inggris, my English is good enough, isn’t it?”

“Rizal kenapa?” kataku lirih, sebenarnya tak tega ku tanyakan ini.

“Dia ternyata sudah punya istri. Ah, semua laki-laki sama saja. Kecuali kamu.”

Kamu lalu bercerita tentang Romeomu. Tentang lelaki yang menyelamatkan hidupmu dalam artian sebenarnya. Mengawinimu, membiayai kuliah, memberi makan, dan selalu berada di sisimu untuk melindungi. Hal ihwal yang mustahil ku beri waktu itu. Semua yang ku bisa lakukan untukmu hanyalah jadi pendengar yang baik untuk keluh kesahmu, menyajikan simpati dan senyum di akhir setiap kisahmu, lalu menceritakan bualan-bualan pemancing senyummu. Bodohnya, dulu aku merasa itu semua cukup bagi wanita.

Tapi ternyata wanita tak selugu dan semulia itu. Wanita butuh uang untuk membiayai rias cantiknya. Perlu pria tangguh untuk menjaga keamanannya. Ingin kepastian lebih dari semua gombal rayu. Aku tak bisa beri semua itu dulu. Aku butuh waktu. Jika wanita butuh bukti dari laki-laki, maka laki-laki butuh waktu untuk memberi bukti.

Dahulu, ketika aku tengah meyakinkan diri bahwa ketulusan cinta akan memudahkan segala ketidakmungkinan, aku diuji dengan kehilangan. Engkau menghilang tanpa kabar. Nomormu tak dapat dihubungi. Kau pun tak pernah lagi datang di meja nomor lima kedai ini, tempat kita menghabiskan malam. Tak pula ke rak buku-buku fiksi tempat kita pertama bertemu. Tololnya aku tak pernah tahu rumahmu.
Lalu kau datang lagi dengan singkat, tapi hanya untuk pamit, dengan kalimat selamat tinggal pahit.

“Aku akan menikah. Eksekutif muda bernama Rizal meminangku. Dia berjanji akan menanggung seluruh kehidupanku,” kau mengguman lirih dalam sambungan telepon.

Aku tak ingin menangis, tapi air mata bukan kehendak. Ia akan mengalir ketika hati tak kuasa lagi menahan sayat. Kesedihan terdalam adalah ketika diacuhkan orang yang kita yakini sangat bergantung pada kita. Karena itu mendedah ketololan kita.

“Maaf, aku memang salah. Tapi kita berdua lebih pantas disalahkan. Kita sama-sama membiarkan yang tidak mungkin bersatu bercampur. Air dan minyak hanya saling merusak jika bersama,” kau juga terisak.

“Kau bukan Romeo. Kata-kata indahmu lebih mencerminkan Sharkespeare. Aku juga bukan Juliet. Aku hanya satu dari pengagum semenjana Sharkespeare. Lagipula, Sharkespeare tak perlu Juliet. Ia lebih butuh wanita macam De Beauvoir-nya Sartre, yang saling memahami isi kepala.”

Aih, kamu selalu pintar berdalih, dan aku selalu kalah. Aku selalu salah.
Selanjutnya kau pergi, dan aku menghabiskan hari-hari dengan separuh energi, setengahnya lagi tersita untuk menahan getir-getir di hati. Pagiku banyak terbuang hanya untuk melupakan mimpi yang terlalu sering menghadirkan dirimu sebagai lakon. Belajarku banyak terganggu dengan bayangan wajahmu yang tiba-tiba menyela diantara teori-teori. Tidurku sering telat karena aku tak jua mampu menjawab pertanyaan  yang selalu terngiang menjelang malam, “Jika kita sama-sama salah, mengapa kau renda bahagia saat ku rajut duka? “

Matahari lagi dan lagi terbit, burung bahagia bercicit, aku malu jika sebagai manusia tak jua bangkit. Waktu membawa perkara-perkara baru, tapi bagiku bukan ia yang mengobati nestapa, memori sempit manusialah yang berjasa. Otak manusia pada akhirnya tak kuasa menampung semua, lalu lamat-lamat terlupalah kenangan, suka dan dukanya. Aku bersyukur dicipta Tuhan sebagai manusia yang fitrahnya lupa.

Luka juga terobati karena hari-hari membuat kita makin tua. Lambat laun idealisme romantis masa muda tergerus kenyataan praktis kehidupan. Lagipula, aku belum sudi menyerahkan hidup sampai di sini. Aku tak tahu, apakah ini adalah kekuatan hati, atau keputusasaan paripurna.

Aku memutuskan untuk melangkah. Tuhan mempertemukanku dengan Ratih, gadis polos yang awalnya tak pernah terpikir di benakku untuk jatuh hati padanya. Keangkuhan intelektualku membutuhkan wanita-wanita cerdas sepertimu. Sedangkan Ratih hanya wanita penuh sahaja. Dia lebih cocok menjadi istri Kyai yang penurut daripada jadi pasangan petualang sepertiku. Tapi, seperti yang sudah-sudah, aku selalu salah menilai wanita.

Ratih memang bersahaja, tapi ia tiada dungu. Ia mungkin tak mampu membantah ide-ide liarku, tapi dia mengerti. Bedanya dengan kau, dia tak pernah meledak-ledak. Ratih menyatakan ketidaksepakatan dengan santun, menimpali ketidaksetujuan dengan anggun. Di hadapannya, aku bukan lagi sosok bestari berilmu tinggi, tapi seorang temperamen yang diajari budi pekerti. Karena itu, aku luluh.

Maka, ketika tadi  kau sampaikan, “Faza, Reza tampak menyukaimu. Aku kira inilah saatnya cinta kita bersatu. Ia telah mengalir berliku. Melewati gunung, bukit, lembah. Inilah muaranya. Ini waktunya, menikahlah denganku.”

Ah, sebenarnya tak tega kukatakan ini, “Bukan lantas karena cinta semuanya usai. Cinta tak membawa keniscayaan. Ia datang dengan pilihan. Sementara kita menentukan, mana yang lebih mungkin dalam menghadapi perubahan-perubahan. Aku telah putuskan, Ratihlah yang kuyakini mampu bertahan.”

Kau menangis, air mataku pun jatuh. Tapi jika air mata adalah senjata pamungkas wanita, maka martabat adalah perisai lelaki yang paripurna.

Semua masih sama, tapi tak benar-benar serupa. Sejatinya, aku masih mencinta, tapi keadaan terkadang memaksa kita bersikap beda pada kasus yang sama.

1 komentar:

nggapriel mengatakan...

cakep :)

Posting Komentar