RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Kamis, 18 April 2013

Menyombonglah dengan Berlaku Tanpa Buku


Kehidupan kita masih sama. Malam-malam musim panas banyak tersita dengan rapat-rapat koordinasi untuk acara kongkow-kongkow besok malam. Paginya, eh maaf,  siangnya, kita akan melipat-lipat surat undangan atau memfotokopi proposal untuk kemudian kita edarkan. Hari-hari musim dingin yang pendek –menjadi semakin pendek dengan buruknya manajemen kehidupan kita-  banyak terbuang dengan kegiatan yang mirip, ngobrol-ngobrol untuk siding-sidang  lusa depan. Paginya, eh sekali lagi maaf, siangnya, kita sibuk melipat-lipat proposal atau memfotokopi surat mohon kehadiran untuk selanjutnya kita sebarkan.

Kita adalah komunitas organisatoris yang sangat dinamis. Setiap generasi berusaha menerjemahkan progresifitas dalam kegiatan yang benar-benar lebih baik dari generasi selanjutnya. Kita mengerti –tanpa memahami- sebuah tuntutan naluri untuk bersosialisasi. Untuk melaksanakan itu, kita bahkan tak perlu tahu bahwa dalam pembukaan karya besar al-‘Ibar-nya, Ibnu Khaldun mengutip ucapan filosof: manusia adalah makhluk sosial. Kita juga tak merasa perlu membaca ‘Arâ’u al-Madînah al-Fadhîlah-nya al-Farabi untuk mengekspresikan bahwa manusia adalah makhluk yang tak bisa menuntaskan kebutuhan primernya tanpa hidup berkelompok. Apalagi untuk tahu bahwa buku politik al-Farabi lain –yang oleh sebagian pemerhati disebut lebih penting dari buku pertama- punya dua nama, al-Siyâsah al-Madaniyyah dan Mabâdi’ al-Maujûdat, sama sekali tak perlu.

Barangkali dengan begitu kita terlihat setara dengan kecerdasan al-Farabi, juga dalam orisinalitasnya. Namun, nanti dulu, ada yang luput. Bagi al-Farabi, tujuan bergabung dengan sesama manusia bukan sekedar pemenuhan kebutuhan material. Kalau hanya begitu, kita tak beda dengan hewan. Sapi contohnya, yang melenguh-lenguh bersama disela-sela memamah rumput. Aih, kenapa mirip sekali dengan kita yang sama-sama terbahak di antara kunyahan-kunyahan syibsi?

Karena itu, menurut al-muallim al-tsani, tujuan bermasyarakat adalah juga pemenuhan kebutuhan spiritual, kebahagiaan. Bagi al-Farabi, jiwa lebih mulia dari jasad. Untuk itu, pemuasan hajat rohani lebih utama dari desakan-desakan syahwat jasmani. Salah satu bentuk hajat spiritual adalah ilmu. Karena itu, membaca, dalam sudut pandang al-Farabi, lebih penting dari kongkow-kongkow.

Kemudian, segelintir dari kita, karena menganggap usulan jujur tadi terlalu semena-mena dan sinis –ah, komunitas macam kita yang tak punya banyak waktu untuk membaca memang selalu terlalu sentimentil- akan bereaksi keras, mereka mengerjakan fungsi antithesis dialektika Hegel. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang membaca buku itu kolot, tidak adaptif dengan keadaan sosial, dan terlalu terkekang dengan pola-pola buatan para penulis buku. Mereka berdalih bahwa ilmu tak cuma didapat dengan buku. Sekilas, alasan mereka terlihat mirip dengan konsep empirisme Locke –tabularasa yang ditulis Locke dalam risalahnya, An Essay Concerning Human Understanding- yang mengatakan bahwa ilmu didapat melalui pengalaman. Tapi saya rasa tidak, tidak juga selaras dengan konsep sufistik tentang ilmu batin.

Buku, tidak ditulis untuk kesewenang-wenangan, ia –kecuali buku-buku komersil kontemporer- datang dari ketulusan niat para pendahulu untuk memperbaiki masa depan. Buku berisi pengalaman-pengalaman lalu, berhasil dan gagalnya, untuk pedoman generasi selanjutnya. Buku adalah satu langkah lebih maju dari pembacaan-pembacaan acak manusia atas dunia ini, ia adalah rangkuman kontemplasi. Ia merupakan perkakas yang memudahkan pekerjaan, tapi ia tidak memanjakan pemakainya, buku justru membawa pembaca pada petualangan-petualangan kreatif baru untuk menuntaskan pertanyaan yang belum terjawab. Buku adalah wahana permainan yang tak ada habisnya.

Karena itu, adalah langkah mandek bila komunitas kita ini masih menaruh buku dalam rak-rak berdebu. Terlebih bila meneruskan kongkow-kongkow saat ini tanpa mengajak serta buku untuk ikut andil. Yang dihasilkan nanti hanya berupa spekulasi-spekulasi acak tak berpola, hanya menghantarkan kita pada kesalahan dan kegagalan selanjutnya.

Kita, merujuk pendapat tamu besar kita belum lama ini, Taufik Ismail, adalah komunitas nol buku. Maka, ketika dia mengatakan, “Saya melihat masa depan dalam diri kalian!” sebenarnya saya miris. Saya menerjemahkan kata-kata itu sebagai sindiran. Maka, ketika kemarin saya ikut tepuk tangan bersama, itu bukan perayaan, tapi saya menamparkan telapak tangan satu ke yang lain selaku isyarat wanti-wanti, karena saya tak tega melakukannya sebagai sarkasme komunitas saya sendiri.

2 komentar:

nggapriel mengatakan...

mantap :)

extraordinary mengatakan...

bidua'ikum ust, gmn kbr?
kmrin massage ym ana sampai tak?

Posting Komentar