RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 27 September 2013

Hubungan yang Tepat untuk Karang dan Buih

Sebelum kau bertanya, “Hubungan apa yang tepat untuk karang dan buih?” Senja telah berwarna kelabu di Alexandria.

Bagiku, Alexandria adalah cerita tak berujung. Seperti jalan raya tepi pantainya yang panjang dan meliuk-liuk, ia punya pelbagai kisah yang terulur berliku. Salah satu ceritanya adalah kamu, yang alurnya naik turun menyiksa perasaan. Oh iya, sebelum kau datang, aku membaca berulang-ulang cerita lama setiap senja di Mandarah.

Senja telah lebih dulu kelabu sebelum kau datang. Kau hanya satu dari sekian orang yang menghamburkan warna hitam pada langit. Tapi cakrawala mencampur hitam dengan biru, dan senja menebarkan merah sore. Karena itu langitku selalu berwarna kelabu.

Seperti kemarin, ketika aku mengantarkan kau dan suamimu berbulan madu di Montazah. Aku membantu kalian melengkapi album keluarga bahagia, mengambil foto-foto romantis di depan Istana Raja Farouq, juga di jembatan ujung taman. Waktu itu matahari tengah redup, pesona merahnya merona langit. Tapi tetap saja, langitku sore itu kelabu.

Aku masih ingat saat kita jalan-jalan sore di sini. Kala itu laut tengah pasang, ombak-ombak menyerang karang yang menjorok ke laut. Buih-buih bertebaran, sebagian menerpa kulit putihmu. Rambut hitam sebahumu juga turut basah.

“Kau adalah karang, karena kau hanya diam ketika ombak-ombak silih berganti menghajar ketahanan hatimu,” katamu sambil menunjuk bongkah karang yang sedikit tinggi menjulang.

“Tapi kau buih. Kau membiarkan hidupmu terombang-ambing oleh kehendak orang tuamu,” aku menunjuk ke arah yang sama. Tapi maksudku adalah busa-busa ombak yang memutih.

“Lalu, hubungan apa yang tepat untuk karang dan buih?” Mata lentikmu mengerjap. Bola mata birumu yang bergerak-gerak membuat desir darahku terpacu.

“Tak tahulah. Biar senja selalu kelabu bagiku,” jawabku ketus. Lalu kita sama-sama terdiam.

Sebenarnya aku tahu, aku yakin kau juga begitu, karang dan buih tak pernah bersatu, meski keduanya sama-sama pasrah pada nasib. Karang patuh untuk menerjal keras di tepi laut tanpa perlu dianggap bendungan yang bentuknya selalu dirapikan. Buih pun taat pada hukum alam yang menitahkannya terhempas ke mana-mana. Sepertinya kita memang begitu, ditakdirkan untuk berpisah meski berdekatan.

Pertama kali kita bertemu, es krim Azza-ku leleh. Aku mematung dengan mulut mengangga karena takjub melihat kelereng biru bisa mengendap di matamu. Aku baru tersadar ketika kau meminta es krim yang ada di tanganku. Hari itu pukul 12 malam, stok es krimnya telah habis, kata sang penjual, sementara kau sangat ingin mencicipi Azza setelah puluhan tahun.

Kita lalu berjalan menyusuri pantai. Aku membeli popcorn sebagai pengganti es krim. Kau mengenalkan diri, namamu Esperana. Kau baru menyelesaikan sarjana musikmu di Madrid. Ayahmu asli Mesir dan ibumu peranakan Spanyol. Kau tinggal di belakang stasiun Asafirah.

“Cari saja gedung yang paling mewah, gerbangnya kaca. Lantai tiga!” Katamu sambil menyisakan manis tersungging di tepi bibir.

Aku memberanikan diri main ke rumahmu, tapi orang tuamu tak pernah antusias begitu tahu aku hanya anak penjaga gerbang meski berkali-kali aku bilang prestasi kuliahku lumayan bagus. Rana punya Villa di Casablanca dan Palermo, sementara kau punya rumahpun tidak, kata Ayahmu. Kau hanya menangis, tapi itu hanya membuat langitku semakin kelabu.

Aku hampir melupakanmu setelah lima tahun kau kembali ke Madrid. Selama itu pula aku membatukan diriku, menolak semua harapan yang datang. Aku tak ingin perasaanku menghancurkan kehormatanku sebelum aku mampu mencukupi persyaratan menikah. Karena itu, aku bekerja siang malam seperti kesetanan. Pagi hingga sore aku menjadi pemandu wisata di salah satu travel asing. Malamnya aku mengantar sayur mayur ke Kairo. Mataku selalu sayu karena kurang tidur. Barangkali itu juga yang membuat senja selalu tampak kelabu.

Suatu pagi aku tersentak karena klienku ternyata kamu, bersama suamimu yang pemain Real Madrid itu. Tapi sebagai professional, aku tak mau mengecewakan klien. Aku mengantarkan kalian menyusuri Mesir.

“Aku adalah penggemar Atletico. Tapi kita tak perlu bermusuhan kan? Sepakbola hanyalah arena bersenang-senang,” kataku menggoda suamimu.

“Tentu saja, tak ada benar atau salah dalam membela tim olahraga. Mengapa terlalu serius? Hahaha,” Karim, suamimu, tergelak. Aku ikut terbahak.

“Kecuali jika kita bersaing untuk seorang wanita, hahaha!” ia kembali tergelak, kali ini aku tak ikut, ada rasa pahit yang tiba-tiba tertelan.

 Lalu, di tempat ini, di atas jembatan yang menjorok ke laut. Suamimu menyatakan sesuatu yang membuatku bingung.

“Mister, seandainya seluruh manusia seperti karang dan buih. Patuh pada titah alam kepadanya, maka seisi dunia akan damai.”

Menurutmu, bagaimana?

0 komentar:

Posting Komentar